Memulai telaah (geopolitik) Madura —konon nama pulau itu bermakna “MADU”-nya Indonesia RAya (terbaca: MADURA)— sekurang-kurangnya ada dua retorika yang perlu dikaji sekaligus menjadi kontemplasi kita bersama.
Pertama: Apakah Cina akan rela merogoh koceknya sebesar Rp 2,1 Triliun (T) dari Rp 4,5 T biaya pembangunan Jembatan Surabaya Madura (Suramadu) jika Madura cuma penghasil jagung, garam, sate, karapan sapi, atau carok belaka?
Kedua: Apakah konflik Syiah-Sunni di Sampang murni konflik antarmazhab, intoleransi, dll atau disebabkan faktor lain terkait what lies beneath the surface, apa yang terkandung di bawah permukaan Madura? Retorika ini tak perlu dijawab agar tulisan ini dapat dilanjutkan.
Intelijen tidak pernah kecolongan, karena kerjanya mengelola serta menganalisa data dan fakta yang berserak menjadi sekumpulan informasi akurat untuk kepentingan (disuguhkan) pimpinan dan negara. Tetapi apa boleh buat, info intelijen setajam apapun akan terpulang kepada si pengguna (user): “Dipakai, didiamkan, atau dicampakkan!” Ini premis awal terkait geopolitik Madura.
Ada premis lain tentang modus kolonialisme yang kerap dilakukan golongan negara kolonial di muka bumi: “Conflict is the protection oil flow and blockade somebody else oil flow” (Dirgo D Purbo, 2011). Katakan itu sebuah asumsi meski belum bisa dikatakan teori, tetapi ia bisa dijadikan titik mula mengurai tulisan tak ilmiah ini, selain terinspirasi dua retorika di atas. Maka mem-breakdown asumsi Dirgo, substansinya ialah bahwa konflik-konflik terutama konflik komunal dalam skala besar dengan motif dan latar belakang apapun, sepertinya sengaja “diciptakan” guna melindungi aliran minyak dan memblokade pihak-pihak lain agar publik tidak memahami ada aliran minyak di sekitarnya. Dengan kata lain, mata serta opini publik sengaja dialihkan (deception) melalui tampilan (konflik) di atas permukaan via gebyar media, sedang hidden agenda yang dijalankan oleh kelompok kepentingan tertentu justru lepas dari pantauan publik. Inilah yang seringkali tak dipahami oleh kaum awam.
Mencermati Madura sebagai contoh, nasibnya hampir mirip dengan Papua. Betapa tingkat kesejahteraan warga di kedua daerah kurang beruntung di tengah kelimpahan sumber daya alam (SDA)-nya, celakanya justru dikelola oleh (asing) swasta. Di Papua ada emas, gas, bahkan menyimpan (ditemukan) uranium, namun SDA dimaksud dalam cengkeraman asing (Amerika dan Cina). Demikian pula Madura, meskipun di pulau garam —istilah lain Madura—terdapat geliat offshore dan onshore, toh dikelola oleh swasta asing pula. Warga di sekitar hanya menonton, dibuat lupa atas takdir tanah (geopolitik)-nya yang berkelimpahan SDA. Segenap warganya cenderung abai, bagaimana sistem bagi hasil antara swasta pengelola, pusat dan daerah; atau sudahkah corporate social responsibilty (CSR) diturunkan kepada lingkungan; apakah semua itu ada kontribusi untuk APBD setempat, dan lain-lain. Hal ini dilupakan oleh elit lokal bahkan mungkin juga elit nasional karena terlalu asyik sendiri dengan isue-isue politik, korupsi, demokrasi, HAM, lingkungan, konflik antarmazhab dalam agama (Islam), dan sebagainya.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita tengok sebentar siapa saja kelompok operator serta perusahaan minyak dan gas yang mengeksploitsi “manis”-nya SDA Madura, antara lain:
1) Blok Bawean Operator: Camar Resources Canada Inc Kontraktor: Kerr-McGee of Indonesia Inc (Amerika Serikat).
2) Blok Bulu Operator: Pearloil Satria Ltd (Uni Emirat Arab) Kontraktor: Sebana Ltd.
3) Blok Pangkah Operator: Amerada Hess Indonesia-Pangkah Ltd (Amerika Serikat) Kontraktor: Premier Oil Pangkah Ltd.
4) Blok Onshore and Offshore Madura Strait Area Operator: Husky Oil (Madura) Ltd Kontraktor: Hudbay Oil International Ltd (Inggris).
5) Blok Karapan Operator: Amstelco Karapan Pte Ltd (Inggris) Kontraktor: Amstelco Karapan Pte Ltd Blok East Bawean I Operator: East Bawean.
6) Blok East Bawean I Operator: East Bawean Ltd (Kanada) Kontraktor: CJSC Sintezmorneftegaz (Rusia).
7) Blok South East Madura Operator: PT Energi Mineral Langgeng Kontraktor: PT Energi Mineral Langgeng.
8) Blok East Bawean II Operator: Husky Oil Bawean Ltd (Kanada) Kontraktor: Husky Oil Bawean Ltd.
9) Blok North East Madura III Operator: Anadarko Indonesia Company (Amerika Serikat) Kontraktor: Anadarko Indonesia Company.
10) Blok Madura Offshore Operator: Santos Madura Offshore Pty Ltd Kontraktor: Talisman Madura Ltd (Kanada).
11) Blok Mandala Operator: PT Bumi Hasta Mukti-Fortune Empire Group Ltd Kontraktor: Konsorsium PT Bumi Hasta Mukti-Fortune Empire Group Ltd.
12) Blok West Madura Operator: Kodeco Korea (6 Mei 1981-6 Mei 2011), Pertamina (7 Mei 2011-7 Mei 2031). Kontraktor: Kodeco Energy Company Ltd (6 Mei 1981-6 Mei 2011), Pertamina (7 Mei 2011-7 Mei 2031).
13) Blok North Madura Operator: Konsorsium Australian Worldwide Exploration North Madura NZ Ltd-North Madura Energy Ltd. Kontraktor: Konsorsium Australian Worldwide Exploration North Madura NZ Ltd-North Madura Energy Ltd.
14) Blok Ketapang Operator: Petronas Carigali Ketapang II Ltd (Malaysia) Kontraktor: Gulf Resources Ketapang (ConocoPhillips-Amerika Serikat).
15) Blok Terumbu Operator: Australian Worldwide Exploration Terumbu NZ Ltd Kontraktor: Australian Worldwide Exploration Terumbu NZ Ltd.
16) Blok South Madura Operator: South Madura Exploration Company Pte Ltd Kontraktor: PT Eksindo South Madura.
17) Blok Madura Operator: Society Petroleum Engineers Petroleum Ltd (Cina) Kontraktor: Society Petroleum Engineers Petroleum Ltd.
Pertanyaannya, adakah kontribusi para korporasi minyak dan gas (migas) di atas untuk kemajuan ekonomi Madura? Blok West Madura di utara Bangkalan misalnya, setiap hari menghasilkan 14 ribu barel, atau senilai USD 1,4 juta. Belum lagi gas alam sebanyak 113 juta kaki-kubik dengan harga USD 2,8 per-meter/kubik. Hal ini belum termasuk hasil dari blok-blok lain. Betapa kayanya Madura! Sekali lagi pertanyaannya, adakah kontribusi mereka terhadap perekonomian rakyat Madura?
Madura hari ini dan mungkin kedepan, adalah potret hitam dari sekian daerah di Indonesia sebagai Absentee of Lord. “Tuan tanah yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri,” banyak warganya merantau serta mengais penghidupan entah kemana, sementara tanah (SDA)-nya sendiri dijarah orang-orang luar justru menikmati. Sungguh ironi.
Hingga saat ini, stigma buruk perihal (orang) Madura begitu melekat di masyarakat sebagai sosok temperamen, suka carok, penjual sate, bisnis besi tua, dll selain ujud pembunuhan karakter juga mengubur kesejatian Madura dalam sejarah. Padahal bila menelusur sejarah Madura, kita seperti menguak kejayaan masa lalu sebuah wilayah yang lengkap secara geografi, kenapa? Ya, Madura dikeliling laut, ada pertanian, perkebunan, hutan, tembakau, wisata, kopi, garam, MIGAS, dan terutama sumberdaya manusia yang memiliki kharakter.
Ada nilai leluhur “ngalappae manok ngabbher”. Entah budaya, atau mungkin dogma yang ternyata tetap hidup serta lestari di kalangan etnis Madura, walau kini beroperasi di lingkup terbatas bahkan sempit. Tak boleh dielak, ruh ngalappae manok ngabbhar seperti gambaran orang mengejar mimpi. Semangat tak kunjung padam sebelum mimpi menjadi nyata, kendati praktiknya sekarang digambarkan sebagai orang yang hanya mengandalkan impian tanpa usaha keras. Nilai tersebut pun tampaknya bergeser cuma sekedar dogma, nilai-nilai yang diterima tanpa kritik tanpa selidik, bahkan tanpa implementasi sama sekali.
Latar Madura sebagai “bangsa” sebaiknya diurai dari perjalanan Arya Wiraraja sebagai Adipati pertama Madura di Abad ke-13. Menurut penelusuran Ghuzilla Humied, salah satu Network Associate dan kontributor aktif Global Future Institute (GFI), Jakarta, bahwa dalam kitab Nagara Kertagama pada tembang 15 mengatakan, dulunya Pulau Madura itu bersatu dengan tanah Jawa. Hal ini mencerminkan bahwa dekade 1365-an dulu, orang Madura dan Jawa merupakan satu komonitas budaya.
Sejarah mencatat, Aria Wiraraja adalah Adipati Pertama di Madura. Ia diangkat oleh Raja Kertanegara dari Singosari tahun 1269. Pemerintahannya berpusat di Batuputih Sumenep, keraton pertama di Madura. Pengangkatan Aria Wiraraja sebagai Adipati I Madura pada waktu itu, diduga berlangsung dengan upacara kebesaran ala Singosari yang dibawa ke Madura. Di Batuputih yang kini menjadi sebuah kecamatan, sekitar 18 km dari Kota Sumenep, terdapat peninggalan Keraton Batuputih berupa tarian-tarian rakyat, seperti Tari Gambuh, Tari Satria, dll.
Secara geologis Madura merupakan kelanjutan utara Jawa, kelanjutan pengunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan lembah Solo. Bukit-bukit kapur di Madura merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar dan lebih bulat daripada bukit-bukit di Jawa dan letaknyapun lebih bergabung.
Luas keseluruhan Pulau Madura kurang lebih 5.168 kilometer (km), atau kurang lebih 10% luas Jawa Timur. Adapun panjang daratan kepulauannya dari ujung barat di Kamal sampai dengan ujung Timur di Kalianget sekitar 180 km dan lebarnya berkisar 40 km. Pulau ini terbagi dalam empat wilayah kabupaten. Dengan Luas wilayah untuk kabupaten Bangkalan 1.144, 75 km terbagi dalam 8 wilayah kecamatan, kabupaten Sampang berluas wilayah 1.321, 86 km, terbagi dalam 12 kecamatan, Kabupaten Pamekasan memiliki luas wilayah 844,19 km, yang terbagi dalam 13 kecamatan, dan Kabupaten Sumenep mempunyai luas 1.857,530 km, terbagi dalam 27 kecamatan yang tersebar di wilayah daratan dan kepulauan.
Kota-kota eks Karesidenan Madura meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep dan Kalianget. Masih menurut Humied, Madura tempo doeloe dan kini jauh berbeda. Kondisinya berbalik 180 derajat. Apabila dulu dikenal sebagai “bangsa” pedagang internasional, kaum negarawan, para musafir hingga tokoh agama banyak berkecimpung dalam urusan dalam negeri baik untuk perniagaan, bertukar pikiran hingga syiar agama Islam yang termuat dalam berbagai cerita rakyat dan dokumen kerajaan di Madura. Namun sejak Abad ke-19 predikat tersebut mulai luntur dan satu persatu citra Madura tergantikan oleh stigma buruk sebagaimana digambarkan sekilas di atas. Betapa ironi bila dibanding potret lama yang harum di setiap pelosok negeri, bahkan dunia.
Akankah generasi muda Madura sekarang ini mampu menggali kembali kearifan lokal yang dahulu pernah mengiringi kejayaan daerah bahkan nusantara, atau mereka tetap menyebar ke berbagai kota dan penjuru dunia; atau pulang berbekal tekad ngalappae manok ngabbhar untuk membangun negeri menjadi wilayah terhormat, makmur dan bermartabat.
Selanjutnya, menengok geliat para investor asing dari berbagai negara mengeksploitasi dan melakukan eksplorasi SDA di Madura, betapa sangat kontradiksi dengan imbal balik yang direguk oleh rakyat baik fisik maupun non fisik serta pembangunan sumberdaya manusianya sendiri. Jadi jangan kaget, isyarat Humied, Sumenep misalnya akan mendapat dana bagi hasil minyak dan gas sebesar Rp 8,8 T, pajak personal pegawai Migas belum masuk ke APBD, berapa nilai pajak galian C-nya, CSR, dana bagi hasil dari PT Santos belum masuk APBD serta DBH dari PT Kangean Energy Indonesia (KEI) yang juga tidak pernah di publikasikan dalam lampiran peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 08/PMK.07/2012, Sumenep akan mendapatkan dana bagi hasil dari minyak bumi dan gas bumi, di Sumenep ada 10 kontraktor kontrak kerja sama (K3S) migas yang melakukan eksploitasi maupun eksplorasi migas. Itu baru beberapa contoh.
Persoalan lain terkait potensi migas Madura, adanya fakta bahwa mayoritas telah dikuasai perusahaan multinasional (perusahaan asing). Menurut Saiful, Wakil Ketua Yayasan Ario Danurwendo, yayasan masyarakat Giligenting, bahwa penguasaan asing terhadap potensi migas Madura hampir 90%. “Saya kira hanya 10 persen saja yang dikuasai (dikelola) oleh perusahaan lokal (nasional) dalam hal ini pihak Pertamina. Selebihnya, dikuasai asing mulai dari Santos, Medco, Kodeco, Petronas dan lainnya.”
Penulis teringat ucapan leluhur yang dulu saya kira hanya bualan semata, atau cuma sekedar “onani” (menyenangkan diri sendiri) belaka, namun belakangan ini semakin mendekati realitas bila melihat data-data di atas. Inilah ujaran leluhur tempo doeloe:
“Bahwa dunia itu bergantung Indonesia, Indonesia tergantung Jawa, dan Jawa tergantung Jawa Timur” Itulah ujaran lama yang hampir terlupakan bahkan terabaikan. Sampai disini, pertanyaannya kemudian: “Jawa Timur tergantung mana?” Mari kita diskusi sejenak.
Dunia tergantung Indonesia. Tak boleh dipungkiri, faktor geoposisi silang Indonesia di antara dua benua dan dua samudera mengandung konsekuensi dan data-data, bahwa 80% perdagangan dunia itu berada dan melintasi (perairan) Indonesia, baik peran negeri ini selaku pasar bagi barang-barang impor atau produk lainnya, ataupun sebagai perlintasan kapal-kapal dari berbagai negara. Bahkan Dirgo D Purbo, pakar perminyakan kita berani menyatakan bahwa 50% tanker minyak dunia melintasi perairan dan selat-selat di Indonesia, hanya data-data tersebut kenapa di-”sembunyi”-kan?
Secara geostrategi, apabila Indonesia agak “jual mahal” sedikit, ataupun menutup diri dan seluruh perairannya tertutup bagi lalu lintas dunia dengan alasan kepentingan nasionalnya terganggu —hal ini dibolehkan dalam UNCLOS 1982— maka niscaya akan menjerit negara-negara yang memiliki kepentingan dengan Indonesia. Ya, pasar mereka bakal lenyap, sumber raw material bagi beberapa industri dunia niscaya terganggu, juga pemutaran kembali kapital atas keuntungan kaum kapitalis akan terhambat, dsb. Mungkin inilah makna tersirat ujaran leluhur dulu, bahwa dunia memang tergantung Indonesia.
Indonesia tergantung Jawa, dan Jawa tergantung Jawa Timur. Ujaran leluhur: ‘Indonesia tergantung Jawa’ sebenarnya lebih kepada selain jumlah penduduknya besar, juga Jawa sebagai pulau serba pusat. Tak boleh dipungkiri, ia dianggap sebagai pusat pemerintahan, pusatnya ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dan banyak lagi “pusat-pusat” lainnya. Semua mungkin memaklumi tanpa ada maksud menebar sentimen kedaerahan atau memicu ego sektoral, etnis, dsb. Sedangkan kalimat: “Jawa tergantung Jawa Timur” terkuak dalam dialog Gubernur Jatim dengan BEM se-Jatim, April 2015 di Wisma Grahadi, Surabaya.
Ada statement Pakde Karwo —panggilan akrab Gubernur Jatim— yang menarik sekaligus mengagetkan, bahwa dikala geliat perekonomian hampir di semua daerah cenderung turun, perekonomian di Jawa Timur justru tumbuh dan naik. Artinya apa, bahwa dinamika sosial ekonomi masyarakat di Jawa Timur tidak terpengaruh akibat menurunnya ekonomi nasional bahkan perekonomian global yang cenderung melambat. Mereka mampu menggerakkan roda ekonomi di tengah lesunya perekonomian.
Dalam bidang politik dan keamanan pun demikian. Sudah menjadi rahasia umum bahwa barometer stabilitas keamanan nasional ada di Jawa Timur. Artinya selama Jatim belum bergolak sesungguhnya stabilitas nasional masih relatif kondusif. Entah kenapa. Atau karena banyaknya pesantren dan pondok sehingga dianggap sebagai representasi Islam di Indonesia? Inilah bukti keadaan (circumstance evidence) yang saya jadikan landasan asumsi sementara guna menyatakan, kenapa Jawa itu tergantung Jawa Timur. Pertanyaan kini, “Jawa Timur tergantung daerah mana?”
Jawabannya adalah Madura, kenapa? Jawa Timur bergantung Madura sebagai daerah penyangga dalam hal ketahanan pangan dan energi (food and energy security).Secara ekstrim, jika Madura menjadi sebuah negara maka semua persyaratan telah terpenuhi, bahkan mungkin lebih makmur daripada Korea yang tidak memiliki SDA sama sekali, atau Singapore, dan lain-lain. Dalam hal pangan misalnya, di Madura memiliki hasil laut, pertanian, wisata, perkebunan, kopi, tembakau, dll sedangkan dibidang energi jangan ditanya, terdapat offshore dan onshore disana.
Kian menariknya Madura di mata global pada Abad 21 ini, salah satunya akibat bergesernya paradigma eksplorasi migas yang semula onshore kini cenderung ke arah offshore. Minat global kini lebih tertarik mengeksploitasi potensi migas di lepas pantai daripada di daratan. Bergesernya paradigma eksploitasi (dari onshore ke offshore) bukannya tanpa sebab, namun lebih dipicu oleh isu-isu kelangkaan sumber energi di daratan. Sudah barang tentu, paradigma tadi semakin menambah daya tarik Madura karena wilayah perairannya dinilai bebas konflik. Boleh dibandingkan dengan beberapa area yang memiliki potensi migas besar di Laut Cina (Spartly, Paracel, dll) tetapi sarat dengan embrio konflik antarnegara di sekitar area dimaksud. Bukankah dari sekian blok-blok di Madura justru lebih banyak berada di lepas pantai daripada di daratan; belum lagi potensi migas di lepas pantai yang belum tergali?
Apa boleh buat. Tulisan singkat ini masih jauh dari sempurna untuk mengurai geopolitik Madura. Belum merupakan kebenaran, apalagi hendak bermaksud membenarkan diri. Tidak sama sekali. Kurangnya data-data serta referensi, dan sempitnya wawasan penulis, menjadikan catatan ini sangat terbuka untuk kritik dan saran guna perbaikan materi terkait Madura, yang disinyalir merupakan “MADU”-nya Indonesia RAya.
Demikian adanya, terimakasih.
Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)