Sampai saat ini, kalangan sayap kanan di Amerika Serikat berkeyakinan bahwa Republik Rakyat Cina lah yang menyebarkan wabah virus corona atau yang kita kenal dengan Covid-19 ke seluruh dunia, baik karena secara sengaja atau karena secara kebetulan bocor dari sebuah Laboratorium virology, di kota Wuhan. Covid-19 ini dulunya kita kenal dengan SARS[Severe acute respiratory syndrome]-CoV-2.
Meskipun beberapa negara-bangsa telah melakukan riset dan menciptakan perang biologis, namun belum ada satu dokumen pun yang membuktikan bahwa sebuah negara tertentu telah terlibat dalam melancarkan perang biologis yang berakibat jumlah kematian yang berskala besar. Pada 1972, telah ditandatangani sebuah perjanjian bernama Biological Warfare Convention, yang melarang pengembangan maupun penyimpanan virus-virus maupun bakteri-bakteri beracun. Selain itu, Biological Warfare Convention juga memerintahkan untuk menghentikan maupun memusnahkan seluruh virus maupun bakteri beracun tersebut.
Adapun Republik Rakyat Cina menyetujui untuk menandatangani Biological Warfare Convention tersebut pada November 1984. Bisa dimengerti, karena Cina memang pernah mengalami pengalaman tragis jadi korban perang biologis ketika tentara Jepang menduduki Cina semasa berlangsungnya Perang Dunia II. Melalui program Angkatan Darat Jepang bernama Unit 731, tentara Jepang bertanggungjawab terhadap mewabahnya penyakit pes melalui penyebaran kutu lewat pesawat terbang terhadap penduduk Cina yang berada di beberapa kota di Cina.
Begitupula ketika tentara Cina melancarkan serangan biologis ke Changda, telah mengontaminasi wabah kolera terhadap 10 ribu warga Cina. Unit 731 Jepang juga menciptakan wabah penyakit cacar, disentri dan antrax, terhadap penduduki sipil Cina. Maka itu, kalangan yang menuding Cina telah mengembangkan Covid-19, sepertinya tidak bersimpati dan tidak peduli dengan sejarah penderitaan warga Cina ketika jadi korban perang biologis semasa pendudukan Jepang di Cina semasa Perang Dunia II.
Bahkan ketika badan intelijen AS dan Inggris menuding Presiden Irak Saddam Hussein telah memiliki senjata pemusnah massal, sejarah membuktikan bahwa ternyata itu merupakan tuduhan palsu. Sebaliknya sejarah membuktikan bahwa dilancarkannya perang biologis, seringkali dipicu oleh adanya pemujaan terhadap kultus pemimpin keagamaan melalui tokoh yang mengklaim dirinya sebagai pemimpin spiritual. Seperti gerakan keagaamaan melalui gerakan yang dipimpin Aum Shinrikyo dari Jepang. Atau the Bhagwan Shree Rajneesh cult, dan juga the “People’s Temple” of Reverend di bawah pimpinan Jim Jones. Dan di Cina, salah satu yang dapat sorotan menyusul mewabahnya Covid-19 adalah, Falun Gong. Falun Gong, menurut Wayne Madsen dalam artikelnya berjudul:
Cults and Bioterrorism: A Toxic Duo , merupakan sebuah komunitas yang seolah-olah merupakan perkumpulan spiritual yang bertumpu pada kultus kepemimpinan agama (a shadowy religious cult) yang punya hubungan erat dengan badan intelijen AS CIA. Falun Gong mendapat penghargaan dari Presiden AS Donald Trump. Dan progaganda Falun Gong juga mendapat dukungan dari beberap senator sayap kanan partai Republik seperti Tom Cotton dari negara bagian Arkansas, Ted Cruz dari negara bagian Texas, mantan duta besar AS di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Nikki Haley, dan komentator radio berhaluan sayap kanan Rush Limbaugh.
Begitulah. Nampaknya beberapa tokoh sayap kanan AS lah yang paling getol menuding pemerintah Cina menyebarkan virus Covid-19 sebagai senjata biologis. Misalnya saja pengacara pribadi Trump, Rudolph Giuliani. Adalah Rudolph Giuliani yang mantan walikota New York itu pula, yang secara terbuka mendukung semacam pemujaan keagamaan di Iran bernama the Mojahedin-e-Khalq (MEK).
Propaganda Falun Gong secara pelan tapi pasti menembus lingkaran diplomatic AS, termasuk menteri luar negeri Mike Pompeo. Propaganda yang ditebar Falun Gong adalah bahwa Covid-19 merupakan proyek dari Partai Komunis Cina.
Nampaknya penyebaran tuduhan terhadap Cina sebagai penyebar senjata biologis Covid-19, yang dilancarkan beberapa tokoh sayap kanan AS, dimaksudkan untuk membangkitkan kembali situasi Perang Dingin jilid kedua. Terutama dimotori oleh dua jaksa distrik negara bagian Missouri dan Missisipi. Yang mana keduanya telah melayangkan gugataan kepada pemerintah Cina atas kerusakan yang terjadi akibat wabah Covid-19. Tentu saja hal itu dilakukan sekadar untuk menggalang opini anti Cina.
Lebih gilanya lagi, perang yang dilancarkan oleh Kementerian Luar Negeri dan Gedung Putih terhadap badan kesehatan dunia WHO, nampaknya bertumpu pada progaganda yang dilancarkan Falun Gong, yang mengklaim bahwa WHO telah menjadi alat politiknya Cina. Yang mana tiga pucuk pimpinan WHO jadi sasaran tembak dari para tokoh sayap kanan AS seperti: Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesuas, Asisten Direktur Jenderal Dr. Bruce Aylward, dan Direktur Eksekutif Program Kedaruratan WHO Dr. Michael Ryan. Ketiganya dituding sebagai para influenser Cina.
Pemimpin spiritual Falun Gong, Li Hongzhi, gambaran tipikal dari sosok pemimpin kultus keagamaan, tinggal di kota New York, dan berstatus Permanent Resident di AS. Li Hongzhi, mengklaim mendapat kekuatan supranatural sejak usia 8 tahun. Melalui kekuatan supranaturalnya itu, Li mengaku bisa berjalan melalui dinding dan melayang di udara.
Yang mencurigakan dari manuver Falun Gong adalah berita yang dilansir oleh surat kabar corong Falun Gong, The Epoch Times. Surat kabar ini menulis bahwa Covid-19 bukan berasal dari pemerintah Cina, namun ditujukan untuk menghancurkan Partai Komunis Cina maupun jaringan internasional pendukungnya. Menurut tulisan The Epoch Times, beberapa wilayah yang terkena wabah Covid di luar Cina, merupakan mereka-mereka yang punya hubungan erat dengan Partai Komunis Cina. Baik yang mendukung Partai Komunis Cina di bidang perdagangan, investasi maupun dalam membantu citra internasional Partai Komunis Cina.
Mengapa New York termasuk hot zone wabah Covid? Karena kota ini punya tautan erat secara finansial dengan pemerintah Cina, dan adanya PBB dan Wall Street yang mana Wallstreet, menurut artikel The Epoch Times, secara diam-diam membantu keuangan Cina sehingga negara tirai bambu itu bisa bertahan hingga kini.
Lebih mengerikannya lagi, entah ini hanya retorika propaganda, atau memang benar-benar akan dilakukan, Falun Gong melalui The Epoc Times, menyerukan pembersihan unsur-unsur penyusup dari Partai Komunis Cina di New York. Maka itu mereka akan menargetkan selain Wallstreet, juga MSCI (Morgan Stanley Capital International), FTSE Russell, Bloomberg Index, dan JP Morgan. Serta tak ketinggalan markas PBB New York. Singkat cerita, Falun Gong dan media corongnya The Epoch Times, menyerukan agar menjauhkan diri dari elemen-elemen pendukung Partai Komunis Cina.
Jika benar bahwa virus Covid-19 sejatinya bukan virus alami melainkan hasil rekayasa manusia, Wayne Madsen berpandangan bahwa propaganda-proganda yang disuarakan melalui The Epoch Times, hal itu malah menempatkan Falun Gong sebagai tersangka utama. Baik dalam menebarkan maupun memprogandakan virus Covid-19.
Wayne Madsen nampaknya melihat adanya keserupaan antara Falun Gong dan Gerakan Aum Shinrikyo Jepang. Gerakan Aum Shinrikyo telah melancarkan terorisme biologis-kimia berupa serangan gas Sarin, terhadap sistem stasiun bawah tanan di Tokyo, Jepang, pada 20 Maret 1995. Sehingga menewaskan 13 orang dan ribuan korban lainnya mengalami luka-luka.
Aum Shinkriyo juga kedapatan memiliki virus Ebola yang berasal dari Zaire pada 1992. Adapun terjadinya bunuh diri massal yang dipicu oleh pemimpin kultus keagamaan People’s Temple, Jim Jones, yang punya tautan erat dengan CIA, juga kedapatan terlibat riset terkait perang biologis, di Guyana.
Satu lagi catatan yang tak boleh kita abaikan. Jones ternyata punya kaitan erat dengan kegiatan riset terkait perang biologis dan kimia, di Dugway Proving Grounds, Utah, dan sebuah riset yang terkait erat dengan program CIA di St. George Universtiy Medical School, di Granada.
Pada 1984, kultus keagamaan Bhagwan Shree Rajneesh cult, yang mengklaim dirinya sebagai sebuah gerakan mistik India, telah menebar racun bernama Salmonella typhi, pada salad bars di 10 restoran di Dallas, Oregon, yang berakibat timbulnya demam typhoid. Akibatnya, 751 orang terpaksa dirawat di rumah sakit.
Indikasi keterlibatan Falun Gong dalam melancarkan perang biologis itu, nampaknya sejalan dengan laporan intelijen Inggris pada Februari 2014 lalu, UK Secret UK Eyes Only”, yang disampaikan oleh the Defense Science and Technology Laboratory (DSTL) , di Porton Down, Inggris. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa Non State Actors akan berupaya merekayasa virus yang sama mematikannya dengan virus Ebola.
Dan Falun Gong, kiranya masuk dalam kategori Non State Actors. Namun seperti tulisan-tulisan Hendrajit, M Arief Pranoto maupun Sudarto Murtaufiq, meskipun Falun Gong terlibat dalam penyebaran maupun progaganda Covid-19, hal itu hanya mengindikasikan adanya tautan erat dengan para aktor non negara pada level atau lapisan yang lebih tinggi lagi.
Mencuatnya Falun Gong secara potensial sebagai tersangka pelaku, setidaknya di New York, maka tesis para peneliti senior Global Future Institute yang berkesimpulan adanya keterlibatan China Diaspora dan Yahudi Diaspora di balik Covid-19, nampaknya semakin masuk akal.
Di tengah upaya Falun Gong yang bertahan secara diam-diam, gerakan itu semakin mengakar di antara diaspora Cina yang tersebar di berbagai negara. Banyak pengikut Falun Gong yang melarikan diri ke luar negeri untuk mencari suaka. Pusat Informasi Falun Dafa mengungkapkan pengikut Falun Gong tersebar di lebih dari 70 negara.
Diolah dan ditambahkan oleh Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute.