Dari perspektif geopolitik, pengibaran bendera LGBT oleh Kedutaan Inggris di Jakarta pada 17 Mei 2022 (Hari Anti – Homofobia), selain dianggap sekedar cek ombak (test the water) —melihat reaksi publik— juga kuat diduga ialah implementasi atas strategi melegenda kepunyaan Britania Raya yakni: “British Geopolitics” (BG). Ya. Ciri BG ialah, di atas permukan (publik) dibikin kegaduhan, dibuat heboh, ramai, lucu-lucuan dan seterusnya, sedang agenda pokok/utama menyelinap senyap. What lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan justru sepi dari pantauan publik. Ini pola BG. Strategi pengelabuhan.
Lalu, kenapa harus cek ombak?
Ketika muncul gelombang reaksi dari berbagai ormas dan elemen masyarakat, bendera LGBT pun diturunkan oleh Kedutaan Inggris. (Mungkin) selain tidak mau ambil risiko karena khawatir reaksi kian membesar serta meluas, Inggris juga semakin yakin, bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas muslim bila disentuh soal sentimen (agama), sangat mudah terbakar. Ibarat jerami kering dipercik, niscaya api berkobar.
Memang. Sejarah dunia pernah mencatat, terutama fenomena pasca-perang dunia, bahwa pemenang perang dunia ke-2 (PD II) pun terpaksa mundur dari Surabaya saat menghadapi ‘kaum ekstrimis’ kendati bersenjata ala kadarnya namun berbekal semangat pantang menyerah berbasis Resolusi Jihad. Hasilnya? Sungguh dahsyat. Dua jenderal sekutu tewas dalam pertempuran 10 Nopember 1945. “Neraka Surabaya” menganga di depan mata, lalu pasukan sekutu —pemenang PD II— pun mundur dari medan tempur. Pulang.
Balik lagi ke isu LGBT, publik cuma dapat ampas kegaduhan. Gegap pro-kontra LGBT. Gaduh diskusi, ramai dalam talk show, dan lainnya. Lagi-lagi, rakyat kembali terbelah. Itulah produk ‘lucu-lucuan’ dari strategi BG yang menyihir publik, sedang agenda pokok (kemungkinan) melangkah tegap di kesunyian. Entah apa agendanya.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments