Jejak-Jejak Cina dan Jepang di Madura

Bagikan artikel ini

Membaca tulisan mas M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI), mengenai geopolitik Madura (Sekilas Madura dari Perspektif Geopolitik), saya tergugah untuk mendalami lebih lanjut terkait indikasi menguatnya hasrat Cina untuk menanamkan pengaruh ekonominya di pulau yang berada di wilayah Jawa Timur ini.

Selintas Madura seakan merupakan pulau kering kerontang berikut hamparan lahan yang tak subur. Namun di mata seorang taipan bernama Liem Soe Liong, Madura justru dipandang sebagai harta karun yang belum diolah menjadi aset kekayaan yang cukup besar.

Maka pada 1983, dengan dipayungi oleh Surat Izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKMP) tertanggal 31 Desember 1983, Liem Soe Liong atau yang kelak bernama Indonesia Sudono Salim, mulai mengibarkan bendera PT Perkasa Krida Hasta Indonesia Cement Enterprise (PKHICE).

Melalui PKHICE inilah, Liem sang penguasa Salim Group ini mulai menjalankan skema utamnya: MENGEDUK KEKAYAAN MADURA LEWAT SEBUAH PABRIK SEMEN.

Dalam kongsi bisnis ini, Liem bermitra dengan Ibrahim Risyad, Bimantara dan Mitrao. Proyek ini kabarnya menelan biaya Rp 600 miliar. Untuk kondisi perekonomian Indonesia ketika satu dolar AS masih sebesar Rp 2000, jumlah segitu aduhai besarnya.

Madura nampaknya memang sudah diincar jauh-jauh hari oleh para taipan semacam Liem dan para kroni Cina lainnya. PKHICE Namun Liem baru mendapatkan momentumnya ketika Semen Gresik yang mulanya pada 1981-1982 bermaksud memperluas pabriknya di kawasan Madura, kemudian dengan berbagai pertimbangan, mundur teratur.

Padahal Profesor Wijoyo Nitisastro, Menko Ekonomi era Pa Harto, yang dikenal sebagai tangan-tangan IM dan World Bank di Indonesia sehingga disebut Mafia Berkeley, ikut mendukung proyek pengembangan Semen Gresik di Madura.

Apapun alasannya, kemudian mundurnya Semen Gresik inilah yang membuka pintu masuk bagi Liem untuk mengambil-alih peran yang dimainkan Semen Gresik sebelumnya.

Dengan kata lain, Liem sesungguhnya sedang melakukan tipu daya dan manipulasi kepada masyarakat dengan membonconeg Semen Gresik sebagai proyek pemerintah. Karena proyek yang digarap PKHICE dipandang sebagai perluasan dan pengembangan dari Semen Gresik, maka masyarakat Madura tahunya ini merupakan proyeknya pemerintahan Suharto pada waktu itu.

Padahal, secara de fakto Liem sudah mula menanamkan benih-benih penjajahan ekonominya di Madura. Liem membeli 492 hektar dari 692 hektar lahan milik Semen Gresik, seharga Rp 500 juta.

Soal kepemilikan lahan ini, Semen Gresik yang membeli 692 hektar lahan dari masyarakat Madura seharga Rp 2000 per meter, meski kenyataannya penduduk hanya menerima Rp 400 per meter. Namun masyarakat toh menerima saja hal itu, karena dalam bayangannya itu kan proyeknya pemerintahan Suharto.

Lha ketika kemudian terungkap ternyata lahan sudah beralih ke tangan Liem, tentu saja masyarakat merasa kena tipu daya dan dimanipulasi. Lebih celakanya lagi, pabrik semen milik Salim Group ini juga tak kunjung terwujud padahal BPKPM sudah mengeluarkan izin yang masa berlakunya hingga 1986.

Pabrik Semen yang menjadi dasar keluarnya izin pemerintah itu tak terwujud, tapi lahan Salim Group justru malah semakin mengembang menjadi 700 hektar, setidaknya di 3 kecamatan: Kamal, Socah dan Labang, di Kabupaten Bangkalan.

Liem memang sepenuh hati untuk menjajah Madura, khususnya dalam penguasaan lahan. Lahan sebesar itu dibebaskan oleh operator-operator bisnisnya Liem lewat bahan tangan dengan harga Rp 200 sampai Rp 1000 per meter. Menyedihkan bukan?

Apalagi Liem mematok pembelian lahan seharga segitu dengan merujuk pada SK Bupati Bangkalan 1983 tentang patokan harga tanah untuk kepentingan pemerintah dan BUMN.

Di sinilah liciknya Liem. Tapi jangan lupa, Liem bukan satu-satunya taipan yang ikut bermain di Madura. Belakangan ikut nimbrung William Suryajaya dan anaknya Edward yang berbendera Summa Group. Hebatnya lagi, Om Willem mendapat dukungan mantan Gubernur Jawa Timur Mohammad Noer. Begitu masuk ke Madura, Summa Group segera mengibarkan bendera PT Dhipa Madura Pradana (DMP).

Di DMP, Summa menguasai saham mayoritas. Maka dimulailah gagasan besar grup Summa yaitu, yang diimpikan masyarakat Madura: MEMBANGUN JEMBATAN YANG MENGHUBUNGKAN MADURA-SURABAYA. Sebuah gagasan yang cocok dengan konsepsi Presiden Suharto yang berkeinginan menghubungkan Jawa-Madura, Jawa-Bali dan Jawa-Sumatera.

Bedanya dengan Liem yang sepenuhnya Cina oriented dan berkongsi dengan keluarga Suharto, Willem dan Summa Group nampaknya memperluas mitra usahanya dengan menggandeng Jepang dengan mempresentasikan gagasan jembatan itu di Japan-Indonesia Science and Technology (JIF). JIF ini merupakan forum kerjasama Indonesia-Jepang yang waktu itu diketuai oleh Prof DR BJ Habibie.

Gagasan Summa Group ini mendapat dukungan dari sejumlah pengusaha besar Jepang antara lain C Itoh, Mitsubishi, Shimizu dan Long Term Credit Bank of Tokyo.

Alhasil, pada 20 November 1990, DMP dan para taipan Jepang menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) di Tokyo, untuk pembangunjan proyek jembatan sepanjang 3 km, lebar 21 m dengan 6 jalur kendaraan.

Dari cerita ini, selain Cina, Jepang pun punya maksud terselubung di Madura. Melalui momentum bantuan pembangunan jembatan ini, para pebisnis Jepang berkeinginan untuk menjadikan Madura sebagai kawasan Industri dan real estate. Tentu saja industri yang jadi prioritas adalah industri elektronik.

Besar kemungkinan, pertarungan terselubung antara skema Salim Group dan Summa inilah, yang membuat rencana Liem dengan pabrik semennya jadi macet. Jepang yang bermaksud menjadikan Madura sebagai kawasan industri, mensyaratkan kawasan ini harus bebas polusi. Sedangkan pabrik semennya Liem justru menciptakan biang polusi.

Alhasil, Jepang dan Summa Group kemudian mendesak agar menggusur skema bisnis Liem untuk mendirikan pabrik semen di Madura. Dan mengusulkan agar pabrik semen Liem dipindah lokasinya ke Tuban. Tentu saja Liem menolak.

Selain Liem sudah keluar uang banyak, rupanya Liem juga sudah membangun dan mendirokan Universitas Bangkala yang menelan miliaran rupiah. Bahkan laboratium pertanian lahan kering, kabarnya yang paling canggih di Asia Tenggara pada waktu itu.

Melalui universitas inilah, Liem mencoba mengambil hati orang-orang Madura. Tentunya dengan mengeluarkan miliaran rupiah sebagai ongkos sosial.

Dari skup sekecil Madura ini saja, sudah tergambar perang bisnis Cina versus Jepang. Gara-gara Liem tak rela mundur begitu saja dari Madura setelah keluar uang miliaran rupiah, kemudian sempat ada upaya lobi dari pihak Liem, atau mungkin kalangan yang mendukung skema bisnis Liem di Madura, untuk membujuk Jepang agar membatalkan rencana membangun industri elektronik di Madura. Bahkan waktu itu ada desakan agar Jepang membatalkan dukungan dana buat DMP.

Hanya saja Cina mungkin percaya dengan yang namanya hoki. Ketika dalam pertarungan tingkat tinggi dengan pihak Summa Liem mulai kalah satu set dan mulai sempoyongan, tiba-tiba Willem Suryajaya dan Summa Group kena musibah, tertimpa kesulitan likuiditas gara-gara Bank Summa bangkrut. Yang kemudian berakibat reputasi Willem dan Summa juga. Situasi ini, membuat Liem dengan skema bisnisnya di Madura, kembali mendapat angin.

Pada 17 Mei 1991, Rapat Tim Pengarah Pembangunan Jembatan Surabaya-Madura menjatuhkan akta putus. Liem boleh meneruskan rencananya membangun pabrik semennya. Meski kemudian tak pernah jadi kenyataan.Sedangkan rencana pembangunan jembatan pun terkatung-katung, karena dengan kejadian ini, pihak Jepang jadi tidak semangat lagi membantu skema bisnisnya Willem dan Summa. Apalagi ketika keptusan Rapat Tim Pengarah justru menguntungkan skema bisnisnya Liem dan Salim Group.

Apalagi ketika kemudian gara-gara ambruknya Bank Summa, William yang sekaligus penguasaha pemilik Astra, terpaksa menjual semua sahamnya di Astra kepada beberapa konglomerat, termasuk Liem, pesaing Willem dalam perang bisnis di Madura. Untuk menutup hutang Astra.

Sekelimit kisah ini, menggambarkan betapa Madura sejak periode 1980an sudah menjadi sasaran arena pertarungan antar taipan, dan bahkan antar negara-negara asing. Sehingga akan menjadi sasaran serbuan pemilik modal baik dari dalam maupun luar negeri.

Secara geografis, Madura saat ini memang tak terhindarkan lagi sebagai kawasan industri di Jawa Timur yang dipandang strategis, yang berarti akan membawa dampak ekonomi maupun budaya. Selain itu, perairan di sekitar Madura juga memendam potensi minyak dan gas alam yang cukup besar. Hingga kini, sudah puluhan perusahaan yang mengebor minyak di lepas pantai Mandura.

Mengingat nilai strategis Madura secara geopolitik, kiranya perlu reposisi target-target industrialisasi di Madura. Sehingga siapa-siapa saja investor yang mau masuk, dan bagaimana skema bisnisnya, harus menjadi isu strategis yang jadi bahan pembahasan berbagai elemen strategis bangsa.

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com