Bergabung Dalam BRICS Plus, Posisi Strategis Indonesia Semakin Kuat

Bagikan artikel ini

Wacana untuk memperluas keanggotaan blok ekonomi dan perdagangan BRICS di luar Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan, sudah gencar sejak Juni 2022 lalu. Menariknya beberapa negara yang dikabarkan berminat bergabung dalam BRICS adalah Indonesia, Turki, Arab Saudi, Mesir, dan Argentina.

BRICS akan Memperluas Keanggotaan Indonesia Diajak Bergabung

Di tengah-tengah gentingnya konflik Rusia-Ukraina maupun upaya pemulihan ekonomi pasca Covid-19, ide memperluas blok ekonomi-perdagangan BRICS, merupakan langkah yang cukup strategis. Bagi Cina dan Rusia yang sejak Juni 2001 lalu menjalin kerjasama strategis dalam kerangka Shanghai Cooperation Organization (SCO), perluasanan keanggotaan BRIC dengan memasukkan negera-negara yang sedang berkembang/the Emerging Countries, sangat berpotensi untuk membangun suatu kekuatan baru semacam G-20 yang didominasi negara-negara Nonblok/negara-negara sedang berkembang.

Mengapa memperluas keanggotaan BRICS seperti Indonesia, Turki, Arab Saudi, Mesir dan Argentina menjadi sangat penting? Tentu saja akan tercipta symbiosis mutualism atau sinergi antara Cina-Rusia dan negara-negara berkembang/the emerging countries yang kita kenal sebagai negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Nonblok.

Rusia dan China, pendiri BRICS, berusaha membangun kekuatan baru untuk menyaingi dominasi negara-negara Barat. (Wikimedia Commons/Alan Santos/PR | Lisensi CC)

Bagi Cina dan Rusia maupun negara-negara pemrakarsa terbentuknya BRICS, yang selama ini berusaha membangun kekuatan baru untuk menyaingi hegemoni unipolar yang dimotori AS, Inggris dan negara-neggara NATO, BRICS dengan keanggotaan yang diperluas dari negara-negara sedang berkembang atau the emerging countries, maka akan tercipta suatu blok kekuatan baru meskipun awalnya merupakan kerjasama berbasis ekonomi dan perdagangan. Namun suatu saat pada perkembangannya juga bakal menjadi suatu blok politik dan keamanan yang patut diperhitungkan dalam konstelasi global maupun negara-negara adikuasa.

Bagi Indonesia yang saat ini sedang berupaya bangkit dari keterpurukan ekonomi dan menyusul keberhasilan India, Brazil, Korea Selatan dan Jepang, keikutsertaannya sebagai anggota BRICS Plus kiranya cukup penting. Menngingat salah satu hasil keputusan dari Konferensi Tingkat-Tinggi BRICS ke-12 di Moskow pada 2020 lalu telah menekankan pentingnya membangun stabilitas internasional, pertumbuhan industri dengan mengutamakan produk-produk inovatif, serta pentingnya saling berbagi dalam memperkuat bidang keamanan masing-masing anggota BRICS Plus.

Bahkan bukan itu saja. Cina dan India yang saat ini dipandang sebagai the new emerging countries di kawasan Asia yang sejak era 1950-an terlibat pertikaian wilayah perbatasan(border dispute), Cina dan India mampu meredam konflik-konflik politik berkaitan dengan wilayah lintas perbatasan kedua negara, berkat bergabungnya kedua negara tersebut dalam BRICS.

Baca juga:

Haruskah Indonesia Bergabung dengan BRICS?

Khusus bagi Indonesia, yang hingga kini tetap konsisten menganut Politik Luar Negeri yang bebas dan aktif, bergabung dengan BRICS Plus sangat bermanfaat untuk memprakarsai terciptanya Balancing Strategy atau Strategi Perimbangan Kekuatan agar tidak hanya tergantung pada pengkutuban tunggal/Unipolar yang dimotori AS, Inggris dan NATO. Esensi politik luar negeri RI yang bebas dan aktif selain bersifat pro aktif dalam pergerakannya, pun juga konstruktif dalam konstruksi kebijakan-kebijakan yang dirumuskannya. Lebih daripada itu, dengan merujuk pada prakiraan yang dibuat oleh Price Waterhouse Cooper, Indonesia pada 2050 mendatang akan masuk dalam kluster negara-negara maju.

Presiden Joko Widodo saat melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden China Xi Jinping di Villa 14, Diaoyutai State Guesthouse, Beijing, Selasa sore (26/7/2022). Baru-baru ini China mengungkap ada 13 negara yang tertarik untuk bergabung dengan BRICS dan dianggap bisa semakin kuat menyaingi G7.

Sehingga sejalan dengan hal itu, Indonesia kiranya harus membangun iklim yang kreatif dan inovatif selain kompetitif, untuk terciptanya perekonomian nasional yang efisien. Maka dengan kerangka pemikiran tersebut, kiranya sejalan dengan skema yang dirumuskan oleh APEC BRICS Plus baik sebagai skema kerjasama antar-negara yang bersifat multilateral maupun bilateral yang berfokus pada kerjasama antar dua negara.

https://www.youtube.com/watch?v=HeBATjarSso

Kenyataan bahwa saat ini Indonesia belum memutuskan menerima atau tidak “tawaran” BRICS, memang bisa dimengerti mengingat keputusan harus dibuat dengan penuh perhitungan. Selain pastinya akan ada proses tawar-menawar, negosiasi maupun kompromi politik tingkat tinggi untuk mencegah tidak terjebak dalam polarisasi dan persaingan antar-negara-negara adikuasa yang lebih mengutamakan dominasi dan hegemoni daripada kolaborasi, namun pada hakekatnya bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS Plus lebih banyak manfaat dan keuntungannya daripada kerugiannya.

Siapa Mendapat Manfaat Adanya BRICS?

Sebagaimana lazimnya sebuah asosiasi, BRICS didirikan supaya para anggotanya bisa saling memberi kemudahan dalam fasilitas kepabean dan perpajakan. Membuka akses lebih luas dalam menjalin kerjasama di bidang teknis, investasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, Kesehatan, energi, transaksi keuangan dan perbankan. Bahkan bukan itu saja. Juga terbuka kesempatan membangun bank pembangunan dan Prakarsa bantuan darurat keuangan.

BRICS akan Memperluas Keanggotaan Indonesia Diajak Bergabung

Bercermin dari perkembangan yang berlangsung akhir-akhir ini, kerjasama yang terjalin di antara negara-negara anggota BRICS, berhasil mengatasi dampak buruk dari dari dikenakannya sanksi ekonomi-perdagangan yang dilakukan AS. Bahkan secara ofensif mampu melakukan aksi bersama mengurangi penggunaan mata uang dollar AS yang selama ini selalu digunakan AS sebagai instrument penekan.

Segi lain yang kiranya patut jadi bahan pertimbangan Indonesia, BRICS yang dimotori oleh Cina, dalam usianya yang hampir seperempat abad, diperkirakan secara makro ekonomi akan mampu melampaui  AS dan negara-negara Eropa Barat.

Perkiraan ini mengabaikan fakta bahwa dalam beberapa tahun terakhir nilai dan volume perdagangan Cina dengan Eropa, AS, Jepang dan Korea Selatan telah melampaui nilai dan volume perdagangan Cina dengan tiga negara BRICS lainnya.

Atas dasar prakiraan tersebut, masuk akal jika BRICS akan menjadi kekuatan utama yang diperhitungkan dalam konstelasi persaingan global yang semakin menajam saat ini. Maka itu, kontribusi negara-negara non anggota BRICS kiranya akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan soliditas antara Cina-Rusia dengan negara-negara yang sedang berkembang/the emerging countries yang tergabung dalam Gerakan Nonblok.

Pada tataran ini, Indonesia sebagai pelopor terbentuknya Solidaritas Asia-Afrika di Bandung pada 1955 maupun Gerakan Nonblok di Beograd pada 1961, sangat logis untuk bergabung dalam BRICS Plus. Selain menguntungkan bagi kepentingan nasional Indonesia di bidang ekonomi. Selain itu dalam kapasitasnya sebagai negara pemrakarsa KAA Bandung 1955 maupun Gerakan Nonblok Beograd 1961, Indonesia akan tampil bukan saja sebagai kekuatan regional melainkan juga sebagai kekuatan global di pentas percaturan dunia internasional, dalam memperjuangkan kepentingan nasional negara-negara dunia berkembang (Global South Countries) sebagaimana yang sudah ditetapkan sebagai prioritas politik luar negeri RI di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com