Telaah dan Solusi Konflik Ukraina
Adapun creative destruction yang ditawarkan secara nirmiliter alias soft power ada tiga hal urgen, antara lain:
1. Hilangkan sumber gangguan atau segera hentikan perang. Oleh karena kedua negara (Rusia dan Ukraina) merupakan lumbung energi dan pangan dunia, khususnya bagi jajaran UE;
2. Cabut semua sanksi nirmiliter oleh para pihak yang bertikai. Akibat perang sanksi, selain memutus rantai pasokan (energi dan pangan) global, juga terkandung currency war dan berimplikasi kemana-mana;
3. Para pihak yang bertikai agar duduk bersama di meja dialog, tanggalkan ego, lalu bermusyawarah mencari hal terbaik dari yang terburuk.
Usulan tiga poin terobosan (yang merusak) di atas dilatarbelakangi keprihatinan, bahwa konflik Ukraina dan perang sanksi, sama sekali tak membawa kemanfaatan bagi publik global, justru menggiring dunia ke dalam jurang krisis energi, krisis pangan dan krisis keuangan sebagaimana dilansir oleh PBB.
Pertanyaan menggelitik pun muncul, “Dalam konflik Ukraina, bukankan para pihak memperjuangan masing-masing Kepentingan Nasional?”
Nah, kajian filsafat pun mempertanyakan balik pertanyaan di atas, “Yang diperjuangkan dalam konflik di Ukraina itu kepentingan para elit politik, atau Kepentingan Nasional versi rakyat?”
Dari perspektif geopolitik, Kepentingan Nasional ialah kepentingan keamanan dan kesejahteraan. Dalam filsafat leluhur nusantara dikenal: “Tata Tenteram Kerta Raharja”. Bila ingin sejahtera (raharja) maka harus bekerja (kerta); dalam bekerja mutlak harus tercipta suasana aman, tertib dan nyaman (tenteram); sedangkan ketenteraman dapat diraih hanya melalui penataan (tata). Damai itu indah, aman itu sejahtera.
Timbul kekhawatiran global sebagaimana isyarat Bung Karno (BK) dulu tentang kredo kapitalis. Inti kredonya begini, bahwa kapitalisme yang cenderung bangkrut akan menjadi fasisme, dan fasisme merupakan satu-satunya jalan untuk pemulihan.
Asumsi BK merujuk pada success story model pemulihan ekonomi ala kapitalis AS.
Dulu, tatkala great depression menerpa Paman Sam (1930), maka diletuskanlah Perang Dunia (PD) II, lalu ekonomi AS pun kembali pulih. Dengan demikian, PD sebenarnya modus creative destruction ala AS tempo doeloe.
Masih kata BK, “Dalam kapitalis terdapat penyakit inheren. Siklus ekonomi kapitalisme selalu menciptakan krisis bagi dirinya sendiri yang akan merembet menjadi krisis politik dan akhirnya bisa memecah kebekuan menjadi krisis revolusioner. Jalan bagi imperialis untuk menyelamatkan dirinya adalah dengan cara teror terhadap rakyat lewat rezim fasisnya atau diktator militer”.
Retorika menarik muncul, apabila dalam menyikapi kebangkrutan ekonomi, AS dan sekutu lebih memilih creative destruction dengan cara mengobarkan peperangan daripada tata cara dialog, maka pertanyaannya, “Apakah yang nanti bakal terjadi jika PD III meletus?”
Tak bisa disangkal, bentuk PD III adalah Perang Nuklir. Catat. Jangan dianggap main-main. Sungguh mengerikan bila PD III benar-benar meletus di abad 21. Bisa berujung tiji-tibeh. Siapa menang jadi arang, siapa kalah menjadi abu. Mogo botongo.
Mati siji, mati kabeh!
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments