Obrolan santai tapi serius antara Nesya Aulia, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Binus Jakarta, yang sedang magang di Global Future Institute (GFI), dengan Santo Darmosumarto, Direktur Asia Timur dan Pasifik, Kementerian Luar Negeri-RI
Berbincang-bincang dengan Santo Darmosumarto, Direktur Asia Timur dan Pasifik, Kementerian Luar Negeri RI, sangat mengasyikan. Tak terasa obrolan via zoom berlangsung kurang lebih satu jam. Adapun perbincangan mulai dari pengalaman beliau saat awal bergabung sebagai staf diplomatik Kemlu sampai membahas hal-hal yang jauh lebih serius, yaitu seputar isu dan dinamika perkembangan negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
Santo Darmosumarto dengan segala senang hati memenuhi permintaan Nesya Aulia, mahasiswi magang pada Global Future Institute (GFI), pada 31 Desember 2020. Respons dan jawaban pria yang pernah lama mukim di Kanada ini, bukan saja terbuka dan informatif, tapi juga dengan penuh semangat dan antusias.
Berikut wawancara lengkap (31/12):
Terus terang, ada keinginan dalam diri saya sebagai mahasiswi hubungan internasional untuk mengikuti jejak Pak Santo kelak sebagai diplomat karir. Boleh cerita bagaimana perjalanan sebagai korps diplomatik Kemlu?
Hehehe. Saya kebetulan kuliah S2 di University of Victoria, Canada, kemudian setelah lulus kuliah kembali ke Jakarta tahun 1999. Setelah itu melakukan berbagai tahapan tes di Kemlu. Pada tahun saya masuk, tes lebih panjang daripada tes yang ada sekarang dan cenderung tidak sebaik sekarang pada proses mekanisme seleksi dari sisi memberikan kepastian, apakah diterima atau tidak.
Dahulu proses tesnya panjang dan penuh penantian apakah diterima atau tidak. Kemudian setelah melakukan berbagai macam tes yang tipenya serupa seperti sekarang, saya akhirnya diterima di Kemlu pada tahun 2000. Pada 2001 saya melanjutkan studi dari pemerintah Australia, untuk mengambil S3 di Monash University. Sekembalinya dari Melbourne pada tahun 2004, kemudian full-time menjalankan tugas-tugas sebagai seorang diplomat di Kemlu.
Penempatan pertama Pak Santo di negara mana?
Penempatan pertama pada tahun 2005 di Beijing, Republik Rakyat Tiongkok, lalu kembali ke Jakarta pada 2009. Dan kemudian ditugaskan di kantor staff khusus presiden bidang hubungan internasional. Setelah itu lagi-lagi ditugaskan kembali di Beijing pada 2014. Setelah itu kembali lagi ke Jakarta pada tahun 2018. Sebelum akhirnya, diberi amanah menempati posisi yang sekarang sebagai Direktur Asia Timur dan Pasifik sejak April 2019. Jadi, seperti itu lah, perjalanan karir saya!
Wah, menarik perjalanan karir Bapak!
Ya, begitulah memang dari dulu saya sebagai mahasiswa hubungan internasional, memang mempunyai keinginan dan mimpi untuk jadi diplomat, makanya saya jauh-jauh kembali dari Kanada ke Indonesia, khusus karena berkeinginan untuk menjadi seorang diplomat, utamanya karena saya orang Indonesia, tentu menjadi diplomat Indonesia. Jadi, walaupun sudah lama tinggal diluar negeri, mau tidak mau harus pulang ke Indonesia untuk mencoba karir ini dan Alhamdulillah hasilnya sesuai dengan harapan, walaupun dengan berbagai macam tantangannya.
Tantangan seperti apa ya?
Tantangannya banyak! Bekerja sebagai diplomat tidak seperti yang dibayangkan orang pada umumnya. Sebagai diplomat artinya berstatus pegawai negeri, dimana sebagian besar bekerja untu pengabdian. Artinya, jika dibandingkan dengan orang swasta, pekerjaan kita tidak digaji seperti lazimnya bekerja di instansi swasta. Kita memang mengabdi kepada negara, kepada rakyat, dan itulah yang kita perlu yakini di diri kita untuk terus bisa menjalani pekerjaan ini.
