Aung San Suu Kyi dan National League for Democracy Dalam Orbit Skenario AS-Uni Eropa di Myanmar

Bagikan artikel ini

Nay Pyi Taw merupakan ibukota Myanmar yang baru sejak pemerintahan Myanmar  di bawah kepemimpinan Jenderal Senior Than Shwe memutuskan pindah ibukota pada November 2005. Lantas, apa kaitannya dengan konstelasi politik nasional Myanmar dalam beberapa bulan terakhir ini?

Nay Pyi Taw mengingatkan kita pada sebuah persetujuan rahasia mengenai “peta jalan untuk demokrasi” yang dibuat antara pemerintah militer Myanmar dengan Washington dan Brussels. Beberapa formula persetujuan yang disepakati antara pemerintahan militer Myamar dengan Washington dan Brussell antara lain: pihak negara-negara Barat setuju untuk mencabut embargo perdagangan dan ekonomi terhadap Myanmar. Kedua, pihak Barat juga sepakat untuk tidak ikut campurtangan dalam urusan dalam negeri Myanmar, sebagai imbalan atas persetujuan pemerintahan militer memberlakukan reformasi demokrasi dan konstitusi.

Naypyidaw City Hall

Namun pihak Washington dan negara-negara Barat pada umumnya, nampaknya ingkar janji. Ketika pihak militer Myanmar memenuhi kewajibannya sesuai Kesepakatan Nay Pyi Taw tersebut, mitranya dari Barat tiba-tiba mengubah pendekatannya, kemudian merancang sebuah strategi menyingkirkan militer secara total dari kekuasaan.

Embargo perdagangan dan ekonomi memang dicabut sesuai Kesepakatan Nay Pyi Taw, karena memang sesuai dengan kepentingan kekuatan-kekuatan pemilik modal dan korporasi dari Barat. Namun AS dan sekutu-sekutunya dari Barat mulai mengingkari klausul kedua dari kesepakatan Nay Pyi Taw pada saat berlangsungnya pemilihan umum pertama pada 2015 lalu, ketika pemerintahan militer beralih ke pemerintahan sipil.

Min Aung Hlaing, pictured in 2018

Melalui agen-agen proxy-nya yang bergerak di LSM atau Non-Government Organization-NGO, pihak Barat melalui beberapa international funding mulai memusatkan programnya pada “humanitarian assistance” dan “mediasi” untuk memecahkan konflik antara pemerintah pusat dan berbagai kelompok bersenjata berbasis etnik atau kesukuan.

Adapun wilayah yang jadi prioritas dari humanitarian assistance dan mediasi yang dirancang oleh para donor internasional dan para aktivis NGO Myanmar yang pro pemerintahan sipil, adalah wilayah-wilayah yang berbatasan antara Myanmar dan People’s Republic of China (PRC). Gerakan berbagai elemen sipil berbasis NGO yang didukung Barat tersebut ditujukan untuk mengorganisasikan untuk mengkontra proyek-proyek yang dibuat antara pemerintahan militer Myanmar dan PRC.

Foreign Oil And Gas Companies Delay Business, Myanmar's Military Regime Could Lose Revenue Up To 1 Billion US Dollars

Gerakan mengkontra skema kerjasama antara pemerintahan militer Myanmar dengan PRC tersebut, pada perkembangannya kemudian memantik ketidakpercayaan terhadap militer, sekaligus menciptakan ketegangan yang semakin memanas secara horizontal antar suku maupun agama yang berbeda.

Begitu National League for Democracy (NLD) di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi memenangi pemilu pada 2015, gelombang para aktivis NGO dari luar negeri dari aneka ragam keahlian yang menguasai pengkhususan bidang dalam mendukung pembentukan lembaga-lembaga demokrasi, hak-hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi, beramai-ramai datang ke Myanmar.

Map of Myanmar

Pada akhir 2019, George Soros punya yayasan bernama Open Society Foundation didirikan secara resmi di Myanmar. Putra Soros, Alexander, secara pribadi berulangkali bertemu dengan orang-orang lingkar dalam Aung San Suu Kyi.

The Open Society milik Soros tersebut kemudian membentuk jaringan terkontrol yang merajut setidaknya 100 NGO lokal di Myanmar. Salah satu NGO Myanmar yang terbesar secara khusus bergerak dalam melancarkan aksi pembentukan opini publik seperti Myanmar Institute for Peace and Security, Myanmar Institute for Strengthening Right, Institute of Strategy and Policy, dan yang lebih tendensius lagi, Anti-China Myanmar Committee for Monitoring the Chinese Pipeline, dan sebuah grup media “Myanmar Monitoring Media Group.”

Adapun dalam barisan staf struktur jaringan Amerika lainnya adalah the Foundation for Democracy Defense, the National Republic Institute, dan the National Democratic Institute). Kesemua mereka ini diberi status sebagai konsultan para pejabat pemerintah dan para politisi NLD maupun dari partai-partai progresif lainnya.

Baca: IRI’s Work Supports Burma’s Historic Elections and Democratic Transition

Melalui konstruksi fakta-fakta tersebut di atas, nampak jelas bahwa misi utama gerakan NGO internasional tersebut adalah memperkuat posisi politik NLD di Myanmar. Maka opini yang dibangun oleh para politisi NLD dan kurator-kuratornya dari Barat, berupaya mendeskreditkan dan membangun citra buruk terhadap militer Myanmar semaksimal mungkin. Menyingkirkan para perwira militer Myanmar dari birokrasi pemerintahan, dan memecah-belah kekuatannya yang solid dan kompeten sebagai aparat birokrasi pemerintahan Myanmar.

Baca juga sebagai perbandingan:

Peran LSM dalam Mempromosikan Neo-Kolonialisme

Alhasil, dengan hilangnya aparat-aparat birokrasi pemerintahan Myanmar yang kompeten di jajaran administrasi pemerintahan, maka situasi birokrasi dan administrasi pemerintahan Myanmar yang tidak kondusif dan tidak berdisiplin tersebut, maka dengan mudah AS dan pihak Barat dengan berkolaborasi bersama para elit politik sipil NLD, sepenuhnya memegang kendali kekuasaan terhadap arah kepentingan politik dan ekonomi Myanmar.

Titik puncak Barat dalam merealisasikan skemanya di Myanmar bertumpu pada kampanye pemilu pada 2020 lalu. Baik AS maupun Uni Eropa memobilisasi sumber-sumberdaya yang signifikan untuk memperkuat posisi NLD yang sudah berada dalam kendali kontrol AS dan Uni Eropa.

Maka itu AS mengerahkan teknisi-teknisinya yang menguasai perangkat lunak disatupadukan ke dalam misi agar NLD dalam posisi diuntungkan dalam hasil pemilu. Beberapa organisasi nasional yang berpengaruh atas biaya dari Barat, seperti the Yangon Institute for Political Studies), terlibat dalam riset-riset sosiologis. Namun riset tersebut hanya kedok untuk membangun disinformasi dan penyebaran berita bohong.

Begitu pula People’s Alliance for Credible Election Myanmar (PACE), melancarkan aksi propaganda melalui jaringan sosial dan media di Myanmar. Dan untuk menjamin hasil akhir pemilu yang memenangkan Aung San Suu Kyi dan NLD, maka para konsultan NLD  dari Amerika dan Eropa tersebut menggunakan teknologi perangkat pemilu yang cukup mencurigakan (dubious electoral technologies) yang sudah teruji  berhasil diterapkan di beberapa negara.

Menurut laporan dari lembaga pemantau independen pemilu pada November 2020 di 315 distrik pemilihan, ditemukan ada 5,8 juta dalam daftar pemilih yang ada dalam daftar Komisi Pemilihan Umum dengan identitas ganda. Ada nama-nama dari anak-anak yang belum dalam usia yang bisa ikut pemilih maupun nama-nama orang-orang yang sudah meninggal sekitar 100 tahun yang, tercantum dalam daftar pemilih. Belum lagi ada 4,6 juta warga negara yang tidak punya kartu tanda penduduk. Dengan demikian total kecurangan dan kesalahan-kesalahan yang aneh dan misterius, ada sekitar 10,5 juta. Jadi sekitar seperempat dari pemilih yang terdaftar.

Baca:   Tatmadaw demands govt address claims of fraud in November polls

Hasil akhir pemilu yang diorganisasikan menurut pola Barat, memungkinkan bagi NLD, atas saran dari beberapa supervisor mereka, untuk mengumumkan rencana menyelenggarakan referendum, sehingga membuka jalan untuk merubah aturan-aturan yang ditetapkan sesuai konstitusi 2008 yang memberikan hak-hak politik khusus kepada Angkatan Bersenjata Myanmar.

Nampaknya rencana inilah yang mendorong Angkatan Bersenjata Myanmar segera mengambil-alih kekuasaan pemerintahan sipil pada awal Februari lalu. Dengan memanfaatkan hak konstitusi 2008 yang masih berlaku, untuk menghentikan dengan segera arah perkembangan situasi sesuai dengan skenario kepentingan Barat. Selain itu Angkatan Bersenjata nampaknya sudah jenuh berdialog dengan pemerintahan sipil atas dasar kerangka yang sudah ditetapkan dan digariskan sesuai skenario AS dan Uni Eropa.

Maka dari itu negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, tak terkecuali Indonesia, harus mewaspadai kemungkinan efek domino gerakan ala Barat dengan menggunakan model Aung San Suu Kyi dan NLD sebagai agen-agen proxy-nya, akan terjadi juga di beberapa negara ASEAN termasuk Indonesia.

Model yang diterapkan lewat humanitarian assistance dan mediasi yang dirancang Barat terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara, nampaknya hanya berupaya melumpuhkan pemerintahan sebelumya, seraya mengganti para politisi lama dengan para politisi baru yang dianggap loyal kepada Barat.

Pada saat yang sama, “soft power” tetap merupakan instrument utama, yang mana kedutaan-kedutaan besar dari negara-negara Barat merupakan agen-agen eksekusinya (eksekutor).

Bagi negara-negara ASEAN yang berhaluan politik luar negeri bebas-aktif, terutama Indonesia, memandang rencana dan langkah Washington yang didasari gagasan untuk membendung pengaruh PRC tersebut, pada hakekatnya tidak akan menguntungkan bagi AS itu sendiri. Mengingat kenyataan bahwa hal tersebut justru akan membatasi kemampuan pihak AS dalam menggalang aliansi anti Cina terhadap negara-negara anggota ASEAN.

Namun demikian, pihak AS dan Uni Eropa nampaknya akan terus meningkatkan aksi destabilisasi di kawasan Asia Tenggara. Maka itu negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, sebaiknya mulai meningkatkan langkah-langkah protektif pada skala kawasan, dalam arti ASEAN secara kolektif sebagai kekuatan politik dan keamanan kawasan Asia Tenggara.

Alangkah baiknya mempelajari pengalaman AS dalam bermain di bidang Regulasi Hukum, dalam menggalang aktivitas para agen-agen proxy-nya di luar negeri. Ada baiknya negara-negagara ASEAN mulai menggagas bagaimana menerapkan restriksi yang serupa seperti diterapkan Amerika terhadap kalangan yang dipandang berhaya di negerinya sendiri baik terhadap para aktivis NGO, media massa, maupun sumber-sumber dari internet yang beroperasi di wilayah kedaulatan negaranya.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com