India Kerahkan Kapal di Laut China Selatan sebagai Respons Melawan China

Bagikan artikel ini

Laut China Selatan terus memanas menyusul pemerintah India mengerahkan kapal perangnya di Laut kawasan tersebut sebagai bagian dari kebijakan ‘Timur Bertindak’. Dalam hal ini, India mengirim satuan tugas angkatan laut ke Laut China Selatan bulan ini untuk memperluas hubungan keamanan dengan negara-negara sahabat, kata para pejabat belum lama ini. Hal ini juga menandakan niatnya untuk memainkan peran yang lebih besar dalam upaya regional untuk melawan China, demikian reuters melaporkan.

Militer India terus waspada untuk dalam merespons China tetapi suasana hati telah mengeras setelah bentrokan antara pasukan di perbatasan darat yang disengketakan tahun lalu. Pemerintah India sejak itu semakin dekat dengan Amerika Serikat dalam upaya untuk melawan China.

Empat kapal termasuk perusak peluru kendali dan fregat rudal akan dikerahkan untuk periode dua bulan ke Asia Tenggara, Laut China Selatan dan Pasifik barat, kata angkatan laut dalam sebuah pernyataan.

“Pengerahan kapal Angkatan Laut India berusaha untuk menggarisbawahi jangkauan operasional, kehadiran damai dan solidaritas dengan negara-negara sahabat untuk memastikan ketertiban yang baik dalam domain maritim …” kata petinggi angkatan laut.

Laut China Selatan, diakui atau tidak, saat ini telah menjadi salah satu dari banyak titik nyala dalam hubungan yang sulit antara China dan Amerika Serikat. Mengingat Washington menolak apa yang disebutnya klaim teritorial yang melanggar hukum oleh Beijing di perairan yang kaya sumber daya itu.

Pada bulan Juni lalu, kelompok kapal induk AS yang dipimpin oleh USS Ronald Reagan memasuki Laut China Selatan sebagai bagian dari misi rutin dan kelompok kapal induk Inggris akan melakukan latihan di Laut Filipina bulan ini.

Sebagai bagian dari penempatan mereka, kapal-kapal India akan mengambil bagian dalam latihan perang bersama tahunan yang melibatkan Amerika Serikat, Jepang dan Australia di lepas pantai Guam, kata angkatan laut.

Keempat negara tersebut membentuk Quad, sebuah kelompok informal, yang dipromosikan oleh pemerintahan Presiden AS Joe Biden sebagai cara untuk melawan China yang tegas.

“Inisiatif maritim ini meningkatkan sinergi dan koordinasi antara Angkatan Laut India dan negara-negara sahabat, berdasarkan kepentingan maritim bersama dan komitmen terhadap Kebebasan Navigasi di laut,” kata angkatan laut India dalam pernyataannya.

China di masa lalu mengkritik manuver militer multilateral sebagai destabilisasi kawasan.

Sebagaimana dalam artikel sebelumnya, penulis mengungkap bahwa Laut China Selatan seolah menjelma menjadi destinasi pertempuran berikutnya antara AS dan China mengingat kawasan itu sangat memungkinkan bagi “wisatawan militer” dari kedua negara adidaya tersebut untuk menunjukkan segala “kemolekan” postur pertahanannya jika dibandingkan dengan kawasan lain di dunia. Terlebih, ambang batas suhu pertempuran di laut China Selatan bisa segera naik di bawah Presiden terpilih Joe Biden.

Harus diakui, AS dan China merupakan dua negara ekonomi terbesar dunia yang saat ini bersaing dalam segala hal mulai dari perdagangan hingga virus corona. Persaingan lain dari dua negara adidaya itu sepertinya akan lebih meluas yang memicu memicu konfrontasi militer antara keduanya. Meskipun pejabat tinggi pertahanan dari AS dan China terus menjalin komunikasi bahkan ketika hubungan yang lebih luas telah memburuk, nasionalisme yang lebih kuat di kedua negara meningkatkan taruhan politik dari setiap krisis yang ada, demikian diungkapkan Karen Leigh, Peter Martin and Adrian Leung.

Sebagaimana diketahui bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump telah meningkatkan jumlah “operasi kebebasan navigasi” —yang dikenal sebagai FONOP — di Laut China Selatan yang bertujuan untuk merespon klaim China atas perairan tersebut. Hal ini bisa dicermati dari serangkaian manuver saat ini, yang melibatkan kapal-kapal angkatan laut yang berlayar dalam batas teritorial dari fitur-fitur darat yang diklaim oleh China, yang mencapai level tertinggi dari 10 tahun lalu setelah total hanya lima dalam dua tahun terakhir pemerintahan Obama.

Juga Kalau dilacak dari upaya provokasi AS terhadap China dalam beberapa tahun terakhir, AS juga telah meningkatkan aktivitas militer dan kehadiran angkatan lautnya di wilayah ini, termasuk kebebasan operasi navigasi (FONOP) pada bulan Januari dan Maret 2018. Dalam pidatonya selama kunjungan November 2017 ke Asia Tenggara, Presiden Donald J. Trump menekankan pentingnya operasi semacam itu, dan memastikan akses bebas dan terbuka ke Laut China Selatan. Sejak Mei 2017, Amerika Serikat telah melakukan enam FONOP di wilayah tersebut.

Dan sekarang, suara provokasi AS itu kian nyaring terdengar dengan keberadaan kapal induk USS Nimitz dan USS Ronald Reagan untuk melakukan operasi di Laut China Selatan pada Juli lalu.

Seperti dilaporkan CNN, otoritas Angkatan Laut AS menyatakan bahwa beroperasinya kapal induk AS, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan, tidak lain adalah untuk  “melakukan beberapa latihan taktis yang dirancang untuk memaksimalkan kemampuan pertahanan udara, dan memperluas jangkauan serangan maritim jarak jauh presisi dari pesawat berbasis kapal induk.”

Sepertinya, Presiden AS Joe Biden tampaknya akan mempertahankan atau bahkan memperluas jumlah FONOP. Jake Sullivan, yang didapuk menjadi penasihat keamanan nasional AS, tahun lalu, menyesali ketidakmampuan AS untuk menghentikan China dari militerisasi fitur tanah buatan di Laut China Selatan, dan meminta AS untuk lebih fokus pada kebebasan navigasi.

“Kami harus mencurahkan lebih banyak aset dan sumber daya untuk memastikan dan memperkuat, dan bersama mitra kami, kebebasan navigasi di Laut China Selatan,” kata Sullivan kepada ChinaTalk, sebuah podcast yang dipandu oleh Jordan Schneider, seorang asisten yang bertugas di Center for a New American Security yang berbasis di Washington.

Memang AS selama ini telah memainkan peran kunci dalam menjaga keamanan di perairan Asia sejak Perang Dunia II. Namun pembangunan militer Beijing, dikombinasikan dengan langkah-langkah untuk memperkuat daya cengkeramannya di wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan, telah menimbulkan kekhawatiran bahwa hal itu dapat menghalangi akses militer AS ke perairan di lepas pantai China. Pada gilirannya, AS semakin berupaya untuk menunjukkan hak untuk melakukan perjalanan melalui apa yang dianggapnya sebagai perairan dan wilayah udara internasional.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com