Indonesia dan Negara-Negara Berkembang Harus Mencegah Krisis Pangan Sebagai Efek Domino Krisis Ukraina

Bagikan artikel ini

Beberapa stakeholders (pemangku kepentingan) yang bergerak dalam sektor pangan di Indonesia semakin santer menyuarakan kekhawatiran bakal timbulnya kelangkaan pangan menyusul embargo Eropa Barat dan AS terhadap Rusia. Sanksi ekonomi AS dan Barat seturut dengan meletusnya konflik Rusia-Ukraina, pada perkembangannya akan berdampak terhadapa negara-negara Dunia Ketiga (Developing Countries) baik di kawasan Asia maupun Afrika.

Mesir sekadar ilusrasi, salah satu negara berkembang yang secara geografis masuk kawasan Afrika, sangat bergantung pada gandum dan gas alam dari Ukraina dan Rusia. Di Indonesia, Food Bank of Indonesia (FOI) sebagai salah satu stakeholders pangan, juga mengkhawatirkan adanya kemacetan arus pasokan biji-bijian seperti gandum dan jagung, termasuk minyak sayur, padahal negeri kita masih mengandalkan impor untuk ketersediaan pangan.

Kekhawatiran Hendro Utomo dan Wida Lestari dari FOI nampaknya cukup beralasan. Betapa tidak, Di Chicago, AS saja, Harga gandum di pasar berjangka di Chicago telah melonjak setelah menyentuh tertinggi dalam sekitar 13 tahun terakhir pada hari Jumat (25/02), jagung juga diperdagangkan pada level harga yang cukup tinggi.

Baca: Apa Dampak Sanksi Barat Terhadap Rusia bagi Kita Semua?

Kekhawatiran FOI terhadap kemungkinan melonjaknya harga pangan dan bahkan tersumbatnya kelancaran biji-bijian, gandum dan minyak sayur, tentunya berdasarkan fakta bahwa Rusia dan Ukraina menyumbang sekitar 30 persen ekspor gandum global, sekitar 80 persen ekspor minyak bunga matahari internasional. Juga patut dicatat, Rusia dan Ukraina  pemasok utama gandum ke Timur Tengah dan Eropa. Dan bukan itu saja, Turki dan Mesir juga merupakan importir gandum terbesar dari Rusia.

Selain Indonesia yang saat ini masih sangat bergantung pada impor dari luar negeri, krisis pangan juga diperkirakan bakal menimpa beberapa negara Timur-Tengah seperti Yaman, Libya, dan Lebanon.

Jika konflik Ukraina-Rusia semakin meningkat eskalasinya, yang disertai dengan sanksi ekonomi dan embargo dari AS dan Uni Eropa, maka timbulnya krisis pangan akan terjadi sebagai akibat terganggunya arus pengiriman biji-bijian dari Pelabuhan Laut Hitam ke Asia, Afrika, dan Uni Eropa. Dengan demikian selain masyarakat negara-negara berkembang dari Asia dan Afrika, masyarakat Eropa pun juga akan menderita krisis ketersediaan pangan dan melonjaknya harga pangan. Hal tersebut terjadi akibat timbulnya gangguan rantai pasok, dan tingginya permintaan dari pihak konsumen.

Ilustrasi/Perang Ukraina Rusia

Selain daripada itu, melonjaknya harga pangan juga disebabkan keputusan beberapa negara seperti India, untuk memberlakukan larangan ekspor dengan tujuan untuk mengamankan pasokan di dalam negeri.

Begitulah. Krisis Ukraina pada perkembangannya menciptakan efek domino, krisis pangan di negara-negara Asia, Afrika dan Timur-Tengah, yang notabene masuk dalam kelompok negara-negara yang sedang berkembang.

Terkait efek domino yang bakal menimpa Indonesia, Hendro Utomo dari FOI mengingatkan semua pemangku kepentingan pangan untuk mengantisipasi krisis pangan akibat diberlakukannya larangan Ekspor Pangan Pokok. Hendro Utomo memperkirakan dampak krisis pangan ke Indonesia:

1. Meningkatknya inflasi akibat ekspor minyak.

2. Berkurangnya gandum pangan utama

3. Berkurangnya pupuk dari Rusia ke produsen kedelai. Apalagi beberapa bulan yang lalu, masyarakat Indonesia sempat panik akibat melonjaknya harga kedelai.

Mencermati serangkaian fakta-fakta tersebut tadi, Indonesia dan negara-negara berkembang baik yang tergabung dalam forum Konferensi Asia-Afrika, Gerakan Nonblok maupun Organisasi Konferensi Islam (OKI), untuk segera menyusun strategi dan keputusan bersama untuk mencegah semakin meningkatnya krisis pasokan pangan maupun melonjaknya harga pangan.

Terkait dengan hal itu, forum Konferensi Tingkat Tinggi G-20 yang akan diselenggarakan di Indonesia pada November 2022 mendatang, harus dimanfaatkan untuk menggalang kerjasama strategis untuk kepentingan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Sikap politik luar negeri RI yang berasaskan Bebas dan Aktif, dan berada di luar orbit pengaruh kepentingan negara-negara adikuasa, hendaknya mendayagunakan forum multilateral G-20 yang kali ini Indonesia bertindak sebagai tuan rumah, untuk semaksimal mungkin memperjuangkan aspirasi negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga. Yaitu untuk mencegah jangan sampai krisis Ukraina menimbulkan efek domino berupa krisis pangan ke negara-negara kawasan Asia, Afrika dan Timur Tengah.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com