Bread, Love and Dream: Kebangkitan ‘Korea’ Dalam Sepotong Roti

Bagikan artikel ini

Jokosaw Koentono (Komunikator Sosial dan Budaya/Direktur Budaya Global Future Institute)

Pada awal 1990-an, di Jakarta, masyarakat baru mengenal Korea melalui tinju, Tae Kwon Do, Kempo dan beberapa restauran Arirang. Para pebisnis lokal suka meremehkan reputasi para pencari peluang usaha asal Korea. Perusahaan – perusahaan sepatu mereka, kala itu, kerap   diwarnai demonstrasi buruh – karena alasan upah rendah. Bahkan para Jablai di seputar Blok M hanya melirik dengan sebelah mata kepada tamu Korea yang datang ke rumah-rumah hiburan di sana. Citra umum kurang baik. Namun pada saat itulah Korea, di bawah kepemimpinan presiden Roh Tae-woo, sedang berbenah diri. Di saat sama, komputer merek Samsung mulai bertarung di pasar Indonesia. Produk-produk KIA dan Hyundai, meskipun baru secuil, mulai mencuri kue pasar otomotif yang dikuasai Jepang, Eropa dan Amerika.

Kebangkitan dan Televisi 

Persepsi-persepsi negatif tadi sontak berbalik arah setelah pada tahun 2002, bersama Jepang, Korea sukses gilang-gemilang menyelenggarakan Piala Sepak Bola Dunia yang, disebut-sebut, sebagai awal kebangkitan kembali Asia. Perlahan, drama televisi ‘All about Eve’, ‘Hotellier’, ‘Winter Sonata’, ‘Endless love’ murayapi lahan tontonan Indonesia. Yang fenomenal, satu tayangan streepping ‘Dae Jang Geum’, di sini dikenal dengan judul ‘Jewel in The Palace’, menyedot perhatian lebih besar dari kalangan keluarga. Berkisah tentang seorang gadis penyabar yang menjadi wanita tabib pertama di Korea (pada jaman Dinasti Joseon). Yang perlu dicatat dari tayangan ini terletak pada bagaimana kesejarahan kuno Korea, adat-istiadat, ilmu ketabiban, ragam kuliner, intrik kekuasaan di lingkungan kerajaan dan kisah cinta, diramu menjadi tayangan televisi yang padu dan penuh daya pikat. Tidak hanya di Indonesia. ‘Dae Jang Geum’ digemari di Cina, Vietnam, Filipina, Singapura, Jepang, Iran, Eropa, Kanada dan Amerika. Lokasi shooting serial ini di Yangju City – luar kota Seoul, kemudian, dikemas menjadi sumber ekonomi yang menarik perhatian 800 – 1000 wisatawan dunia saban hari.

Sejak itu, berturut-turut, masyarakat Indonesia semakin akrab dengan tayangan televisi asal Korea. Antara lain Hwang Jin-i, Beethoven Virus, Cinderella Stepsister, Thank You, Princess Hours, Bread, Love and Dream dan sederet tayangan populer lainnya. Sepintas, tayangan-tayangan itu merupakan produk industri biasa. Bertujuan komersial yang mendatangkan banyak uang bagi para pembuatnya. Namun coba teliti bagaimana Koreanovela ini digarap dan memilih tema besarnya. Penulis berkesimpulan bahwa produksi televisi itu dirancang secara matang sebagai ujung tombak industri kreatif Korea dan sekaligus bagian dari kampanye kebangkitan bangsa.

Bagimana tidak? Setiap tayangan itu membawa pesan tentang pentingnya kesungguh-sungguhan dalam menekuni bidang-bidang kehidupan masyarakat. Pada ‘Cinderella Stepsister’, pembuatan anggur beras misalnya, ditawarkan menjadi pilihan bidang hidup yang prestisius dan menggairahkan. Perhatikan pula ‘All About Ave’ berlatar kehidupan reporter TV, ‘Beethoven Virus’ mengangkat tema musik klasik, ‘Hwang Jin-i’ memilih tema penari (kisah nyata seorang Kiaseng), ‘Hotellier’  berlatar kehidupan di lingkungan perhotelan, ‘Coffee Prince’ tentang seorang kopi barista, ‘Thank You’ bertema AIDS dan kemanusiaan, dan ‘Bread, Love and Dream’ berkisah seputar pembuatan roti. Tidak satupun dari tayangan-tayangan itu yang lupa menekankan pentingnya kesungguh-sungguhan, cita rasa, gairah penciptaan, persaingan dan keunggulan kompetitif, yang ingin ditanamkan sebagai watak dasar bagi bangsa Korea.

Dalam ‘Beethoven Virus’ yang berkisah tentang demam musik klasik di Korea, hampir semua pemainnya seolah terdiri dari para pemusik klasik sungguhan. Dalam dialog maupun cara-cara menyikapi alat musik, mereka, para aktor dan aktris, atau bahkan para figuran yang terlibat, bermain seperti laiknya para pemusik klasik yang terlatih dan memiliki kecintaan terhadap bidang hidup yang mereka banggakan,  Demikian pula dalam ‘Bread, Love and Dream’, pembuatan roti tidak semata mengungkap aspek teknis dan bisnisnya. Untuk membuat roti, melalui cerita yang dibangun dalam setting ruang terbatas, itu mengajarkan filosofi dasar pembuatan roti yang berpilar dari tiga kata kunci. Yaitu tepung, air dan ragi atau fermentasi. Teknik-teknik pembuatan roti dipertontonkan sedemikian detil melalui proses yang rumit dan tidak gampang. Melalui sepotong roti, hidup diperjuangkan.

Dapat dipastikan, ada grand design yang dirancang oleh pengelola negara – bekerja sama dengan industri dan bisnis – untuk membangun kesadaran bersama bahwa, untuk melahirkan peradaban Korea yang baru perlu diawali melalui cara  membentuk kualitas manusia yang mampu mengharmonisasi potensi cita-rasa (sense), hasrat (passion and intention) dan kekuatan cipta (invention).  Semua unsur masyarakat wajib terlibat. Termasuk pembuat kopi, pekerja hotel, reporter TV, ahli roti, maestro musik, pembuat anggur beras, penari, sopir taxi, penjual mie, dan siapa pun.

Menonton tayangan-tayangan televisi asal Korea, terlepas dari kontroversi gaya hidup yang melingkupi para bintangnya – yang gemar memermak wajah melalui operasi plastik – pemirsa mendapat banyak pencerahan dan memotivasi. Rayni N. Massardi, penulis, yang mengaku menggemari tayangan Drama Korea, menurut pengakuannya, seperti mendapat suntikan vitamin penambah tenaga yang membuka kesadaran kembali bahwa hidup begitu berharga dan mulia.

Kepungan Motivasi 

Penulis tidak hendak terburu-buru membandingkan dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia pada beberapa tahun belakangan. Korea, begitu pula China dan India, menyadari benar bahwa globalisasi bukan saja sebuah ancaman. Melainkan peluang. Untuk itu masalah dalam negeri ditata lebih dulu sebaik-baiknya. Pendidikan dan Industri menjadi titik perhatian utama pemerintah di sana – yang secara berkelanjutan – terus ditingkatkan.

Seorang wartawan senior harian Korea di Indonesia yang pernah berbincang dengan penulis menyebut, etos kerja dan kesadaran nasionalisme ditanamkan sebagai landasan terpenting dalam membangun Korea masa depan. “Pemerintah kami begitu fokus untuk membawa Korea menjadi yang terbaik di Asia, bahkan dunia.”, tambahnya.

Tekad itu tidak berhenti sampai batas keikutsertaan ‘negeri ginseng’ itu dalam berbagai forum dan kesepakatan-kesepakatan baru yang dianggap sebagai keniscayaan global. Strategi besar dirancang. Salah satu yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana media massa, terutama televisi, dipandang sebagai sarana utama dalam membawa pesan-pesan  perubahan. Masyarakat diberi pencerahan melalui suntikan motivasi dan membuat sendiri alasan-alasan. Dan itu, tidak mungkin bila hanya satu dua tayangan televisi yang disikapi sama. Sementara tayangan lain dibiarkan begitu saja mengikuti hukum pasar yang rakus dan liar. Cara-cara pandang lama yang menganggap pendidikan bangsa hanya efektif dilakukan melalui bangku sekolah dan orasi-orasi politik para elit, telah direvisi. Sebagai jawaban, masyarakat Korea dikepung oleh inspirasi rupa, suara, aksara dan pengecapannya. Seni rupa Korea dikembangkan hingga menembus batas ruang-ruang galeri maupun bursa lelang. Lebih jauh, seni rupa dioptimalkan menjadi media perubahan yang diaplikasi ke dalam jenis-jenis materi kampanye pemberdayaan. Indutri musik dilipatgandakan jumlah produksinya. Lirik-liriknya menyentuh dan membawa pencerahan. Buku-buku diterbitkan. Program televisi menjadi panglima. Yang terakhir, indra pengecapan diasah melalui pemuliaan industri kuliner yang semakin mendunia.

Bentuk-bentuk dan cara propaganda telah disempurnakan dengan mengikuti teknik-teknik komunikasi modern. Tidak lagi menggunakan intimidasi dan tekanan-tekanan. Melainkan persuasi dan pengepungan. Ruang hidup masyarakat, sesuai kredo ini, dipenuhi gagasan dominan satu arah. Dari kelompok elit untuk publik. Dengan demikian ruang hidup  masyarakat dikepung pesan-pesan ringan (persuasif) yang memiliki konteks dan solusi terhadap masalah kehidupan sehari-hari. Di satu sisi proses pasar tidak ditampik. Malah sebaliknya, diikuti melalui upaya penyediaan dan ketersediaan ‘gagasan-gagasan besar’ di ruang publik. Dalam hal satu ini, pemerintah Korea sangat konsisten dalam menjalankan strategi peradaban. Dan terbukti, mereka berhasil.

Dalam waktu singkat, pencapaian teknologi – ekonomi Korea sangat diperhitungkan. Samsung dan KIA mencuat menjadi global brand mewakili kedigdayaan industri suatu bangsa. Kualitas pergaulan internasional mereka berubah secara menakjubkan. Kimchi dan Bulgogi menjadi kekayaan kuliner yang akrab di lidah kita. Berbagai kekayaan lokal dikemas menjadi kebanggaan bangsa serta disikapi sebaik-baiknya sebagai media motivasi dan sekaligus sumber ekonomi dari perkembangan-perkembangan industri kreatif mereka. Satu lagi yang tidak kalah penting, di Indonesia, pria hidung belang Korea yang gemar berkeliaran rumah-rumah hiburan malam tidak lagi dicibir para Jablai sebagai si genit yang pelit.

Perang Peradaban

Dalam benturan peradaban di era global seperti yang diperingatkan Huntington, melalui bukunya Clash of Civilization (1993), maupun Bung Karno, melalui pidatonya pada tahun 1954-an, peradaban akan menjadi sumbu ledak pertengkaran dunia. Namun keunggulan kompetitif peradaban suatu bangsa tetap perlu dicapai dan diperjuangan. Kita pantas bercermin dari kebangkitan Korea. Bahwa dalam keniscayaan pasar sekalipun, dimana proses sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang secara demokratis diserahkan sepenuhnya melalui mekanisme pasar, pemerintah tetap wajib berperan dominan. Program-program pemerintah dijalankan berdasar kesadaran bernegara untuk mewujudkan  kesejahteraan dan kemuliaan bangsanya. Publik diajak memiliki kesadaran kolektif (dominan) dalam membangun peradaban. Karena hanya bangsa-bangsa yang unggul yang mampu mengambil keuntungan dari pertarungan peradaban yang sedang berlangsung.

Selama 7 tahun belakangan, setelah gaduh reformasi yang melelahkan, pemerintah Indonesia kembali mengusung jargon-jargon pembangunan. Tahun 2005 dicanangkan sebagai tahun Disiplin dan Peningkatan Kualitas Kerja Aparatur Negara. Tahun 2006 sebagai tahun UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Tahun 2007 dicanangkan sebagai Tahun Kebangkitan Nasional. Tahun 2008 adalah Tahun Kunjungan Indonesia. Tahun 2009 sebagai Tahun Industri Kreatif. Tahun 2010 merupakan Tahun Kunjung Museum. Tahun 2011 ini, konon, adalah Tahun Kerja. Hasilnya? Tidak ada yang bisa kita catat sebagai tanda-tanda perubahan.

Sementara tayangan televisi nasional hanya berisi pertikaian para elit dan kriminotainmen. Libido konsumtif masyarakat dipompa terus. Tidak tangung-tanggung, tahun 2011, biaya belanja iklan sebesar 62 trilyun rupiah, atau lebih. Produksi sinetron yang mendominasi ruang hiburan tidak berkembang. Masih melulu berupa tayangan yang menonjolkan bunga-bunga cerita ketimbang kekuatan isi. Sebagian masyarakat mulai jengah. Mereka memilih menonton Koreanovela; ‘Winter Sonata’, ‘Dae Jang Geum’, ‘Hwang Jin-i’, ‘Beethoven Virus’ atau ‘Bread, Love and Dream’. Idep-idep mencari hiburan alternatif dan menikmati ‘kemolekan buatan’ para pemerannya, pemirsa bisa memperoleh motivasi dan penyadaran baru yang lebih bergizi.

Oleleo leleo..“…kalau cermin tak lagi punya arti”, demikian Leo Kristi, “pecahlah berkeping-keping. Dan kita berkaca di riak gelombang”. Berkaca diri pada cermin berkeping dan riak gelombang, tentu saja tidak mungkin. Lebih baik menyaksikan ‘Bread, Love and Dream’ . Menyimak kebangkitan Korea dari kisah sepotong roti.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com