Konflik Peradaban Dalam Kritik

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Geopolitik
Usai Perang Dingin (Cold War), Samuel P Huntington membuat tesis bahwa könflik ideologi telah berakhir. The end of history. Kapitalis liberal dianggap ideologi unggul, ia pemenang perang (bertema) ideologi sejak Perang Dunia (PD) I, PD II, Perang Dingin dan peperangan lainnya.
Tema perang kali ini bergeser dari konflik ideologi menjadi konflik/benturan peradaban atau clash of civilizations, terutama benturan antara peradaban Barat versus berbagai peradaban besar lain seperti Konfusian (Cina) misalnya, atau Jepang, Hindu, Slavia-Ortodoks (Rusia), Amerika Latin, Islam dan lain-lain. Namun dalam praktiknya, aksi Barat dalam clash of civilizations cenderung mengarah pada satu atau dua (entitas) peradaban saja.
Sebagai catatan pada telaah kecil ini, dalam buku “The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order“-nya Huntington, Rusia dan Amerika Latin digolongkan Non-Barat.
Poin inti tesis Huntington ialah, bahwa latar penyebab perang sekarang —usai Cold War— tidak melulu konflik ideologi, melainkan faktor perbedaan budaya. Alasan Huntington, bahwa budaya memiliki kharakter yang sulit diubah ketimbang ideologi misalnya, atau dibanding kelas sosial, ataupun faktor-faktor lain.
Retorikanya adalah, bukankah ideologi itu hasil interaksi budaya secara terus menerus dan berkelanjutan; bukankah peradaban pun hakikinya adalah operasional ideologi yang berulang-ulang serta diyakini kebenarannya? Retorika ini tidak untuk dijawab agar ulasan ini bisa dilanjutkan.
Secara substansi, Jeane Kirkpatrick (1993) mengkritik tesis Huntington. Ia menyebut bahwa sebagian besar konflik-konflik setelah Perang Dingin justru terjadi di dalam peradaban itu sendiri, bukan antarperadaban.
Menariknya, ada dua pola konflik pasca Cold War yang disinyalir menabrak asumsi Huntington, antara lain;
Pertama, konflik Iran versus Arab Saudi, itu bukti konflik (internal) di dalam peradaban —bukan antarperadaban— sebagaimana kritik Jeane. Dan hal itu terjadi karena faktor geopolitik kawasan, bukan benturan budaya. Kemudian konflik antara Arab-Yaman, ataupun konflik Palestina versus Israel, dan lain-lain. Sekali lagi, peristiwa di atas bukanlah konflik-konflik antarperadaban sebagaimana tesis Huntington.
Tatkala muncul asumsi berbeda, bahwa konflik internal di dalam peradaban merupakan hasil rekayasa Barat, itu soal lain. Hal yang berbeda. Tidak dibahas pada catatan ini;
Kedua, faktor geostrategi. Dengan munculnya Kebangkitan Cina baik dari sisi budaya, ekonomi, politik, maupun militer, jika merujuk teori Stephen M. Walt (1986) seyogianya kebangkitan kekuatan baru di kawasan disikapi oleh negara-negara di sekitarnya secara bandwagoning, balancing dan hedging. Ya. Seperti kebangkitan Jerman jelang PD II dahulu, contohnya, Inggris dan Prancis menyikapi secara balancing. Kedua negara membangun kekuatan untuk mengimbangi kekuatan (baru) Jerman. Sementara Italia memilih bandwagoning, justru beraliansi alias bersekutu dengan kekuatan (Jerman) baru.
Mencermati sikap beberapa negara atas kebangkitan China selaku kekuatan baru di kawasan, ternyata tidak pararel dengan teori Walt. Sebagian negara di Asia Pasifik tidak mengambil sikap secara tegas apakah bandwagoning (bersekutu dengan kekuatan baru), atau balancing (membuat perimbangan), dan/atau hedging (membatasi dari persepsi ancaman kekuatan baru). Hampir rata-rata justru memilìh beraliansi ke Barat. Itu persekutuan lama baik dalam Commonwealt, FPDA, ISAF, ANZUS, dan lain-lain.
Jadi, model konflik yang kini berlangsung bukanlah benturan antarperadaban sebagaimana tesis Huntington, tidak pula konflik di dalam peradaban seperti asumsi Jeane. Ya, konflik yang kini berlangsung terlihat rancu. Simpang-siur. Tampaknya, terdapat hal lain lebih dominan. Entah apa. Bisa jadi karena VUCA, atau minyak, gas, dan/atau faktor geoekonomi lainnya.
Gilirannya, tampilan sikap negara-negara di kawasan pun terlihat ambigu. Balancing tidak, hedging setengah hati, bandwagoning pun tak jelas. Serba ambigu.
Memang tesis Huntington tidak keliru, hanya kurang akurat. Kebenaran tesisnya justru mengerucut ke bawah. Piramida terbalik. Hal ini terlihat ketika ia menaruh budaya, (politik) identitas, dan agama sebagai hal determinan —faktor yang menentukan— dalam konflik pasca-Cold War. Itu baru agak pas. Dan lazimnya, hal tersebut (konflik budaya) terjadi di tingkat lokal atau nasional, bukannya di level regional, tak pula pada konflik global.
Pertanyaan menarik timbul, apakah benturan budaya, konflik identitas dan agama itu hasil rekayasa asing di suatu negara guna menyelaraskan dengan isu konflik budaya, identitas dan agama, misalnya, itu juga hal lain. Kenapa? Sebab, tercium ada upaya permanisasi konflik. Soal ini, lain kali dibahas.
Setidak-tidaknya, itulah realitas geopolitik dimana geraknya sulit diprakirakan (unpredictable) dan kerap bersifat tiba-tiba alias turbulent. Demikian sepintas kritik atas tesis Huntington di panggung geopolitik global.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com