Tapi adanya pengalaman perjalanan ketika ditempatkan ke negara-negara yang mungkin tidak banyak dikunjungi orang, merupakan pengalaman yang cukup berharga dan menarik. Sebetulnya negara yang saya kunjungi kurang menarik ya, karena bukan hal yang asing bagi banyak orang. Seperti Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Australia. Namun ada juga sebuah negara yang menurut saya unik seperti Mongolia. Tetapi ada beberapa teman saya berkesempatan untuk berkunjung dan bahkan tinggal di negara-negara yang cukup unik dan mengesankan seperti Azerbaijan, maupun beberapa negara-negara Afrika atau bahkan di Amerika Latin yang orang Indonesia juga jarang berkunjung kesana. Jadi kalau negara-negara dimana saya ditempatkan, agak boring lah dibanding teman-teman saya.
Apa ada tantangan tersendiri ketika ditempatkan di negara yang mayoritas orang sudah pada tahu?
Tentunya! Tantangannya berbagai macam. Saya pernah pada ditempattkan di negara yang waktu itu saya masih belum keluarga dan saat sudah berkeluarga. Tantangannya pun berbeda. Pas masih sendiri, ditempatkan pada sebuah negara ya kerasa banget kalau kesendirian itu ya kurang enak, jauh dari keluarga dan teman. Kemudian, ketika sudah berkeluarga, ya kita bertanggungjawab untuk keluarga, di situasi ibarat sebagai keluarga imigran. Kita tidak tahu lingkungan kita baru kita, bahasa juga tidak tahu, semua harus mencari dari nol, dari mulai mencari rumah, furniture, dan sebagainya. Itu tantangan tersendiri ya. Dan tidak banyak orang tertarik, terkadang jika tidak bisa menyesuaikan dengan lingkungan baru, terasa berat untuk berganti-ganti situasi dan suasana. Karena kebanyakan orang kan menyukai zona nyaman. Bagi seorang seorang diplomat yang ditemaptkan di negara lain, hidup akan berubah 180 derajat setiap 3,5 tahun. Seperti biasa tinggal tropis kayak di Indonesia tiba-tiba harus menyesuaikan diri di negara empat musim seperti di Eropa Timur dan Eropa Barat.
Pada saat bergabung di Kemlu, apakah menempuh jalur Sekdilu?
Benar. Saya mulai dari nol sekali, masuk sebagai fresh graduate, meskipun sudah S2 ya, meskipun sebelumnya belum pernah bekerja full-time, baru part-time saja semasa kuliah. Nah, bekerja sebagai diplomat memang pekerjaan pertama saya yang full-time, karena itu, memang saya masuk ke Kemlu dan menempuh sekolah dinas luar negeri dari awal belajar berbagai hal. Bagi saya mudah karena latar belakang studi saya adalah hubungan internasional, namun teman-teman lulusan sastra, hukum, dan sebagainya tidak memiliki background ini, jadi saya sedikit diuntungkan. Namun, saat bekerja, yang hukum lebih diuntungkan dalam kapasitas analisis dan lain-lain.
Boleh beri tahu bagaiamana untuk fresh graduate dapat bergabung di Kemlu?
Oh tentu saja boleh, Nesya. Bahkan saya ingin menyemangati lagi teman-teman yang menempuh studi di bidang hubungan internasional, bahwa lulusan HI jangan hanya hanya berkeinginan jadi diplomat. Karena, saya punya banyak teman lulusan HI yang berhasil dan meniti karir di berbagai bidang dan cukup sukses. Mulai dari menjadi banker, bekerja di bidang sosial, NGOs asing, NGOs local, organisasi internasional, penulis buku novel, di pemerintahan yang tidak berhubungan sama sekali dengan HI, di kejaksaan.
Intinya, ada banyak aneka ragam bidang yang bisa dimasuki teman-teman dari HI sebenarnya cukup luas, seperti teman-teman yang melakukan studi di bidang komunikasi. Jadi, saya selalu ingin menyemangati teman-teman untuk memiliki pemikiran yang lebih open-minded, karena kenyataannya di Indonesia setiap tahun hanya diterima paling maksimum sebanyak 75 orang dari yang ribuan pendaftar. Hehehe. terkadang, “can be the simple luck of the draw”, maksudnya, ada hal yang lupa untuk memasukan dokumen tertentu dan tidak lolos seleksi administrative, atau hal lainnya seperti kurang sehat, menjadikan tes Bahasa Inggris menjadi kurang bagus. Banyak, anak orang Kemlu juga tidak lolos, biasa diasumsikan sebagai “ah bapaknya orang Kemlu, seharusnya sudah tahu bagaimana cara sebagai orang diplomat” ternyata tidak lolos. Jadi membuktikan, testing di Kemlu itu fair dan transparan. Tapi, hal tersebut menjadikan tes cukup sulit. Tapi ada hal menarik, dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, setiap tahunnya yang diterima di Kemlu setelah testing sebanyak 51% adalah perempuan. Ternyata saat testing psikologi dan substansi perempuan lebih bagus sebagai diplomat ya, hahaha. Meskipun dikenal sebagai pekerjaan laki-laki. Lucu ya? Hehe, jadi staff di direktorat saya, yang masuk tahun lalu, dari delapan orang, enam adalah perempuan, jadi ada keuntungan!
Baiklah Pak Santo. Sekarang kita geser ke soal lain. Secara umum hubungan Indonesia dan Asia Timur dan Pasifik seperti apa saat ini?
Jadi, di direktorat saya, Asia Timur dan Pasifik, menangani hubungan bilateral sekitar 22 negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Jadi semua hubungan bilateral. Indonesia-Tiongkok, Indonesia-Jepang,Indonesai-Mongolia,Indonesia- Korea Selatan, Indonesia-Korea Utara, Indonesia- Australia, Selandia Baru, Tuvalu, Papua Nugini, dsb. Tetapi tidak termasuk negara-negara Asia Tenggara, hanya Asia Timur dan Pasifik. Kebetulan, ada empat negara prioritas hubungan bilateral kita, seperti Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, dan Australia, adapun Papua Nugini dan Fiji. Jadi, dibandingkan dengan teman-teman yang menangani kawasan Amerika Latin, negara prioritas Indonesia hanya satu, Brazil.
Oh begitu ya. Mengapa hanya Brazil ya pak?
Yang lain-lain, bagaimana hubungan kita di Uruguay? Bagaimana hubungan kita dengan Paraguay? Peru? Tidak sebanding dengan negara yang berbatasan langsung dengan kita. Atau Tiongkok sebagai mitra dagang kita nomor satu, Jepang yang merupakan mitra investasi nomor tiga.
Kalau boleh tahu, mengapa tidak dengan negara-negara di Asia Tenggara ya?
Itu hanya pembagian saja, sebelumnya Asia Timur dan Pasifik termasuk Asia Tenggara. Namun, karena direktorat terlalu besar, jadi dibagi dua. Ada seorang direktur yang menangani Asia Tenggara yang menangani negara yang sangat penting seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei, Filipina. Saya menangani negara-negara Asia Timur dan Pasifik, kalau enggak, susah untuk di handle, Hehe.
Namun, bagaimana pandangan Indonesia terhadap Asia Timur?
Hmm. Asia Timur.. kalau missal hubungan Indonesia dengan negara-negara asing dibagi menjadi concentric circles atau lingkaran konsentris, tentu bagi Indonesia adalah negara-negara di Asia Tenggara, selanjutnya adalah negara di Asia Timur dan Pasifik. Dalam hal ini tentunya, kebetulan banyak negara-negara dari Asia Timur ini menjadi motor dari perkembangan ekonomi global. Seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Bagaimanapun juga, mereka adalah motor dari perkembangan ekonomi global, kebetulan mereka terletak di Asia Timur, dekat dengan kita. Jadi memang, menjadi sesuatu yang diperhitungkan, bahwa negara ini tidak hanya motor perekonomian, tetapi berada di kawasan kita dan memiliki kerja sama yang intensif dengan Indonesia ditambah dengan Australia, meskipun dalam bidang ekonomi tidak terlalu besar, namun dalam bidang politik dan keamanan cukup ok. Makanya kerjasama kita dengan negara-negara tersebut terus berkembang.
Pada saat yang sama, negara-negara ini dekat dengan Indonesia, pasti akan ada perselisihan, pergesekan. Contohnya dengan Tiongkok, Jepang, Australia, Papua Nugini. Namun bagaimanapun juga kita bisa me-manage-nya dengan baik, sehingga kita mampu mengecilkan pergesekan dan gejolak, sebaliknya mampu mengembangkan peluang-peluang ke arah kerjasama yang saling menguntungkan. Namun dengan negara-negara Asia Tenggara pun kita sering mengalami gesekan seperti bergejolak dengan Malaysia , tetapi ya buktinya kita tetap bersahabat.
Pak Santo tadi bilang harus bisa menghilangkan gesekan tapi mengembangkan peluang dengan negara-negara Asia Timur dan Pasifik. Peluang seperti apa itu ya?
Peluangnya bervariasi, tentunya ada di bidang ekonomi. Karena kebetulan negara-negara tersebut adalah motor ekonomi nasional di negaranya masing-masing dan bahkan pada skala dunia. Plus, moto kita kan adalah adanya upaya untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik.
Sebagaimana diketahui, setiap negara memiliki perselisihan diantara negara-negara sekawasan, nah kita berusaha menciptakan perselisihan itu bisa diredam melalui mekanisme dialog dan diskusi yang intensif. Karena kita percaya seberapa banyak negara sering duduk bersama dengan membicarakan permasalahannya, semakin besar peluang untuk mencari solusi pemecahan untuk menghilangkan sumber konflik. Dan kalaupun konflik timbul, kita berharap tidak diselesaikan dengan cara kekerasan namun lewat meja perundingan. Misalnya kalaupun ada permasalahan terkait sengketa Laut Cina Selatan, setiap negara yang terlibat konflik pada akhirnya kembali duduk bersama di meja perundingan untuk kemudian mencari solusi damai. Sehingga potensi konflik skalanya tidak semakin membesar.
Nah, itu dari sisi kerja sama politik ya. Selain itu tadi saya katakan ada peluang di bidang ekonomi. Nah selain itu ada juga kerja sama antar masyarakat yang bisa dikembangkan . Bagaimana kita saling meningkatkan kedekatan antar masyarakat negara dari segi menarik pariwisata, atau pendidikan melalui beasiswa dan pertukaran pelajar.
Lalu bagaimana Indonesia menyikapi hubungan ekonomi dengan Jepang terutama di era pandemic?
Hmm. Kalau dengan Jepang, memang kita mempunyai hubungan cukup lama. Jepang merupakan salah satu negara yang menjadi motor pembangunan ekonomi di Indonesia sejak tahun 1970an, jadi hubungan ekonomi kita sangat lama dan sangat erat. Akhir-akhir ini masih berkembang cukup kuat, kalau kita lihat dari perkembangan kehidupan sehari-hari, barang-barang dari Jepang sudah menjadi bagian dari hidup kita, seperti Toyota, Miwon, Sasa, dan lain sebagainya.
Sampai terkadang kita tidak menyadari bahwa produk tersebut adalah buatan ataupun brand Jepang, hal tersebut memang dikembangkan. Jepang dari sisi investasi adalah investor nomor empat di Indonesai setelah Singapura, Tiongkok, Honkong, dan baru Jepang. Kalau dari sisi hubungan perdagangan, Jepang merupakan mitra dagang nomor dua setelah Tiongkok. Jadi, bisa dibayangkan bahwa kerja sama Jepang dan Indonesia sangat intensif, Jepang juga terlibat dalam berbagai proyek skala besar, seperti MRT Jakarta, Pelabuhan Patimban, jalan tol, dan sebagainya. Jadi intinya kerja sama ekonomi dengan Jepang semakin kuat, meskipun di masa pandemic memang terdapat beberapa tantangan, seperti dalam hal jumlah pekerja yang harus dikurangi, kunjungan masyarakat Jepang ke Indonesia jadi sedikit. Jadi berdampak juga pada hubungan kedua negara, Jepang – Indonesia. Pariwisata Jepang juga besar yang berkunjung ke Indonesia dan hal sebaliknya, tentunya selama pandemic hampir menjadi nol besar, perlu kita genjot lagi di tahun 2021 atau 2022.
Lalu, bagaimana hubungan Indonesia dengan China?
Dengan China, dibandingkan dengan Jepang memang relatif lebih baru, karena erkembang baru pada tahun 1990an dan beru betul-betul makin solid pada tahun 2000an. Namun meskipun kemitraan strategis Indonesia-China baru pada tahun 2005, tapi perkembangannya sangat pesat. Karena, perkembangan potensi Tiongkok juga sangat besar. Tiongkok berkembang dari negara miskin menjadi negara terkaya kedua di dunia ya dalam waktu 20 tahun. Oleh karena itu, menjadi maklum dalam perekonomian Indonesia yang berkiblat ke Tiongkok, karena hampir seluruh dunia juga berkiblat ke Tiongkok. Namun, selama pandemic kita juga ada baiknya untuk diversifikasi tidak hanya ke Tiongkok saja, juga intensifkan ke negara lain, seperti Amerika Serikat ataupun ke Eropa.
Jadi, seperti yang telah disampaikan, mitra dagang dengan Tiongkok adalah nomor satu dan mitra investasi nomor dua. Jadi memang, peran Tiongkok sangat besar dalam perkembangan ekonomi nasional kita, meski pada saat yang sama kita memiliki permasalah kunci terkait dengan klaim mereka di Laut Cina Selatan, sesuai dengan apa yang mereka yakini masuk ke dalam ZEE Indonesia di Utara Kepulauan Natuna, itu menjadi potensi friksi kalau Tiongkok tidak back down, karena kita memang tidak akan back down sebab didukung oleh Konvensi hukum laut, UNCLOS. Dengan Jepang kita tidak ada hal seperti itu. Kemudian, dengan Tiongkok ada sisa-sisa sejarah, walaupun tidak ada sejarah konflik dengan Tiongkok, tetapi, kita secara psikologis nasional, terdidik selalu bersengit dengan Tiongkok.
Sejak zaman penjajahan, Belanda selalu mengajari kita untuk tidak menyukai orang Tiongkok, tanpa ada alasan tapi kita sebal saja dengan orang Tiongkok. Dan sebalnya itu, tidak beralasan dan harus terima dengan pandangan itu, selalu punya pandangan yang miring yang tidak bisa dipungkuri. Hal tersebut bisa sedikit terkikis kalau pernah tinggal di Tiongkok, saya pernah tinggal hampir delapan tahun, jadi saya melihat Tiongkok cenderung dari kacamata yang netral. Karena, saya lihat tidak ada masalah dengan hal ini, saya mengerti kenapa orang ‘nyinyir’ mengatakan A B C D, mengerti kenapa.. tapi saya sudah mampu melampaui hal-hal psikoligis tadi, karena saya tahu hakekat soalnya tidak seperti itu.
Apakah pandangan yang melampaui hal yang psikoligis itu berbeda dengan pandangan masyarakat kita pada umumnya?
Hmm saya kira tidak juga ya. Perspektif masyarakat Indonesia utamanya adalah perspektif yang dibina dan dibiarkan oleh ketidaktahuan. Lalu ketidaktahuan itu menyebabkan orang memiliki perspektif tertentu terhadap Tiongkok, yang kemungkinan bisa berubah sekiranya mereka menyadari Tiongkok tidak berusaha mengganggu Indonesia kok. Hahaha. orang Tiongkok cenderung seperti “gua ga ganggu lu kok” ya haha.. tapi kita selalu ada firasat bahwa Tiongkok mengganggu. Yang hebatnya, ada negara lain yang kerjanya selalu mengganggu kita, tapi merasa tidak pernah diganggu. Tahu negara mana? Amerika Serikat tentunya. Mereka selalu ganggu kita, tapi kita tidak pernah merasa diganggu. Hehehe. Tahu-tahu kita sudah kehilangan Timor Leste saja Hehehe. Jadi begitu Nesya.
Tapi, kalau dalam konflik Laut China Selatan, apakah mengganggu stabilitas keamanan Indonesia?
Satu hal sebenarnya, Indonesia bukan merupakan negara yang klaim di Laut China Selatan. Kita terusik ketika klaim nine dash line Tiongkok masuk kedalam ZEE Indonesia, Kepulauan Natuna. Tapi, bukan berarti kita memiliki klaim terhadap Laut China Selatan, tidak ada kita.
Nah, pada saat yang sama, negara yang berada di kawasan, tentunya kita tidak menginginkan ada konflik yang terjadi di wilayah itu antara Tiongkok dengan Malaysia, ataupun antar Malaysia dengan Vietnam. Karena terkadang orang suka lupa, bahwa konflik di wilayah Laut China Selatan bukan saja antara Tiongkok dengan negara-negara di Asia Tenggara, tidak! Karena Malaysia dan Vietnam juga berkonflik, Malaysia dengan Singapura juga berkonflik. Tetapi memang yang paling seksi adalah ketika melihat negara-negara kecil Asia Tenggara melawan naga yang besar, Tiongkok, terlihat keren kan. Tapi, bagaimanapun juga Indonesia menjadi pihak yang selalu mendorong dialog damai di Laut China Selatan untuk tidak terciptanya konflik. Karena, bisa berdampak ke perlayaran Internasional dan juga berdampak kurang baik, karena negara-negara di luar kawasan juga bisa turut ikut campur. Sehingga berpotensi menjadi perang dalam skala yang lebih luas dari itu. Harapan kita itu tidak akan terjadi. Makanya kita punya kepentingan untuk terus secara aktif mempromosikan stabilitas dan perdamaian di Laut Chima Selatan.
Kalau boleh tahu, dampak perekonomian untuk Indonesia jika konflik di Laut Cina Selatan kian memanas?
Hmmm.. saya tidak hafal statistiknya, namun, dari perdagangan Indonesia kan melintasi jalur Laut China Selatan. Ya pasti berdampak buruk bagi Indonesia. Bahkan kalaupun kita menjalin trading partner dengan Jepang, lha transportasinya kan lewat Laut China Selatan kan? Hehehe. Jadi dari gambaran itu saja sudah keliatan kan dampaknya bagi perdagangan internasional jika konflik di Laut Cina Selatan kian memanas.
Bagaimana Hubungan Indonesia dengan India?
Ya… memang dengan India kita kurang eksplorasi ya. Kita harus akui bahwa untuk kerja sama ekonomi memang fokusnya besar sekali dengan negara-negara di Asia Timur, seperti Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan berakibat kita tidak melakukan kerja sama dengan India. Walaupun perekonomian India cukup kuat, pasokan bahan baku obat-obatan banyaknya dari India, belum tekstil juga dari India.
Tapi, memang tidak tampil keluar ya kerja sama ekonomi kita maupun kerja sama bidang lainnya dengan India. Kerja sama terorisme kita juga cenderung memilih ke Australia dibanding negara lain. Untuk demokrasi mungkin kita cenderung untuk lebih memilih negara seperti Australia dan Selandia Baru. Tapi India walaupun negara demokrasi terbesar di dunia nomor satu, jadi hal tersebut kurang didorong dan sudah waktunya untuk lebih intensif.
Satu hal lagi juga tidak dipungkuri, India memiliki rasa percaya diri yang cukup tinggi. India merasa merupakan pimpinan di kawasannya, mereka negara paling besar di kawasannya jadi merasa bahwa jika Indonesia ingin kerja sama dengan India ya Indonesia sebagai junior partner. Jadinya ya ngapain kaya gitu? Lebih baik Indonesia lebih memilih Jepang. Tapi, secara psikologis juga, Laut India terlampau jauh, untuk kita bayangkan adanya jembatan yang menghubungkan kedua negara, sedangkan untuk laut Pasifik lebih dekat, dengan Hongkong, Tiongkok, Jepang, lautnya tidak jauh, bahwa hanya dengan Laut China Selatan. Tapi dengan India, kelihatannya Samudera Himdia alangkah luasnya dan tidak sampai-sampai. Jadi ada hal itu juga secara psikologis jadi pertimbangan ke arah kerjasama yang lebih intensif
Tapi, India juga menguntungkan Indonesia, apakah hubungan bilateral akan diperluas lagi?
Iya, seharusnya diperluas. Contohnya terkait dengan kelapa sawit, kita sibuk berjualan hingga ke Eropa. Disana dianggap tidak sehat dan tidak dibeli. Ternyata jika kita jual di India, yang beli juga banyaknya minta ampun. Oleh karena itu, yang terjadi bahwa kita terlalu fokus terhadap hal-hal yang keren, sedangkan hal yang tidak keren dan bermanfaat untuk kita cenderung untuk mengabaikannya, atau melihatnya sebagai sebuah peluang.
Kalau boleh tahu tantangan peran strategis Indonesia dalam Asia Pasifik ke depan seperti apa?
Tantangannya, Indonesia cenderung memajukan sesuatu berdasarkan norma tertentu. Seperti confidence building, menyamakan visi. Karena banyak negara cenderung tidak memerhatikan itu, dan cenderung politik transaksional ya. Maksudnya, “gua dapet apa ni?” Kalau kita berbicara terkait demokrasi, ham, fair trade ya.. cenderung bicara tentang dapatnya apa. Kita lihat itu ada di hubungan dalam negara antar kawasan, nah itu akan memberatkan bagi kita. Kemudian, terkait dengan Indonesia, yang sulit ada di kawasan, ada dua negara besar yang memperluas pengaruhnya di kawasan ini yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok. Tapi, Indonesia adalah negara yang dari dulu menolak dengan politik, dan memilih politik bebas aktif. Kemudian, kita menjadi negara yang harus memilih. Kita berusaha mengajak negara-negara lainnya untuk melakukan hal sama, namun tidak mudah, karena mereka cenderung untuk memilih. Saat Indonesia lebih memilih kepentingan bersama, negara lain menolak dan dan cenderung memilih salah satu pihak.
Ada tantangan sendiri tidak bagi Indonesia dalam menghadapi global transformation?
Hmm bagi Indonesia sendiri memastikan bahwa bagaimana pun juga politik luar negeri kita memastikan bahwa ASEAN, tetap relevan. Bagaimana pun juga ASEAN dapat menciptakan perubahan. Meski ASEAN bukan organisasi yang sukses di Perang Dingin tetapi bisa berkembang dalam menciptakan kerjasama saling menguntungkan di antara sesama negara-negara di Asia Tenggara, untuk lima, sepuluh dan 20 tahun kedepan. Seperti Sekretariat ASEAN ada di Jakarta. Saya kira ini merupakan salah satu cara agar negara-negara yang tergabung dalam ASEAN tidak dipermainkan oleh negara-negara besar. Karena ASEAN merupakan sebuah asosiasi tersendiri yang tidak mudah diombang-ambing. Bersama kita bisa berdiri sendiri.
Jadi, ASEAN merupakan respons untuk menjawab semakin meningkatknya persaingan antar negara-negara super powers?
Yes! Maka itu, salah satunya adalah ketika Tiongkok mempunyai Belt and Road Initiative dan Amerika Serikat mempunyai Indo-Pacific, kemudian Indonesai berusaha memajukan ASEAN outlook on Indo-Pacific, berarti kita berusaha mendorong adanya friksi yang terjadi di antara AS dan Tiongkok itu. Ke dalam kerangka kerjasama yang didasari oleh kemitraan menurut pandangan ASEAN (ASEAN OUTLOOK).