Kemana Jack Ma Menghilang?

Bagikan artikel ini

Telaah Kecil Geopolitik

Telah beberapa bulan ini Jack Ma (JM) tidak muncul di publik, ia seperti lenyap ditelan bumi. Entah kemana. Rumor beredar, bahwa JM melakukan big blunder —kesalahan besar— terhadap negaranya, lalu Xi Jinping, selaku Presiden Cina pun melakukan “tindakan” tegas. Entah tindakan semacam apa. Tahanan rumah, tahanan kota, atau apa?

Di era transparansi 4.0 ini, publik menunggu klarifikasi dari pihak berkompeten dan berwenang soal JM agar tak simpang siur. Artinya, jika ada suatu analisis terkait JM, mungkin cuma hipotesis berbasis persepsi dan kapasitas para analis itu sendiri. Nah, telaah ini juga bagian dari hal di atas (hipotesis), namun berbasis geopolitik.

Pertanyaan selidik muncul, “Dimana letak kesalahan JM dan apa konsekuensi yang diterimanya; bagaimana dengan jasa-jasanya selama ini yang turut mengukir hegemoni Cina di panggung global?”.

Hingga tulisan ini selesai, barangkali belum bisa menjawab secara detail dan pasti karena minimnya data. Mungkin sekedar clue ataupun benang merah. Yang jelas, blunder JM pasti sangat vital lagi genting di mata Partai Komunis Cina (PKC), sehingga sosok sekelas JM harus “dihilangkan” dari publik sedang selama ini banyak pihak yang mengagumi kiprahnya di dunia ekonomi dan bisnis.

Dari pisau geopolitik, hal paling vital dalam bernegara ialah bab kedaulatan negara. Entah negara apapun, dimanapun, sampai kapanpun. Kendati terminologi kedaulatan negara di era globalisasi mulai “bergeser,” tidak lagi mutlak. Tetapi, bagi negara tertentu terutama para adidaya, kedaulatan klasik tetap dianut termasuk Indonesia, misalnya, NKRI harga mati; tidak sejengkal tanah pun kuserahkan kepada asing; pertahankan rumah serta halaman pekarangan kita dan lain-lain. Itulah sepintas dogma-dogma tentang vitalnya kedaulatan bagi sebuah negara.

Cerita tentang JM dengan “Alibaba”-nya, atas seizin Xi Jinping, ia melantai —menjual IPO— di Wall Street. Xi menyetujui karena ingin memperlihatkan kepada dunia bahwa Cina bukan lagi negara komunis yang kumuh dan miskin, tetapi telah menjadi negara maju, kapitalis dan modern. Jadi, secara filosofi geopolitik bahwa Alibaba cuma sekedar “show room” bagi Xi Jinping pada satu sisi, tetapi cerdasnya JM, ia cuma menjual Alibaba sedangkan perusahaan teknologi yang menggerakkan (ruh) Alibaba masih dalam genggamannya di sisi lain.

Ketika 54% saham Alibaba dikuasai publik baik Softbank Jepang (32%) maupun Wall Street (22%), JM merasa bahwa tidak ada “kekuatan” yang bisa menyentuhnya. Mengapa? Karena kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya, Cina juga merugi, terutama hilangnya kepercayaan (trust) dunia. Sementara saham JM sendiri hanya 5,6%. Sebenarnya sangat kecil bila dibanding Softbank dan Wall Street, tetapi karena JM menguasai perusahan teknologi yang menggerakkan Alibaba, investor masih sangat membutuhkan.

Secara politis, JM sudah dan kerap diingatkan oleh para pejabat-pejabat Cina bahwa langkahnya sangat rawan secara (kedaulatan) negara, tetapi JM merasa bahwa Alibaba terlalu besar untuk diintervensi. Adanya peringatan itu bukannya mawas diri, justru JM banyak mengkritik PKC sebagai mesin tua yang tidak siap menghadapi kemajuan zaman sehingga mengundang kemarahan Xi sejak 2015 sebab sering mengkritik kebijakan PKC.

Puncaknya, ketika JM mau mengkonsolidasi semuanya menjadi perusahan raksasa ANT, lantas mau menjual saham (IPO) ke Wall Street dengan iming-iming bahwa yang dikuasai ANT adalah informasi dan/atau data base (pemakai Alibaba) sejumlah 80% penduduk Cina. Inilah big blunder JM. Ini kesalahan besar lagi vital. Selain dinilai membahayakan kepentingan PKC, juga dianggap menjual (kedaulatan) negara untuk kepentingan asing. Dan akhirnya, cukup dengan waktu satu jam sebelum ANT di-IPO-kan di Wall Street, (dapat) dibatalkan oleh Xi Jinping dan JM pun “menghilang” sampai sekarang.

Nah, pelajaran yang dapat dipetik dari kisah JM di panggung geopolitik global ialah, bahwa orang sukses itu identik menunggang macan. Selama ia duduk di atas macan, orang akan hormat. Kenapa? Sebenarnya orang bukan takut kepadanya, tetapi takut kepada si macan. Pada kasus JM, tampaknya ia lupa diri serta menganggap bahwa dirinya dan Alibaba sudah terlalu kuat. Too big too fail. Terlau besar untuk jatuh. Tidak mungkin terjadi di dunia ekonomi dan bisnis, karena bisa menimbulkan gelombang efek domino.

Dan ketika JM benar-benar turun dari punggung macan sebab merasa kuat, berkuasa dan disegani, maka sang macan pun memangsanya tanpa ampun!

End

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com