Catatan tentang Ideologi Hidup, Cinta Tanah Air dan Membangun Nasionalisme

Bagikan artikel ini

Dhika Firdian, Ketua dan Pendiri Paguyuban Warga Nasionalis Indonesia

Kata nasionalisme berasal dari ”nation” (bahasa Inggris) artinya ”bangsa”, dalam bahasa Latin diartikan ”kelahiran kembali, bangsa, atau suku”. Sedang definisi bangsa adalah sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah tertentu, dimana memiliki hasrat dan kemauan bersama guna bersatu karena persamaan nasib, cita-cita, kepentingan dan tujuan.

Sehingga nasionalisme dimaknai sebagai: ”paham yang menempatkan dan memberikan kesetiaan tertinggi individu (warga) kepada negara dan bangsa (Hans Kohn). Semangat dan perasaan kebangsaan ialah perasaan cinta terhadap bangsa dan tanah airnya”. Inilah sikap politik sekelompok orang yang memiliki kesamaan budaya dan wilayah serta sama dalam hal cita-cita, sehingga merasakan kuatnya kesetiaan terhadap kelompok (bangsa). Dengan demikian, nasionalisme adalah paham atau ideologi politik suatu golongan yang meletakkan ”segenap” unsur CINTA TANAH AIR di atas segala-galanya, melebihi unsur atau aspek lain dalam dinamika berbangsa dan bernegara.

Bentuk Nasionalisme   

Dalam perspektif politik global, nasionalisme sebagai teori dan paham terbagi enam bentuk besar atau kategori. Antara lain adalah aliran berbasis keagamaan, kenegaraan, romantik, etnis, budaya dan kewarganegaraan. Akan tetapi dalam implementasi, terkait kharakteristik, budaya dan sejarah bangsa –terlebih di era globalisasi — jarang yang menerapkan mutlak satu teori tunggal. Kelaziman muncul adalah model-model campuran antara bentuk yang satu dengan lainnya.

Sebelum melangkah jauh, akan dijelaskan bentuk asli masing-masing teori dan kategori yang berkembang, antara lain :

(1) Nasionalisme Kewarganegaraan. Atau disebut nasionalisme sipil yaitu suatu kategori nasionalis, dimana negara mendapat kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyat, kehendak, atau perwakilan politik. Teori ini mula-mula dibangun oleh JJ Roscoeu dalam bukunya berjudul Du Contract Sociale (Mengenai Kontrak Sosial);

(2) Nasionalisme Etnis. Adalah suatu jenis nasionalisme ketika negara memperoleh kebenaran politik melalui budaya asal atau etnis daerah suatu masyarakat. Ia dibangun Johann Gottfried von Herder yang mengenalkan konsep Volk (bahasa Jerman, artinya “rakyat”);

(3) Nasionalisme Romantik. Juga disebut nasionalisme organik adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara (organik) hasil dari suatu bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik ini bergantung pada perwujudan etnis yang menepati idealisme romantik; membangun kisah tradisi yang telah direka sebagai konsep nasionalisme romantik;

(4) Nasionalisme Budaya. Adalah aliran nasionalis yang memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukan “sifat keturunan”  seperti warna kulit, ras dan lain-lainnya. Contoh terbaik ialah rakyat Tionghoa menganggap negara berdasarkan budaya. Unsur ras ditinggalkan, dimana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain dianggap sama sebagaimana rakyat lainnya. Kesediaan dinasti Qing menggunakan adat istiadat dalam mekanisme pemerintahan membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Akhirnya banyak rakyat Taiwan menganggap dirinya mempunyai nasionalis Tiongkok karena persamaan etnis, kendati secara politis menolak Pemerintahan Cina karena ideologinya komunis;

(5) Nasionalisme Kenegaraan. Ialah gabungan aliran kewarganegaraan dengan aliran etnis. Kuatnya perasaan nasionalistik sehingga lebih memberi keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan negeri selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan “national state” dianggap argumen ulung, karena seolah-olah membentuk kerajaan tersendiri. Contohnya nazisme dan nasionalisme model Turki kontemporer, dan sebagainya.

Terkadang deras arus nasionalisme di suatu bangsa malah menimbulkan konflik internal. Artinya kesetiaan warga terhadap tanah airnya justru berpotensi berhadapan dengan pengelola wilayah (pemerintah). Misalnya  nasionalisme Turki di zaman Dinasti Utsmaniyah dulu, atau penindasan nasionalisme Kurdi di Iraq, dan seterusnya — namun hal itu bukanlah suatu keniscayaan cuma kasuistis belaka, oleh sebab “sesuatu” hal berkenaan dengan politik praktis;

(6) Nasionalisme Agama. Dalam nasionalisme ini, negara meraih legitimasi politik dari persamaan agama. Meskipun nasionalisme agama seringkali adalah campuran etnis. Misalnya Irlandia, bahwa sumber semangat nasionalis berasal dari agama sama yaitu Katolik; juga nasionalisme di India yang dilakukan pengikut partai BJP bersumber Hindu. Bagi kebanyakan kaum nasionalis, sering meletakkan agama hanya simbol dan bukannya motivasi utama kelompok. Contohnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin penganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk teologi semata, namun menegakkan paham terkait Irlandia sebagai negara merdeka, terutama budaya. Oleh karena itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan meskipun tidak seluruhnya demikian.­­­

Sesungguhnya apapun ideologi dianut suatu negara bangsa, entah ia komunis, kapitalis, sosialis, fasis dan sebagainya, maka cinta terhadap tanah air (nasionalisme) merupakan hal yang vital lagi urgen. Artinya tanpa landasan nasionalisme kokoh dari para warga, suatu bangsa akan rapuh, rentan perpecahan dan mudah “ditaklukkan” bangsa lain (asing). Sudah tentu semangat cinta tanah air mutlak harus ditumbuhkan, dikemangkan bahkan dilestarikan, sebab ia adalah titik awal dan landasan utama dalam rangka membangun suatu bangsa dan negara yang makmur, adil dan jaya.

Bagaimana Nasionalisme Indonesia

Indonesia adalah negeri kepulauan (archiepelagos) terbesar berpenduduk lebih dari 200-an juta jiwa dengan aneka suku, agama, ras, golongan dan bahasa – maka jiwa, semangat dan perasaan cinta tanah air dari setiap warga negara harus “mendarah daging”, menjadi HARGA MATI dan TAK BOLEH DITAWAR-TAWAR LAGI. Artinya tanpa doktrin seperti itu,  negeri kepulauan terbesar ini tinggal menunggu saat keruntuhannya saja. Oleh karena itu — siapapun warga, dari mana suku dan ras, apapun agama dan golongan selama ia menjadi bagian dari semangat dan perasaan cinta tanah air maka mata batinnya wajib tertuju pada satu arah yakni : Menuju Indonesia Jaya!

Maka cinta tanah air dan cita-cita menuju Indonesia Jaya, wajib diletakkan dalam SATU TARIKAN NAFAS menuju “negeri yang makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran”. Ia pantas digelegarkan, seperti ombak di laut yang tidak berujung lagi tak pernah membikin bosan bagi setiap insan yang berkunjung. Walaupun dalam praktek nasionalisme  — warga usia lanjut sering kebacut, dan usia muda cenderung membuat kecewa. Ataukah ada sebab pokok – kenapa banyak anak bangsa kini lebih mencintai “tanah” lain, selain tanah air beta? Ada segelintir kaum yang asyik mencari cinta lain di negeri asing daripada negerinya sendiri baik dengan cara sembunyi maupun terang-terangan berkedok menegakkan HAM, kemiskinan, demokratisasi dan kemanusiaan.

Barangkali rasa nasionalis mereka tengah bersembunyi di antara (sedap) garam dan pahit yang melekat di air. Sedapnya cinta terhadap tanah air, seperti hilang tertutup hijab — membuat buta, menjadikan gila – menerpa siapa saja. Lelaku getir dan luka dalam membangun nasionalisme bangsa, boleh saja diibaratkan sekedar mencicip secangkir kopi — lalu pergi. Entah kemana.

Tingkatan dan Membangun Nasionalisme

Membangun dan meraih nasionalisme yang kokoh terpatri di setiap warga, laksana bahtera yang berlayar di laut bebas meraih cinta dan cita-cita. Yah, setiap diri warga niscaya berharap “dermaga” kesenangan dan kebahagian dalam kehidupan. Sebagaimana diurai bahwa kalimat “nasionalisme dan Indonesia makmur berkeadilan” merupakan satu tarikan nafas tidak boleh terpisahkan. Itu mutlak. Oleh sebab warga memberikan kesetiaan tertinggi kepada negara, lalu menjadi wajar ketika (suasana) adil berkemakmuran mengisi setiap beranda, kantong dan isi dapur warga melalui peran negara. Alangkah indahnya!

