Catatan Kecil Geopolitik
Pendapat para ahli dan pengkaji geopolitik tentang energi niscaya akan mengerucut pada narasi: “Di dunia ekonomi, energi merupakan darah (kehidupan). Jika terputus alirannya maka ia akan mati.” Energi is lifeblood of the world economy. Cut off the flow of energy and the economy will die.
Dan peperangan atau konflik-konflik yang terjadi baik di tingkat lokal, regional, maupun global memiliki korelasi kuat atas hal yang diistilahkan: what lies beneath the surface. “Apa yang terkandung di bawah permukaan.” Artinya, wilayah yang mengandung potensi SDA seperti minyak dan gas, ataupun komoditi strategis lain seperti emas, biji besi, nikel, rare earth dan lain-lain termasuk jalur-jalur distribusi/transportasi kerap disebut ‘geopolitic flashpoints‘, yaitu suatu wilayah, titik, ataupun jalur yang apabila muncul peristiwa dan/atau hambatan dapat menimbulkan instabilitas politik lebìh (skala) luas, contoh riilnya, bila ditutup Selat Hormuz atau seandainya dihambat Terusan Suez, dunia bakalan heboh. Harga-harga barang dan jasa langsung meroket. Kenapa? Sekitar 19 juta barel minyak per hari melintas di Selat Hormuz. Itulah sekilas gambaran soal geopolitical flashpoints.
Tentu, pada titik (wilayah) tersebut perlu fokus serta penanganan secara khusus. Tidak boleh asal-asalan. Mengapa begitu? Sebab, ada korelasi kuat antara satu wilayah/jalur dengan jalur lainnya baik lokal maupun penggal di tingkat global.
Kredo geopolitik mengatakan, konflik lokal adalah bagian dari konflik global. Itulah penjelasan tambahan secara sekilas tentang geopolitical flashpoints.
Jika membahas jalur strategis dunia, Indonesia mempunyai empat selat (strategis) dari tujuh selat strategis yang dimiliki oleh dunia, antara lain Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar, dimana keempat selat tersebut merupakan alur laut yang dilintasi SLOC —Sealane of Communications— jalur pelayaran yang tak pernah sepi karena dilewati 50-an percent pelayaran dunia. Secara geopolitik, keempat selat di atas tergolong geopolitic flashpoints.
Dalam situasi normal atau masa damai, seyogianya jalur-jalur tersebut bernilai profit serta memberikan kontribusi kepada negara yang memiliki. Entah fee, pajak, asuransi, atau jenis pungutan lain. Tergantung bagaimana mengelola. Sebaliknya, di masa krisis alias perang, ia dapat berubah menjadi “senjata geopolitik”, atau istilah lainnya geography weapon, geopolitical leverage dan lain-lain.
Rusia contohnya, ia memiliki senjata geopolitik berupa gas weapon terhadap Uni Eropa yang kini tengah “dimainkan” oleh Putin secara perlahan dalam hybrid war di Ukraina.
Dulu, sewaktu terjadi ketegangan diplomatik antara Amerika (AS) versus Iran beberapa tahun lalu, ini sekedar contoh, Iran baru mau berencana membuat aturan (undang-undang) penutupan Selat Hormuz — seketika harga-harga barang dan jasa langsung melejit terutama harga oil dan gas. Bagaimana jika Selat Hormuz benar-benar ditutup?
Nah, akibat efek kejut tersebut, akhirnya konflik diplomatik pun mereda. Hanya perang kata-kata. Contoh lain. Ketika Orde Baru berkuasa, Pak Harto melakukan test case melalui penutupan Selat Lombok selama beberapa bulan untuk latihan gabungan TNI-Polri. Sontak, Paul Keating —PM Australia pada masanya— pun terbungkuk-bungkuk ke Pak Harto supaya Selat Lombok segera dibuka. Kenapa demikian, sebab hampir 60-an percent ekspor-impor melewati Selat Lombok. Konon APBN-nya Australia pun banyak disumbang dari hilir mudik kapal-kapalnya di perairan Indonesia. Dalam geopolitik, situasi dan kondisi pada contoh di atas disebut bargaining position alias daya tawar posisi, sedang “barang” (selat)-nya disebut geopolitic flaspoints.
Alfred Mahan menyatakan, Indonesia memiliki daya tawar tinggi di panggung global karena faktor geoposisi silang di antara dua benua dan dua samudra. Itu garis besarnya. Jika posisi tawar tadi dibreakdown secara rinci justru lebih dahsyat lagi, misalnya, selain perairan Indonesia bagian dari SLOC, memiliki empat selat strategis, juga pasar potensial karena faktor demografi, serta tempat memutar kapital/investasi sebab aneka jenis tambang dan energi dimiliki oleh Indonesia. Itulah takdir geopolitik (Indonesia punya).
Kembali ke geopolitical flashpoints. Seyogianya Kemhan RI dan jajaran terkait mulai melirik takdir geopolitik tersebut untuk segera diberdayakan, tidak hanya manfaat (nilai) ekonomi di masa damai, tetapi dipersiapkan pula konsepsi perubahan menjadi senjata geopolitik ketika terjadi krisis. Ini mutlak diprioritaskan karena asumsi geopolitik beredar, seandainya meletus peperangan terbuka antara AS versus Cina di Laut Cina Selatan, maka pelayaran global cenderung mencari jalur bebas konflik yakni perairan serta selat-selat Indonesia.
Maka jalur atau penggal-penggal wilayah yang dilewati selat mungkin perlu dibangun markas dari Satuan Arteleri, misalnya, atau Arhanud, Marinir dan seterusnya dimana moncong-moncong senjatanya diarahkan (siap serbu) menghadap ke selat.
BUMN seperti PT DI dan PT Pindad perlu melakukan studi serta berinovasi untuk menciptakan alsus (kapal ukuran sedang) yang memiliki manuver tinggi di selat-selat, atau menciptakan senjata sedang guna operasional di perairan yang tergolong geopolitic flashpoints.
Demikian sekilas uraian tentang posisi tawar Indonesia serta geopolitical flashpoint yang dimiliki.
Terima kasih
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments