Creative Destruction dalam Geopolitik (1)

Bagikan artikel ini
Telaah dan Solusi Konflik Ukraina
Dalam kurun waktu antara Juni – Juli 2022, ada fenomena unik berkenaan geopolitik dan isu kekuasaan di Uni Eropa (UE) yakni empat Perdana Menteri (PM) mengundurkan diri. Mereka antara lain yakni PM Bulgaria, Kiril Petkov (Senin, 27/6); PM Estonia, Kaja Kallas (Kamis, 15/7); PM Inggris, Boris Johnson (Kamis, 8/7); dan PM Italia, Mario Draghi (Kamis, 21/7). Entah siapa lagi bakal menyusul.
Peristiwa tersebut cukup menyedot perhatian publik mengingat sebelumnya tidak pernah ada PM mundur secara beruntun. Yang paling unik di Inggris, karena sebelum PM Johnson mengundurkan diri, para pembantunya —53 menteri— mengajukan resign duluan.
Menariknya, pengunduran keempat PM di atas, meskipun dipicu hal-hal seperti etika kelembagaan misalnya, atau pelecehan seksual, mosi tidak percaya dan seterusnya, namun tak boleh dinafikan, bahwa alasan utama pengunduran diri (empat PM) nyaris sama —meski agak ditutupi— yakni faktor ekonomi di masing-masing negara cenderung kolaps akibat kebijakan (sanksi)-nya pada Rusia terkait ‘invasi’ Putin di Ukraina. Ya, kebijakan yang dibuat para PM berujung blunder, justru menjadi penyebab krisis pangan dan krisis energi. Ibarat bumerang, kebijakannya malah memutar balik, lalu mencelakakan diri sendiri.
Geopolitik memprakirakan, jika konflik Ukraina dan perang sanksi antara Rusia-Barat tidak segera usai, akan lebih banyak lagi rezim di UE yang berjatuhan. Jangan-jangan, justru Amerika Serikat (AS) sendiri yang jatuh. Kenapa demikian, karena sumber krisisnya sama yaitu konflik Ukraina dan perang sanksi antara Rusia versus Barat.
Apa indikasi kejatuhan bakal berlanjut?
Ada dua indikasi terbilang:
Pertama, perang terbuka secara militer di Ukraina pasti dimenangkan Rusia. Ukraina bukan lawan seimbang Rusia. Jadi, meskipun Zelensky didukung logistik, pendanaan, pelatihan militer, propaganda, persenjataan, termasuk perang sanksi (hybrid war) oleh Barat, namun peperangan sengaja dibuat slowly oleh Putin guna menguras endurance. Ibarat permainan tinju, tanpa perlu dipukul, nanti lawan akan jatuh sendiri kehabisan tenaga. Agaknya, gaya tempur semacam itulah yang kini tengah berlangsung antara NATO pimpinan AS melawan Rusia dengan medan laga (proxy war) di Ukraina.
Kedua, secara asymmetric war alias perang nirmiliter, pada fase oil (and gas) war, lagi-lagi dimenangkan Rusia, dan Dunia Barat kini dilanda krisis energi bahkan krisis pangan.
Dunia mengakui, Rusia merupakan negeri autarki (swasembada) produsen minyak, gas, gandum dan lain-lain sekaligus pemilik nuklir terbesar di dunia yang nyaris bergeming meski diserbu 6000-an sanksi oleh Barat.
Sedang fase currency war — sementara ini, juga dimenangkan oleh Beruang Merah, sebutan lainnya, sebab rubel menguat 50-an poin lebih atas dolar AS dan mata uang lain. Bahkan diprakirakan akan terus menguat dan menguat.
Kenapa?

In this handout photo taken from video released by Russian Presidential Press Service, Russian President Vladimir Putin addressees to the nation in Moscow, Russia, Thursday, Feb. 24, 2022. Russian troops launched their anticipated attack on Ukraine on Thursday, as President Vladimir Putin cast aside international condemnation and sanctions and warned other countries that any attempt to interfere would lead to “consequences you have never seen.” Putin justified it all in a televised address, asserting that the attack was needed to protect civilians in eastern Ukraine — a false claim the U.S. had predicted he would make as a pretext for an invasion.(Russian Presidential Press Service via AP)

Dekrit Putin cukup ampuh, bahwa setiap transaksi produk Rusia terutama minyak dan gas (bagi ‘musuh’ Rusia) wajib menggunakan rubel. Sungguh dahsyat. Walaupun sektoral, dekrit tersebut mampu mencampakkan rezim petrodolar ala Henry Kissinger yang telah berlaku sejak 1971-an, dimana setiap transaksi minyak di dunia wajib memakai dolar AS. Oleh karena minyak dibutuhkan semua negara, maka rezim petrodolar menggiring mata uang dolar menjadi standar di setiap cadangan devisa di semua negara. Gilirannya dolar menjadi world currency. Mata uang global.
Belum lagi isu krisis pangan akibat kelangkaan pupuk dan gandum karena rantai pasokan dari Rusia dan Ukraina tersendat oleh konflik bersenjata.
Dari perspektif geopolitik, konflik Ukraina beserta rentetan isu penyerta memiliki efek domino yang dapat membalikkan (dan mengubah) isu dan peta geopolitik. Adapun isu-isu dimaksud antara lain:
1. Kelompok Negara Teluk (Gulf Cooperation Council) dan OPEC mulai durhaka pada ‘mentor’-nya karena menolak permintaan AS menaikkan produksi minyak;
2. Terdapat anggota NATO justru merapat ke Rusia-Cina demi menyelamatkan diri dari krisis atas nama kepentingan nasional;
3. Beberapa sekutu AS dan Common Wealth mulai mengingkari kredo persemakmuran. Ya. Mereka beraliansi ke Rusia-Cina baik terang-terangan sebagaimana langkah India dan Turki, atau secara silent seperti Jepang atas nama kerja sama ekonomi.
Adapun benang merah yang bisa ditarik dari diskusi di atas, bahwa krisis ekonomi di negara manapun bila tanpa antisipasi riil akan bergerak pada krisis kepercayaan, lalu krisis kepercayaan menimbulkan krisis politik/kekuasaan; dan krisis politik, selain mampu menjatuhkan rezim penguasa, juga merupakan titik balik atau awal sebuah perubahan.
Siklus perubahan kekuasaan cukup simpel: Krisis Ekonomi – Krisis Kepercayaan – Krisis Politik – Jatuhnya Kekuasaan – dan Perubahan Kekuasaan.
Nah, bagaimana memutus siklus krisis agar tidak berujung jatuhnya kekuasaan?
(Bersambung ke-2)
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com