Catatan Kecil Geopolitik Tentang Rusuh Massa di Sri Lanka

Bagikan artikel ini
Apakah penyebab timbulnya kerusuhan sosial politik di Sri Lanka hingga Presiden Rajapaksa lari ke Maladewa, lalu istananya diduduki massa aksi?
Tak lain, faktor utama ialah ekonomi kolaps. Banyak indikasi dapat dilihat. Inflasi tinggi (60%), misalnya, atau pengangguran meningkat, utang meroket, kontraksi ekonomi, aset negara diambil-alih asing karena default (gagal bayar utang), kekurangan pangan, krisis energi, obat-obatan, dan beberapa indikator lain seperti rakyat kian susah, pemerintah tidak mampu membayar gaji PNS, listrik bolak-balik padam, sekolahan tutup, harga-harga meroket, stok barang langka, antrian BBM mengular, suara rakyat dibungkam oleh represi aparat, dan lain-lain.
Apakah termasuk krisis moral?
Data yang terkuak memang nepotisme, yakni selain tidak sedikit ‘trah Rajapaksa’ hilir-mudik di lorong kekuasaan, juga beredar kredo, bahwa rakyat Sri Lanka kini sedang membebaskan diri dari tirani korup sebuah rezim yang tak amanah. Isu KKN menjalar kemana-mana menjadi ‘amunisi’ gejolak massa. Beberapa pengamat bilang, bahwa isu Sri Langka mirip dengan peristiwa Mei 1998 di Jakarta yang melengserkan Pak Harto. Kepercayaan rakyat terhadap rezim nyaris di titik nadir.
Apakah konflik di Ukraina dan rangkaian perang sanksi antara Rusia versus Barat turut berkontribusi atas kondisi tersebut?
Tentu. Itu isu lingkungan strategis —faktor eksternal— yang sangat kuat lagi dominan. Dampak konflik Ukraina memberi sumbangan krisis tidak sedikit khususnya di sektor energi, pangan dan pertanian akibat kelangkaan pupuk dan seterusnya. Termasuk pandemi Covid-19 dinilai sebagai titik awal krisis politik di Sri Lanka.
Kenapa demikian?
Sebab, APBN Sri Lanka mengandalkan sektor pariwisata yang terpukul oleh pandemi sejak beberapa tahun sebelumnya, sehingga hal itu mengakibatkan kas negara (“kosong”) tak optimal. Sedangkan solusi utang dijadikan andalan guna menutup defisit anggaran. “Gali lubang tutup lubang”. Lebih celaka lagi, hasil utangan malah digunakan membangun infrastruktur yang tidak produktif bagi prioritas krisis saat itu.
Apakah rusuh massa di Sri Lanka tergolong people power?
Bisa iya, bisa juga tidak. Intinya, rakyat menginginkan pergantian kekuasaan karena kiprah rezim tidak amanah. Dan kerusuhan sosial pun bersifat serentak. Ada titik awal pergerakan, terdapat nilai-nilai yang diperjuangkan serta aksi massa mempunyai titik tuju bersama.
Awalnya, selaku alat negara — tentara dan polisi sibuk menghalau gelombang massa aksi. Akan tetapi, massa seperti tidak bertepi. Tak berujung. Dipukul bubar, namun datang dan datang lagi. Dinamika sosial ekonomi lumpuh. Timbul bentrokan di sana-sini. Korban pun berjatuhan baik dari pihak aparat maupun massa. Akhirnya, terjadi pembiaran oleh alat negara akibat jumlah yang terbatas, sedang massa seperti gelombang. Datang dan pergi. Juga sebenarnya, aparat dan keluarganya pun terkena imbas krisis ekonomi dimaksud.
Dari pembelajaran isu Sri Lanka, geopolitik mengingatkan ajarannya kembali, bahwa sebuah krisis sosial ekonomi niscaya memiliki korelasi sangat kuat terhadap krisis politik dan kekuasaan. Tak bisa tidak. Jatuhnya Orde Baru misalnya, atau isu terkini soal mundurnya beberapa Perdana Menteri (PM) di jajaran (negara) NATO. Hampir semua penyebab mundurnya para PM bermula dari kegagalan kebijakan bidang ekonomi sehingga mereka ditinggal para pendukung dan loyalisnya baik di parlemen maupun akar rumput.
Ada kredo di dunia filsafat: “Bahwa sebuah perubahan apapun/dimanapun bermula dari ketidakpercayaan (distrust)”.
Kepercayaan berasal dari dua arah: “Logika dan Hati”. Logika tentang benar dan salah, baik-buruk dan seterusnya, sedangkan hati soal adil dan tidak adil. Nah, distrust muncul di publik tatkala dominannya keburukan secara logika, serta merebak ketidakadilan dari sisi hati.
Ketika distrust di publik tidak segera diantisipasi melalui aksi nyata, maka ia akan terus menggumpal lalu menyebar kemana-mana. Timbul kondisi apa yang disebut ‘api dalam sekam’. Sudah barang tentu, dengan sekali percikan kecil api bisa menjadi kobaran besar. Membakar apa yang dijumpai. Tampaknya, inilah driving force dan daya ungkit gejolak politik di Sri Lanka: “Krisis ekonomi dan krisis kepercayaan”.
Mengakhiri catatan kecil ini, muncul retorika menggelitik: “Apakah Sri Lanka tidak sedang dijadikan medan tempur (proxy war) para adidaya seperti halnya Ukraina karena faktor (geo) posisi yang strategis di Lautan Hindia?”
Nah, poin materi dari retorika di atas akan dibahas pada sesi lain.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com