Catatan Kecil (Geo) Ekonomi
Secara umum, inflasi terjadi manakala uang beredar lebih banyak daripada jumlah barang dan jasa (kebutuhan). Jika merujuk hukum supply and demand, bahwa demand (permintaan) melonjak lebih cepat dibandingkan supply (penawaran). Menurut KBBI, inflasi ialah kemerosotan nilai uang (kertas) karena banyaknya dan cepatnya uang (kertas) beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang.
Lalu, apa penyebab inflasi?
Banyak faktor. Namun inflasi yang kini menerpa berbagai negara, faktor terdekatnya ialah kebijakan lockdow. Memang. Sebelum ditemukan vaksin serta vaksinasi, ia dianggap solusi terbaik —arahan WHO— guna menghambat laju penyebaran Covid-19. Secara otomatis, lockdown mengurangi supply pada satu sisi, contohnya, banyak pabrik mengurangi produksi, atau ruang publik dibatasi, WFH dan seterusnya, sedang di sisi lain, demand terus bergerak. Kebutuhan hidup kudu dipenuhi. Itu awalnya. Bahkan ketika kebijakan locdown dicabut, supply belum sepenuhnya pulih, namun permintaan meloncat jauh melewati supply. Pada gilirannya, inflasi pun mirip snowball process. Jatuh, menggelinding serta meluas.
Kondisi di atas, kian kompleks tatkala meletus konflik Ukraina serta berdampak timbulnya tiga krisis global yakni krisis energi, krisis pangan dan krisis keuangan. Di beberapa negara yang rapuh fundamental ekonominya, eskalasi inflasi nyaris tak terkendali membuat ekonomi kolaps.
Ini deret inflasi tertinggi di beberapa negara per Mei 2022, antara lain:
1. Lebanon 211%;
2. Sudan 192%;
3. Zimbabwe 192%;
4. Venezuela 167%;
5. Suriah 139%;
6. Turki 78,62%;
7. Argentina 64%;
8. Suriname 55,6%;,
9. Sri Lanka 54,6%;
10. Iran 52,5%, dan lain – lain.
Khusus untuk Sri Lanka telah dinilai bangkrut oleh otoritas global. Entah esok siapa bakal menyusul.
Ya. Sekelas Amerika (AS) pun, tak lepas dari inflasi. Meski baru 9,1%, namun telah terlihat antrian mengular di publik khususnya antrian energi dan pangan. Antara panic buying atau kelangkaan barang memang beda-beda tipis. Retorikanya ialah, “Apa yang terjadi seandainya tingkat inflasi di AS seperti 10 negara pada deret di atas?”
Juga, ketika kelompok negara di jajaran UE yang memiliki ketergantungan atas minyak dan gas dari Rusia menjatuhkan sanksi (“solidaritas”) kepada Rusia atas ‘invasi’-nya ke Ukraina, malah berimbas pada kegoncangan ekonomi mereka. Seperti bumerang. Lemparan sanksi justru berbalik mencelakakan diri sendiri. Ekonomi UE pun terlihat di tepian resesi. Belum lagi kelangkaan pangan akibat gandum serta pupuk UE bergantung pada Rusia dan Ukraina. Kendati hanya 4,1%, harga-harga barang di tingkat konsumen melonjak ke level tertinggi selama 13 tahun terakhir karena dipicu mahalnya harga energi. Lalu, beberapa Perdana Menteri di UE mengundurkan diri karena kebijakannya berujung blunder.
Menurut BPS, Inflasi di Indonesia per Juni 2022 sebesar 4,35 %. Hanya beda tipis dengan UE. Relatif kecil. Namun faktanya, terjadi kenaikan harga-harga konsumen di publik secara eskatatif.
Kenapa?
Ada beberapa versi menerangkan. Versi pertama, bahwa rendahnya inflasi di Indonesia karena di-‘subsidi’ oleh windfall profit (ketiban durian jatuh) karena lonjakan harga batu bara, CPO, dan aneka tambang lainnya. Termasuk faktor kebijakan counter cyclical dari Kemenkeu yang dinilai tepat. Hasil ekspor meningkat, dan itulah commodity boom.
Akan tetapi, mengapa harga-harga di level konsumen masih tetap naik?
Versi kedua, bahwa lonjakan dan naiknya harga komoditas ekspor hanya dinikmati segelintir swasta. Ini asumsi. Pertanyaan selidik muncul, “Antara BUMN dan swasta, lebih besar mana volume ekspor (CPO dan batu-bara)-nya?”
Jika lebih besar BUMN maka ‘durian jatuh’ bisa dinikmati oleh rakyat karena mengisi pundi-pundi APBN, akan tetapi — apabila lebih besar swasta dalam volume ekspor, maka windfall profit hanya dinikmati segelintir elit partikelir. Kenapa begitu? Sebab, usai membayar pajak ekspor, tidak lagi ada kewajiban baginya. Entah uangnya mau disimpan dimana, dipakai untuk apa, terserah pihak swasta. Sekali lagi, tak ada lagi kewajibannya. Itulah enaknya oligarki di Indonesia, mungkin rezim (sistem dan aturan) di republik tercinta ini belum mengatur kiprah oligarki sampai sejauh sana.
Demikian sekilas catatan kecil ini dibuat dengan keterbatasan data serta wawasan. Meski bukan pelaku ekonomi, penulis mencoba menuangkan topik ini berbasis kegelisahan. Tidak ada maksud menggurui siapapun terutama para pihak yang berkompeten. Kritik dan saran terbuka demi perbaikan substansi catatan ini. Terima kasih.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments