Diplomasi Papan Catur dan Presiden Masa Depan

Bagikan artikel ini
Cerpen Kecil Geopolitik
Dari perspektif geopolitik, praktik politik bebas aktif Indonesia kini terlihat unik. Pada satu pihak, ia meminta bantuan ekonomi (utang) ke Cina, sementara di pihak lain, ia justru menggelar latihan gabungan militer dengan Amerika (AS) dan sekutu. Garuda Shield. Sekali lagi, ini model diplomatik unik Indonesia. Kenapa? Sebab, politik latihan militer AS dimanapun niscaya ditujukan guna menaklukkan realitas rival-rivalnya. Entah Rusia mungkin, atau Cina, The New BRICS dan lainnya.
Nah, dari sisi latihan militer bersama tersebut, terkesan seolah-olah Indonesia bagian dari AS yang hendak menyerang rivalnya. Mana mungkin? Sedang Indonesia meminta bantuan ekonomi ke Cina. Dunia memahami bahwa Cina-lah rival utama AS, selain Rusia dan BRICS. Dan saat ini, AS kini tengah menggelar proxy war di Ukraina melawan Beruang Merah. Retorikanya, “Apakah ini praktik politik dua kaki?”
Asumsi pun berputar-putar di langit geopolitik terkait kondisi di atas, bahwa politik (luar negeri) Indonesia sekarang ibarat ‘papan catur’. Sengaja menjadikan dirinya sebagai medan tempur (proxy war) bagi para adidaya yang tengah bertikai.
Memang. Modus ekspansi Cina di Indonesia lebih mengkedepankan smart power (aspek ekonomi), sedang AS menggunakan hard power (militer di depan). Hal ini tak lepas dari pola ekspansi kapitalisme dan komunisme global. Jika kapitalisme cenderung menggunakan milter di depan didukung oleh kaum pemodal di belakang, sedang komunisme kebalikannya — kaum profesional alias business man di depan didukung militer. Hal ini terlihat dari model Turnkey Project Manajement di setiap investasi di berbagai negara mulai dari top management, money hingga ke kuli-kulinya dalam skema Belt and Road Initiative, sedang model ekspansi AS terlihat dari puluhan pangkalan militernya mengelilingi Indonesia, terutama deploy ribuan marinir di Darwin, Australia, sejak era Obama, Presiden AS ke-44.

Dalam konteks diplomasi papan catur, Indonesia semacam medan kurusetra. Tempat ajang mengadu teori perang antara Sun Tzu versus teori Clausewitz.
Geopolitik mengajarkan, bahwa posisi silang Indonesia di antara dua benua dan dua samudra apabila tanpa pemahaman dan penghayatan mendalam soal (geo) posisi dimaksud dalam dinamika geopolitik global, dikhawatirkan bahwa kebijakan bahkan program yang dicetuskan Indonesia cenderung:
1) hanya menjadi medan kurusetra alias proxy war; atau
2) menjadi buffer zone. Sekedar zona penyangga para adidaya yang bertikai.
Geopolitik menjelaskan bahwa power concept terbagi tiga hal antara lain power militer, power politik, dan power ekonomi. Dan ketiga power concept digunakan oleh kedua blok yang bertikai secara simultan dengan intensitas berbeda. Kadang melalui politik di depan, kerap lewat power ekonomi, sekali-sekali show of force militer alias hanya shock and awe, perang kata-kata, dan lain-lainnya.
Agaknya, pada ‘medan tempur Indonesia’, Cina lebih memprioritas power ekonomi daripada power lainnya, power politik sekilas-sekilas saja, dan militer disembunyikan; sedang Barat lebih mengkedepankan ketiga power secara simultan namun intensitas berbeda. Ini menarik, bahwa smart power Cina pada satu sisi, berhadapan dengan tren hard power AS di sisi lain.
Kita flashback sebentar di era Orde Lama. Dulu, ada langkah politik Orde Baru yang dikenal dengan istilah “Mendayung di Antara Dua Karang”. Praktik politik diplomasi pada era Bung Karno kondisinya nyaris sama dengan situasi terkini. Manuver (geo) politik Indonesia di antara dua blok yaitu Uni Soviet dan AS. Antara Kapitalis versus Komunis dengan tema atau agenda Perang Dingin (Cold War). Sekali lagi, kondisi dulu nyaris sama dengan situasi yang berkembang sekarang yakni perang pengaruh antara dua blok. Perulangan perebutan sphere of influence.
Tempo doeloe, hasilnya apa?
Tak bisa dipungkiri, dari Uni Soviet dapat ‘ini’ — dari AS dapat ‘itu’. Indonesia menang banyak. Bahkan dulu merupakan kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara. Hal tersebut menimbulkan inspirasi bahwa presiden terpilih pada 2024 nantinya mutlak harus memahami kondisi ini dengan pertimbangan, apakah diplomasi papan catur bakal menjadi berkah, atau malah musibah?
Merujuk kondisi riil dan hal yang berkembang, Indonesia ke depan mutlak harus dipimpin ‘sosok panglima’. Kenapa? Selain memiliki jiwa nasionalisme tinggi, juga faktor geoposisi silang mengharuskan ia dikendalikan oleh sosok yang paham geopolitik secara mendalam. Jika tidak, maka Indonesia tetap menjadi medan tempur dan buffer zone bagi para adidaya.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com