Ada sastra berbunyi : “culiko mlebu warongko” — andai terhunus pedang bakal menghujam lawan-lawan! Itulah seharusnya praktek riil nasionalisme di Indonesia. Ia harus menjadi ideologi hidup, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Seperti pepatah ”adigang – adigung –  adiguna, sopo wani mring ingsun” akan terlihat menyolok sebagai sifat angkuh dan sombong, tetapi apabila didudukkan di koridor cinta tanah air akan menjadi piyandel alias andalan. Ya, nasionalisme bakal menjadi ageman kang sunyoto alias pegangan (ideologi) hidup — prabowo kang sumebar (wibawa yang bersinar) terutama dalam kancah pergaulan dan dinamika politik global.

Tatkala bangsa telah bertekad meraih Indonesia Jaya makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran, menjadi mutlak setiap warga mengetahui dan memahami dahulu letak atau tempat-tempat nasionalisme dalam praktek kehidupan sehari-hari. Ibarat ruh yang menempati jasad disebut jiwa, dan ketika keluar namanya almarhum, maka semangat dan jiwa (nasionalisme) yang keluar masuk dalam tarikan nafas warga masyarakat pun harus ada sebutan serta tempat-tempatnya. Maka nasionalisme di Tingkat Pertama, serendah-rendahnya ialah cinta kepada keluarga dan rumah tangganya!

Cinta dan cita-cita (nasionalisme) tahap pertama menuju kesenangan sesuai keinginan, selayaknya digaris bawahi agar tidak sampai berbuat ”salah tempat”. Oleh sebab jika salah dalam meletakkan rasa cinta tanah air di tahapan awal –yang seharusnya untuk keluarga– namun ternyata di letakkan pada tempat lain akan membuat diri warga “teraniaya”. Kerukunan bisa goyah, rasa guyup dan kenyamanan akan menjadi bubrah. Kuncinya mudah dan sederhana yakni ketepatan dalam menempatkan semangat nasionalisme pada tingkatan awal merupakan pokok landasan bagi tingkat-tingkat nasionalisme di atasnya.

Sedang Tingkat Kedua dari nasionalisme yakni : Amanah. Amanah dalam pengertian berbuat dan taat hukum. Terutama amanah dalam perilaku atas perbuatan diri masing-masing dan keluarga demi ketentraman lingkungan serta taat terhadap hukum positif yang berlaku.

Sering demi sesuap nasi, segenap individu masyarakat bekerja untuk kestabilan harkatnya sebagai manusia, kemudian lingkungan dan negara menerbitkan aturan hukum. Yang dimaksud aturan disini adalah sarana kendali warga, baik tertulis maupun tidak. Dengan demikian, hakikat ketaatan hukum masyarakat adalah menjaga harkat dan martabatnya sebagai warga itu sendiri, dengan kata lain bagi yang tidak taat hukum sesungguhnya harkatnya turun sebagai warga.

Berikutnya — perpindahan dari nasionalisme di Tingkat Pertama ke tempat lain (Kedua) disebut DINAMIS. Kata lainnya ialah REINKARNASI. RE asal kata dari bahasa Yunani artinya “sedang”, dan INKAR itu bahasa Arab artinya ”menyalahi janji”, sedang NASI bahasa Arab diartikan ”manusia”. Dengan demikian maksud reinkarnasi dalam koridor nasionalisme adalah : ”setiap warga yang tengah menyalahi janji pada negara dan diri sendiri”. Akan tetapi hikmah reinkarnasi harus dimaknai sebagai keseimbangan berbasis hukum timbal balik (stabilizer) – merujuk perspektif hukum sebab akibat, bahwa apa yang terjadi di dunia semata-mata karena efeknya. Dengan maksud menjaga tatanan hidup agar para warga lebih bersih dan konsekwen (keseimbangan). Namun bila dikaji lebih dalam adalah guna menyelaraskan warga kepada sejatinya fitrah yaitu hukuman atau siksa – tentang konsep salah dan benar, pahala atau dosa. Semua hukum tersebut, baik tertulis (tersurat) maupun tersirat dikenakan terhadap seseorang yang telah melakukan perbuatan, entah sadar atau tidak, entah tahu atau tidak tahu — semua akan memetik hasil perbuatan itu sendiri.

Ada beberapa local wisdom (kearifan leluhur) bangsa ini tertuang dalam sastra : (1) “urip iki koyo dene mampir ngombe” (hidup ini seperti singgah untuk minum); (2) “wong urip bakal ngunduh wohing budi pakerti” (orang hidup akan memetik buah dari budi pekerti ); (3) “wong salah bakal seleh, wong bener bakal ketenger” (orang yang salah akan hancur, orang benar akan kelihatan).

Agaknya filosofi di atas menegaskan keterangan sebelumnya tentang hasil setiap perilaku nasionalisme Tingkat Pertama yakni cinta terhadap keluarga dan hasil implementasi Tingkat Kedua yakni (amanat) untuk berbuat baik terhadap lingkungan dan taat terhadap hukum positif.

Fuad (bahasa Arab) itu artinya “terbitnya hati”. Inilah yang sering dimaknai dengan NIAT. Ia adalah biji atau benih, atau pada terminologi lain dimaknai REGENERASI. Sedang sastranya berbunyi : “bakal ngunduh woh ing budi pekerti” (setiap diri akan memetik hasil dari perbuayannya); ”Wong salah bakal seleh” (orang salah akan hancur); “Wong bener bakal ketenger” (orang benar pasti terlihat). Ungkapan tersebut sekedar peringatan kepada warga agar senantiasa mawas diri atas sepak terjang dan tingkah lakunya. Nilai leluhur menyatakan: “ojo seneng nggawe cidra, pungkasane uripe nelongso” (jangan suka membuat kerusakan, kelak hidupnya nelangsa). Itulah Nasionalis Tingkat Ketiga. Dimana setiap warga wajib mempunyai NIAT dan TEKAD mengubah bangsa dan negara Indonesia menjadi negeri makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran — berbasis pada aturan hukum.

Fitrah artinya suci (kembali suci). Inilah nuansa yang dicari siapapun jika kelak masa KEMBALI datang menjemput, setelah setiap jiwa warga ber-DINAMIKA dalam kehidupan fana ini – kendati ada yang sadar dan tidak menyadari perihal urgensi kesucian dalam proses kembali nanti.

Dan menuntut ilmu (pakaian/simbol sosial) merupakan kemutlakan bagi setiap diri yang ingin kembali suci. Ibarat berlayar mengarungi lautan, agar tak terlantar, atau tersesat dan terombang-ambing oleh ”ombak kehidupan” – dan sebaik-baiknya perahu selain agama masing-masing warga, maka ideologi itu ialah NASIONALISME meski sungguh telah bertebaran ideologi lainnya di muka bumi.

Tumbuhnya kesadaran setiap diri semakin meletakkan bahwa ilmu begitu berperan sebagai cara atau sarana mengurai kehidupan. Tetapi ia bisa berubah menjadi “cambuk” menyakitkan lagi menyiksa jika tanpa landasan ke-TULUS-an yang ternyata berintikan keikhlasan, kesabaran, tawakal, ridho dan lain-lain. Ia merupakan bibit sebuah RASA CINTA yang suci dan murni. Retorikanya adalah : Mungkinkah cintamu dikatakan suci dan murni bila tanpa ketulusan? Oleh karena itu ketulusan adalah prasarana mutlak yang melandasi warga akan cinta terhadap bangsa dan tanah airnya.

Selanjutnya – perpindahan tempat dari Tingkat Ketiga menuju tataran berikutnya (Tingkatan Keempat) disebut KEHENDAK. Bahwa setiap warga harus mempunyai kehendak atas diri, keluarga dan lingkungannya ke arah lebih baik dalam kehidupan bernegara sebagaimana diungkap tadi. Konsekuensinya ialah setiap pertemuan niscaya ada perpisahan. Demikian hukumnya. Dan bila kita sadar hal itu akan memunculkan beberapa asumsi atau kategori untuk bersikap, antara lain :  (1) bertindak legowo, lalu pasrah dengan keadaan (aku mung sak dermo nglakoni opo sing dadi kehendak Gusti), dan ke (2) ingin terus mempertahankan diri.

Untuk konsekuensi kedua inilah yang sering menimbulkan pertikaian dan konflik baik horisonal maupun vertikal, baik lokal bahkan sampai ke konflik global. Sebaiknya agar dihindari. Oleh karena itu setiap warga hendaknya mengetahui apa yang akan dikerjakan esok hari. Barang siapa mengetahui hal itu, maka termasuk orang yang selamat dan bakal mendapat “salam” dari negaranya. Lalu, warga semacam apa yang bakal mendapat salam dari negaranya? Jawabannya sederhana adalah warga yang menginginkan keselamatan dimana dalam jiwanya bersemanyam semangat dan perasaan cinta tanah air sebagai paham dan ideologinya!

Betapa setiap waga negara manapun di muka bumi ini sesungguhnya yang pertama diharapkan ialah ke-SELAMAT-an. Dan itu melekat dalam rasa, jiwa dan semangat nasionalis. Jadi semakin jelas bahwa nasionalisme itu ternyata milik Ibu Pertiwi, milik semua warga negara — bukan milik siapa-siapa.

Dengan demikian, tidak ada kata paling indah bagi kehidupan bernegara selain menerima salam Ibu Pertiwi, dengan menghindari sikap dan perilaku sebagai komprador. Sedangkan komprador menurut Bung Karno adalah gambaran jiwa, niat atau kelompok yang bakal merusak kehidupan berbangsa dan bernegara terdiri atas: (1) Blandis: Kelompok, golongan atau kaum yang lebih mempercayai literatur Barat (asing) daripada literatur bangsanya sendiri; (2) Kompromis: Kaum yang mementingkan diri dan golongannya daripada kepentingan bangsa dan negara; (3) Reformis: Golongan yang akan merusak sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sekali lagi — jangan sekali-kali bergantung pada apapun bentuk ideologi, atau siapapun kelompok kecuali kepada nasonalisme. Percayakan dan berikan kesetiaan (tertinggi) cintamu hanya untuknya, Ibu Pertiwi – guna meraih Indonesia yang gemah ripah lohjinawi – tata tentram kerta raharja!

Bila mencermati kata demi kata, sepertinya tersirat “pesan” sebagaimana pendahulu dan para pendiri republik ini melakukan. Arti pesan ialah wasiat, baik yang ditinggal maupun yang meninggalkan. Maka inilah PUNCAK dari nasionalis. Ya, saling berwasiat menuju Indonesia makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran ialah Kedudukan Tertinggi dalam koridor nasionalisme suatu bangsa.

Dalam konteks ini, jika wasiat bersifat baik maka penerima wasiat disebut amanah (mewarisi amanah). Bagi yang menerima hendaknya menjalankan amanah tersebut, namun bila hal keburukan sebagai amanah maka tak wajib melakukannya. Setiap manusia atau warga, pasti meyakini bahwa akhir lebih baik dari permulaan. Dalam berwasiat hendaknya menghadirkan beberapa saksi. Artinya seberapa besar, atau seberapa penting amanah bagi penerima wasiat adalah tergantung bobot amanah itu sendiri.

Maknanya ialah, bahwa menggulirkan rasa dan jiwa nasionalisme kepada keluarga dan lingkungan terutama meneruskan (mewariskan) kepada para generasi muda yang kelak mengurus Ibu Pertiwi di kemudian hari ialah hal mutlak yang harus diperbuat bagi setiap warga nasionalis. Ukuran nasionalisme adalah perilaku sesuai kadar di tiap tingkatan. Tidak salah tempat, atau bertentangan dengan hukum positif yang berlaku dan yang pokok ialah berbuat (kebaikan) terhadap lingkungan sekitarnya.

Akhirnya catatan ini ditutup dengan beberapa retorika (hipotesa) filosofi dalam rangka menggugah kesadaran warga bangsa :

(1) bagaimana dikatakan cinta, sedang kamu tidak punya perasaan dan tidak pula mengungkapkannya?

(2) bagaimana disebut cinta, ketika kamu tak memiliki pengertian apa-apa?

(3) pantaskah berkata tentang cinta bila tak pernah berkorban apa-apa?

(4) bagaimana mungkin cintamu tulus dan suci, sedang kamu tidak punya program apa-apa?

Menyatakan cinta tanpa kriteria logika ialah bohong belaka. Seperti remaja dimabuk cinta, itu mungkin cuma emosi jiwa. Ia akan berlalu saat terlena dibuai oleh cinta. Meneriakkan nasionalisme tanpa mengetahui tahap dan tingkatan adalah dogma. Apakah dogma ialah keyakinan yang diterima tanpa kritik tanpa selidik. Mungkin soal waktu lambat laun berubah basi — manfaatnya sekedar mitos ataupun stigma. Oleh sebab itu janganlah berpindah dari satu cinta ke cinta yang lain, atau meloncat dari suatu ideologi ke ideologi lainnya sebelum kamu mengetahui hakikat cinta serta bagaimana bercinta dan bercengkrama dengan jiwa dan rasa nasionalisme!

Sekian dan terimakasih.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com