Isu Kebohongan Covid-19: Peperangan Narasi di Level Agenda?

Bagikan artikel ini

Telaah Asymmetric Warfare

Pada catatan saya terdahulu bertajuk: “Virus Corona dalam Lingkaran Perang Narasi” dimuat di Web theglobal-review diterangkan, bahwa perang narasi adalah model peperangan antara dua pihak atau lebih secara nirmiliter, dimana medan tempurnya adalah media massa. Entah itu media cetak, elektronik, media daring, media sosial dan lain-lain.

Modusnya menjatuhkan lawan di media pada satu sisi, namun mengherokan “pion”-nya di sisi lain. Kerap kali pihak musuh diangkat, dipromosi, kemudian dijatuhkan. Atau sebaliknya, pura-pura “pion”-nya dijatuhkan setelah itu diangkat kembali dengan berbagai taburan citra dan propaganda. Ini semacam playing victim.

Pada dinamika politik praktis, diumpamakan dalam (dunia) makelar kambing, misalnya, ada istilah “dicincang”. Nah, maksud dicincang di sini, si kambing atau sang objek terkadang dipromosikan, tetapi suatu ketika dijadikan korban alias ditumbalkan. Jadi, semacam false flag operation. Dalam peperangan narasi akan tergantung situasi, kondisi, toleransi, pandangan (perspektif) dan jangkauan (area/koridor) atau disingkat SIKONTOLPANJANG. Itu sepintas keterangan soal peperangan narasi.

Tak boleh disangkal, perang narasi merupakan bagian dari jenis perang nirmiliter (asymmetric war), sehingga bila membaca geliat dinamikanya kudu mengikuti pakem dan pola dari perang asimetris itu sendiri antara lain: Isu – Tema/Agenda – Skema, atau disingkat ITS. Kalau tidak mengikuti polanya, kita akan terseret dalam skenaro mereka.

Singkat penjelasan ITS begini, isu ditebar guna membikin kegaduhan publik. Ini cuma pintu pembuka. Pada fase ini ada beberapa kepentingan tersirat. Bisa sifatnya memancing reaksi publik (test the water) saja lalu menghilang, atau ingin membentuk opini publik. Setelah isu ditebar, lazimnya agenda atau tema diluncurkan. Nah, agenda ini bukan sekedar membentuk opini, namun lumrahnya selain penebalan isu, juga masuk fase menggiring opini publik.

Dan tatkala publik sudah tergiring oleh agenda, tahap berikutnya adalah penancapan skema. Tahapan skema lazimnya terkait (geo) ekonomi atau minimal sebagai pintu pembuka menuju pengendalian ekonomi.

Flu burung contohnya, itu baru tahapan isu. Pintu pembuka. Atau melihat reaksi publik. Lantas, tahap lanjutan (agenda) ternyata daging mahal atau daging langka.

Publik/pasar pun panik karena kelangkaan daging akibat isu flu burung. Baru kemudian skema pun ditancapkan. Bagaimana ujudnya skema? Ya. Bisa perluas kran impor atau sekedar tambah quota impor daging dan seterusnya. Demikian sepintas tahapan pola ITS bekerja dalam asymmetric warfare. Silahkan dianalogikan pada aspek-aspek lain yang lebih strategis.

Terkait perang narasi dan ITS di atas, ada perang narasi di tingkatan “isu,” ada di level “agenda/tema”, ataupun peperangan narasi di level “skema”. Itu tergantung si-kon-tol-pan-jang.

Peperangan narasi di level isu pernah terjadi di penghujung 2019 antara Cina versus Amerika (AS) berupa saling tuduh-saling lempar narasi antara keduanya perihal siapa pembuat dan penyebar Covid-19. Hingga kini sebenarnya masih berlangsung kendati tidak segegap pada awal pandemi.

Nah, beredarnya video singkat yang mengaku Aliansi Dokter Dunia yang menolak Covid-19 dan dianggap konspirasi guna mengubah peradaban (new normal), sah-sah saja di tengah gelombang freedom of speech. Akan tetapi, bila ditinjau dari perspektif asymmetric warfare, isu kebohongan pandemi oleh Aliansi Dokter se-Dunia tergolong peperangan narasi namun di level tema atau agenda. Entah siapa di belakangnya, atau mereka barisan sakit hati, mungkin, atau pencari panggung di tengah peperangan di level skema (vaksin) antara Cina, Rusia, AS, atau vaksin merah putih Indonesia punya?

Intinya merebut hati masyarakat internasional dan ingin meraih trust (kepercayaan) negara-negara di dunia. Kita lihat saja lanjutan skenario, apakah isu tersebut berlanjut ke Mahkamah Internasional guna membuka kedok konspirasi di belakang Covid-19; atau, sebatas test the water tanpa kelanjutan skenario?

Sang pujangga pun berbisik, “Itu cuma pencari panggung dan kelompok sakit hati”.

The End

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com