Belajar Geopolitik dari India

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Geoekonomi
Di tengah dua isu global paling aktual (pandemi Covid-19 dan konflik Ukraina) beserta dampak yang ditimbulkan, dunia kini diterpa tiga krisis global yaitu krisis energi, krisis pangan dan krisis keuangan. Dan hari ini, berbagai negara seperti diuji daya ketahanannya bahkan kualitas kedaulatan negaranya.
Pasca Sri Lanka bangkrut, Bank Dunia memberi sinyal kepada beberapa negara —bila tak diantisipasi— bakal mengalami nasib serupa Sri Lanka, antara lain yaitu Mesir, Laos, Lebanon, Turki, Afghanistan, Myanmar, Pakistan, Zimbabwe dan lain-lainnya.
Ya. Penyebab krisis di setiap negara boleh berbeda, namun benang merahnya nyaris sama yakni inflasi. Kenapa? Tatkala inflasi naik maka daya beli (masyarakat) turun. Secara otomatis akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Tak boleh dielak, tingginya inflasi bermula dari kebijakan lockdown saat pandemi Covid-19 membadai. Kala itu, perekonomian global nyaris terhenti. Pun ketika lockdown dicabut, lalu aktivitas publik perlahan bangkit, tetapi pasokan (supply) belum pulih, sedangkan tuntutan (demand) bergerak melebihi supply sehingga mau tidak mau, suka atau tidak suka — inflasi terjadi. Hukum ekonomi bekerja pasti.
Apa boleh buat. Konflik Ukraina beserta ribuan sanksi Barat terhadap Rusia membuat harga minyak dan gas melambung tinggi. Demikian pula dengan harga pangan akibat tersendatnya supply pupuk dari Rusia dan Ukraina. Di beberapa negara, krisis energi dan pangan membuat inflasi nyaris tak terkendali.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa inflasi di sejumlah negara sudah ugal-ugalan. Zimbabwe misalnya, telah mencapai 192%. Ini menimbukan khawatir akan terulangnya hiperinflasi tahun 2008 lalu. Kemudian Argentina mencapai 60%, Turki lebìh parah lagi yakni 78,62% serta diperburuk dengan jatuhnya nilai tukar lira terhadap dolar AS dan seterusnya. Melambungnya harga energi dan pangan merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap inflasi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Jujur kudu diakui. Meski suhu geopolitik terus memanas akibat dua isu global di atas, Indonesia justru mendapat berkah atas kondisi tersebut. “Blessing in disguise.” Apa sebab? Tak lain, faktor commodity boom alias lonjakan harga komoditas seperti batu bara misalnya, atau CPO, dan lain-lain. Indonesia itu kaya akan sumber daya alam meski mulai menipis akibat eksploitasi ugal-ugalan. Sampai hari ini, berkah terselubung itu masih menyelimuti bangsa ini.
Bagi Indonesia, peristiwa lonjakan harga komoditas di tengah tensi tinggi geopolitik, disebut dengan istilah windfall profit atau ketiban durian jatuh di satu sisi, sedang pada sisi lain, memang ada kebijakan rezim yang tepat yang mendorong ‘durian jatuh’. Disrupsi pada rantai pasokan akibat pandemi dan perang, diantisapsi dengan kebijakan counter cyclical, dimana permintaan atau tuntutan (demand) justru terdorong oleh kebijakan dimaksud. Counter cyclical artinya, mengambil kebijakan sebaliknya yakni mengurangi pengeluaran dan menaikkan pajak selama ekonomi booming, tetapi meningkatkan pengeluaran serta memangkas pungutan pajak ketika sedang resesi.
Pertanyaannya, sampai kapan blessing in disguise menyelimuti bangsa ini?
Sebab, dinamika geopolitik tidaklah berlangsung di ruang hampa. Geostrategi pun tidak statis. Dan geoekonomi niscaya berubah. Memang. Survei terbaru Bloomberg mengatakan bahwa risiko resesi ekonomi di beberapa negara meningkat akibat inflasi relatif tinggi. Sri Lanka paling atas, sedang Indonesia berada di urutan dua terbawah dengan probabilitas 3% di bawah India 0%. Filipina 8%, Thailand dan Vietnam 10%, sedang Malaysia 20%. Potensi resesi di Selandia Baru, Taiwan dan Australia masing-masing 33%, 20% dan 20%. Bank Sentral di negara tersebut telah menaikkan suku bunga guna menjinakkan inflasi.
Setidak-tidaknya, dari survei Bloomberg tadi Indonesia tergolong aman dan terkendali. Ada kekhawatiran dari Prof Anthony Budiawan yang mutlak disimak bersama, “Kalau harga komoditas anjlog dan BI menaikkan suku bunga mengikuti The Fed, maka peluang krisis pun berubah, membesar!”
Merujuk kegelisahan di atas, ada dua hal yang mesti dipertahankan oleh Indonesia: 1) BI tidak boleh menaikKan suku bunga; dan 2) mempertahankan lonjakan harga komoditas agar tetap terkondisi booming. Bagaimana caranya? belajarlah dari India — kenapa kemungkinan resesinya 0%.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com