AS Semakin Intensif Pecah Belah Persekutuan Strategis Cina-Rusia

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Semakin gencarnya pertarungan Amerika Serikat dan Cina di kawasan Timur Tengah maupun kemungkinan melebar ke kawasan Asia Tenggara, dan Laut Cina Selatan, sepertinya Amerika berusaha memecahbelah persekutuan Cina-Rusia.

Gelagat ini semakin menguat dengan peringatan dari Dmitry Mosyakov, seorang pakar studi ketimuran (Oriental Studies) dari the Russian Academy of Sciences.

Menurut Mosyakov, semua orang sekarang menyadari betapa persekutuan Cina dan Russia dapat membendung setiap langkah-langkah yang dilakukan Amerika maupun dari persekutuan negara-negara arab yang berada dalam orbit Amerika.

Dalam prediksi Masyakov, untuk memecahbelah kepentingan strategis Cina-Russia, Amerika akan menawarkan beberapa konsesi ekonomi, apalagi dengan kenyataan b ahwa di bidang kerjasama ekonomi, kerjasama perdagangan kedua negara sudah mencapai nilai sebesar 400 dolar America.

Karena untuk semakin mengikat Cina dalam satu kepentingan strategis dengan Amerika, negara Paman Sam ini bisa jadi akan menawarkan beberapa persetujuan kerjasama baru, maupun terciptanya satu atmosfer hubungan antar kedua kepala negara, Barrack Obama dan Xi Jinping.

Brzezinski di Balik Skema Pecah Belah Cina-Rusia

Kalau menelusur ulang betapa besarnya pengaruh Zbigniew Brzezinski dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Obama, mantan Ketua Dewan Keamanan Nasional era kepresidenan Jimmy Carter ini, memang punya agenda strategis melumpuhkan Rusia maupun Cina sekaligus dalam beberapa buku maupun konsepsi gagasannya.

Dalam skema Brzezinski dalam merancang politik luar negeri Presiden Obama, negara-negara yang mana Cina memiliki pertaruhan ekonomi dan bisnis yang besar seperti Iran, Amerika harus memperlunak sikap politiknya. Dengan harapan, Cina akan lebih kooperartif dengan Amerika. Termasuk dalam menggalang persekutuan Amerika-Cina membendung pengaruh Rusia yang semakin mengkhawatirkan bagi Amerika dan sekutu-sekutunya di Eropa Barat.

Dalam artikel saya 23 Mei 2009 di situs ini, saya menyorot manuver AS merangkul Cina, mulai menunjukkan indikasinya yang semakin jelas melalui perkembangan terkini di Taiwan.

Simak saja konferensi pers yang digelar Presiden Republik Cina atau Taiwan  Ma Ying-jeou pada Rabu 20 Mei 2009  lalu. Menurut Presiden Ying-jeou, kebijakan lunak Taiwan terhadap Cina merupakan langkah yang tepat. “Saat ini, isu seperti kerjasama keuangan dan yudisial dalam rangka memerangi kejahatan lebih penting daripada isu perjanjian damai, yang tak lagi mendesak karena ketegangan di Selat Taiwan sudah berkurang.

Ini tentu saja merupakan tren yang cukup menarik untuk dicermati, mengingat selama ini Taiwan berada dalam persekutuan strategis baik secara ekonomi maupun pertahanan dengan Amerika Serikat. Karena itu, langkah yang diambil Presiden Taiwan rasa-rasanya tidak mungkin tanpa konsultasi dan koordinasi dengan kalangan perancang kebijakan keamanan nasional dan politik luar negeri di Gedung Putih. Ini prediksi saya tempo sekitar dua tahun yang lalu seputar indikasi adanya upaya AS untuk merangkul Cina dalam rangka mengeliminasi kedekatan Cina dengan Rusia.

Sehingga Taiwan yang selama ini menjadi isu sensitif bagi Cina karena menyangkut harga diri bangsa, dengan pelunakan ini berarti sudah terjadi kesepakatan diam-diam (the silent agreement) antara Amerika-Cina. Sehingga Taiwan dan Cina bersepakat untuk mengagendakan kerjasamsa-kerjasama di bidang keuangan dan yudisial.

Namun demikian, Brzezinsky maupun Obama sepertinya mengabaikan adanya soliditas persekutuan strategis Cina-Russia di bawah payung Shanghai Cooperation Organization (SCO). Apalagi persekutuan Cina-Rusia melalui SCO ini, dalam rangka mengamankan pengaruh kedua negara di Asia Tengah.

Seperti kita ketahui, Kazakhstan memiliki ladang minyak, Gas di Turkmenistan, yang mana nilai strategis geopolitiknya sama strategisnya dengan Teluk Persia. Belum lagi emas di Uzbekistan, dan Perak serta kemungkinan uranium di Tajikistan.

Amerika semakin cemas menyusul dikembangkannya kerjasama SCO dengan melibatkan juga beberapa negara seperti Brazil, Russia, India dan Cina di bawah payung kerjasama BRIC.

Masuk akal karena di kawasan Amerika Latin, pengaruh ekonomi Cina ternyata cukup kuat melalui kerjasama ekonomi dengan Venezuela, Bolivia, dan Brazil.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com