Telaah Kecil Filsafat Geopolitik Terkait Isu Pendirian Pabrik (Baterai) Tesla di Cina
Bahwa perseteruan geopolitik di muka bumi, hampir semuanya berlabuh alias bermuara pada perebutan atau peraihan geoekonomi di suatu negara dan/atau kawasan tertentu. Begitu filosofinya. Jadi, konflik apapun baik di level lokal maupun pada skala global hanyalah agenda (tema) semata. Perang itu hanyalah salah satu (geo) strategi, dan sudah tentu terdapat cara lain selain daripadanya. Tak melulu lewat perang.
Kerap, konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Itu sudah jamak di dunia geopolitik. Sesungguhnya tidak ada perang ideologi, tidak ada konflik agama, tak pula pertikaian antarmazhab, antarsuku, ras dan lainnya melainkan karena faktor geoekonomi. Sekali lagi, perang cuma agenda, bukan hal (skema) utama. Tujuan perang dimana pun adalah meraih geoekonomi yang dimanipulatif melalui slogan-slogan guna memompa spirit prajurit, seperti slogan gold, glory and gospel misalnya, atau national interest, dan lain-lain.
Semakin ke sini ternyata kian terkuak ‘substansi’ dari tiap-tiap slogan dimaksud. Jika di abad ke-19 esensi slogan adalah rempah-rempah; pada abad ke-20 bergeser menjadi minyak, emas dan gas bumi; dan pada abad berikutnya substansi slogan mungkin tentang nikel, rare earth dan lainnya sesuai kebutuhan industri unggulan pada masanya.
Pertanyaan filosofi muncul, “Bagaimana mungkin akan terjadi head to head secara militer antara Cina versus Amerika Serikat (AS) yang hari ini dipersepsikan semakin memanas, sedangkan Tesla mau membangun pabriknya di Cina?”
Memang. Untuk menaklukkan serta memperbudak sebuah bangsa, kata John Adams, bisa melalui pedang (militer), bisa lewat utang. Dan keduanya, cuma sekadar metode dalam suatu penaklukkan sebuah bangsa. Sudah barang tentu terdapat opsi lainnya semacam politik misalnya, atau silent invasion, dan lain-lain.
Penaklukkan geoekonomi Afrika oleh kelompok negara Barat di masa lalu pada abad 19 hingga ke-20, banyak dilakukan lewat jalur dan power militer. Ya. Kekuatan bersenjata berada terdepan. Sementara pendudukan Afrika oleh Cina pada abad ke-21 tidak melalui power militer, namun lewat jalur ekonomi cq turnkey project management cq (jebakan) utang atas nama investasi.
Maka muncul dua asumsi dalam dunia geopolitik akibat konstelasi di atas, antara lain:
Pertama, bahwa pola kolonialisme Barat cenderung menekankan wajah militer di bagian depan namun di belakangnya didukung kaum pemodal alias oligarki ekonomi;
Kedua, sementara pola kolonialis Cina justru kebalikan daripada Barat, yakni kaum pemodal sebagai tampak muka, tetapi diback up oleh negara/militer di belakangnya.
Sekali lagi, bagaimana mungkin terjadi peperangan militer antara Cina versus AS, sedang Tesla akan membangun pabrik di Cina?
Tak pelak, secara sistem — Tesla itu geoekonomi. Tujuan dari semua modus kolonialisme. Ya. Pada Tesla, ada penanaman modal, misalnya, atau terdapat lapangan kerja, devisa, terselip pola dan metode teknologi, juga ada transfer teknologi industri masa depan, dan lain-lain.
Jika rencana pendirian pabrik Tesla terealisir di Cina, ia merupakan target geoekonomi yang diperoleh oleh Cina tanpa letusan peluru. Juga, bagi AS sendiri, merupakan pencaplokan geoekonomi tanpa perlu pengerahan militer di negeri target.
Itulah sekilas pandangan filsafat dalam mencermati tren aktual pada dinamika geopolitik yang kini tengah berlangsung di panggung global. Dan catatan khusus pada isu-isu di atas, ada hal yang miris lagi mengenaskan bagi implementasi geopolitik di tanah air, yakni bahwa hampir seluruh bahan baku (industri masa depan) dikeruk dari bumi Indonesia, namun penikmatnya justru Cina, termasuk pabrik (Tesla)-nya didirikan di sana. Inilah yang disebut dengan istilah ironi geopolitik
Jujur, filsafat geopolitik selain ‘menggugat’ kondisi ironi (geopolitik) di atas, juga mempertanyakan fakta atas pertikaian antara Cina dan AS. Itu realitas ketegangan geopolitik, atau hanya ethok-ethok?
Tamat
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments