Gagasan “Demokrasi” Khas Indonesia

Bagikan artikel ini

M Djoko Yuwono, Wartawan Senior dan Pegiat Sosial-Budaya

Pada dekade 1950-an gagasan pembentukan Golongan Karya diorientasikan untuk menyediakan perwakilan yang lebih efektif bagi golongan-golongan yang ada di tengah masyarakat sehingga bisa merepresentasikan keterwakilan kolektif sebagai bentuk ”demokrasi” khas Indonesia, seperti kerap didengungkan oleh Bung Karno, Prof Soepomo, dan Ki Hajar Dewantara, sesuai dengan jiwa Indonesia

Djuanda dan Roeslan AbduLgani pada akhir dekade 1950-an berpendapat bahwa parlemen yang terdiri atas perwakilan-perwakilan golongan karya akan lebih kompeten untuk melaksanakan perencanaan sistematis, mengingat perwakilan semacam ini memiliki pemahaman yang sebenarnya terhadap kepentingan golongan-golongan mereka.

Menurut keduanya, dalam konteks demokrasi khas Indonesia, konsep penggabungan, kerukunan, keseluruhan, dan totalitas harus ditekankan karena mewakili seluruh kepentingan golongan yang ada di masyarakat, memiliki hubungan spiritual dengan rakyat yang diwakilinya.

Golongan karya yang digagas oleh Bung Karno, Prof Soetomo, dan Ki Hajar Dewantara berbeda dengan golongan karya yang dikonsepsikan oleh Angkatan Darat dan [apalagi]PARTAI Golkar sekarang.

Sejak 1957 hingga 1959 Presiden Sukarno mekakukan koordinasi intens dengan Angkatan Darat untuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan daerah dan mengubah sistem perpolitikan.

Pada tahun 1959, ketika Demokrasi Terpimpin dimulai secara resmi, Angkatan Darat lebih dulu membentuk berbagai organisasi Golongan Karya, sedangkan Presiden Sukarno belum membentuk satu pun. Tahun 1960 pemerintah membentuk golongan pemuda, tapi gagal.

Sukarno dan Nasution mengembangkan gagasan tentang golongan fungsional itu, menindaklanjuti keinginan untuk membubarkan partai-partai. Pemikiran ini mengarah pada perubahan dari orientasi partai menjadi orientasi golongan fungsional.

Di titik itu, antara Bung Karno dan angkatan darat memiliki kesamaan kepentingan. Tetapi, ketika Nasution dengan Angkatan Daratnya mengembangkan organisasi-organisasi jenis kekaryaan hanya untuk melawan komunisme, Bung Karno langsung mengingatkan tentang konsep Nasakom.

GOLKAR DARI MASA KE MASA

  • 1957: Gagasan Golkar [oleh Bung Karno, hasil buah pemikirannya bersama Soepomo dan Ki Hajar Dewantara sejak 1940-an]merupakan alternatif terhadap partai-partai politik, dimaksudkan untuk meminggirkan partai-partai.
  • 1959 – 1965: Organisasi Golkar [oleh Angkatan Darat]diubah dari melawan semua partai menjadi rival politik bagi satu partai (anti-Partai Komunis Indonesia).
  • 1968-1998: Organisasi Golkar digunakan untuk menjadi kendaraan elektorial bagi militer dan Orba.
  • 1998-sekarang: Golkar secara ironis menjadi sebuah partai dan diambil alih oleh para pengusaha. Gagasan-gagasan aslinya telah didorong ke pinggiran.

(David Reeve, GOLKAR: Sejarah yang Hilang ~ Akar Pemikiran & Dinamika. Penerbit: Komunitas Bambu).

Itulah kemauan orang yang gila kekuasaan dan tidak mau memahami apa kedaulatan rakyat itu. Dengan arogansi kekuatan kemampuan materiilnya (finansial/kemapanan ekonomi)nya memaksakan nafsunya untuk mewujudkan keinginannya dalam menguasai orang/negara?

Golongan karya seperti yang diidekan Bung Karno, Sutomo, dan Ki Hajar Dewantoro kurang sosialisasi di tengah percaturan politik para komprador, para penjiplak sistem demokrasi liberal. Upaya renovasi perlu kerja keras untuk menanamkan pemahaman bahwa Indonesia sesungguhnya memiliki sistem ketatanegaraan yang khas, sistem yang terbangun dari nilai-nilai kearifan lokal Nusantara.

Itulah sebabnya, dalam sistem mula NKRI disebutkan bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara, yang keanggotaannya terdiri atas (1) anggota DPR, (2) utusan daerah, dan (3) perwakilan dari golongan-golongan. Kompromi yang ditawarkan oleh Bung Karno terhadap partai-partai adalah pembentukan satu partai negara (tidak lebih). Tetapi, hal itu mendapat perlawanan dari partai-partai kala itu, termasuk oleh Tan Malaka dan Djuanda.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com