AS Hanya Butuh ASEAN Untuk Membendung Cina di Asia Tenggara

Bagikan artikel ini

Apa yang dihasilkan dari Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-AS Mei lalu, hanya semakin membuktikan bahwa negara adikuasa dari blok Barat  tersebut tidak punya strategi yang jelas untuk mengembangkan kerjasama kemitraan yang setara dan saling menguntungkan dalam mengembangkan hubungan bilateral AS-ASEAN. Hal itu semakin memantik kekecewaan dan keresahan di kalangan negara-negara ASEAN tak terkecuali Indonesia.

Situs berita Manila Times dalam artikelnya pada 22 Mei 2022 lalu, mewartakan bahwa Washington hanya menggelontorkan dana bantuan sebesar 150 juta dolar AS yang ditujukan kepada 10 negara anggota ASEAN. Kenyataan tersebut selain menggambarkan tidak adanya itikad AS untuk membangun kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan dan bersifat timbal-tabalik dengan ASEAN, pada perkembangannya semakin membuktikan bahwa AS hanya bermaksud memanfaatkan negara-negara ASEAN sebagai negara-negara satelit yang berada dalam hegemoni globalnya, untuk membendung pengaruh Cina yang semakin menguat di Asia Tenggara, dan Asia Pasifik pada umumnya.

Alhasil, AS hanya tertarik memberi prioritas memberi bantuan militer dalam upaya mendorong terbentuknya persekutuan militer dengan negara-negara ASEAN untuk membendung Cina di Laut Cina Selatan, daripada membangun kerjasama ekonomi dan perdagangan yang menguntungkan negara-negara ASEAN.

Baca: US-Asean Summit exposes America’s real priorities

Melalui pemberian dana 150 Juta dolar AS kepada 10 negara ASEAN tersebut, tergambar betapa tujuan utama atau prioritas AS yang sesungguhnya hanya bagaimana membendung pengaruh Cina di Asia Tenggara dibandingkan secara tulus membangun kerjasama atas dasar kesetaraan dengan ASEAN. Hal ini Nampak semakin jelas melalui fakta bahwa dari komitmen pemberian 150 juta dolar AS yang diberikan ke ASEAN, 60 persen di antaranya dialokasikan untuk meningkatkan kerjasama keamanan maritim yang melibatkan pasukan penjaga pantai AS di Laut Cina Selatan.

Padahal beberapa negara ASEAN semula berharap bahwa AS akan memberikan dana bantuan ekonomi yang cukup signifikan  dalam rangka mengimbangi kerjasama yang semakin meningkat dan intensif dengan Cina sehingga negara-negara ASEAN tidak terlalu menggantungkan diri pada negara tirai bambu tersebut.

Maka alih-alih semakin meningkatnya kesejahteraan ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara,  prioritas AS yang lebih mengutamakan pemberian dana bantuan militer terkait kehadiran militer AS di Laut Cina Selatan, pada perkembangannya malah berpotensi memicu meningkatnya militerisasi dan proliferasi persenjataan militer termasuk persenjataan nuklir di kawasan Asia Tenggara.

Kontras dengan perilaku AS yang sepertinya tidak punya itikad baik untuk mengembangkan hubungan bilateral AS-ASEAN yang setara dan saling menguntungkan, Cina justru sebaliknya, semakin intens dalam meningkatkan bantuan kucuran dana untuk membantu pembangunan negara-negara ASEAN maupun negara-negara Asia lainnya dengan mendanai proyek-proyek infrastruktur, termasuk dalam pembangunan infrastruktur maritim.

Sebaliknya AS, dari anggaran 150 Juta dolar AS yang dialokasikan kepada ASEAN, hanya 40 persen dari total anggaran yang dialokasikan untuk bantuan pembangunan infrastruktur. Sedangkan Cina melalui skema Belt Road Initiative (BRI) yang sudah berusia satu dekade, Cina sudah menggelontorkan dana bantuan sebesar 6 miliar dolar AS kepada Laos, untuk pembuatan kereta api super-cepat. Adapun dalam membantu Cina untuk mengurangi kemacetan lalulintas di kota Manila, ibukota Filipina, Cina telah memberikan dana bantuan sebesar 150 juta dolar AS. Dengan makna lain, Cina telah memberikan dana bantuan untuk mengurangi kemacetan lalulintas dalam jumlah yang sama besarnya dengan bantuan AS kepada 10 negara ASEAN.

Bendera ASEAN

Bahkan bantuan Cina dalam bentuk hibah untuk membuka lapangan kerja, Cina telah memberikan dana sebesar 350 juta dolar AS kepada Filipinan antara 2016-2021. Begitupula terhadap Indonesia, Malaysia, Kamboja, Vietnam dan Thailand, Cina juga semakin meningkatkan ruang lingkup kerjasama ekonominya. Begitupula  halnya dengan Myanmar.

AS Memandang ASEAN Sebagai Mitra Junior

Untuk bantuan vaksin saat pandemi Covid semakin meluas, Filipina memperoleh bantuan sebesar 150 juta dolar AS dari Cina. Sedangkan AS hanya memberikan dana bantuan sebesar 200 juta dolar AS kepada 10 negara anggota ASEAN. Sangat tidak seimbang bukan? Alhasil, banyak kalangan yang skeptis bahwa dengan tiadanya itikad untuk membangun hubungan dengan ASEAN yang bersifat timbal-balik dan saling menguntungkan, sangat masuk akal jika Cina mendapatkan pengaruh yang semakin kuat di Asia Tenggara, sementara pengaruh AS terhadap ASEAN semakin merosot dari hari ke hari.

Dari sebab itu, AS nampaknya sekarang mulai menyadari betapa semakin menguatnya pengaruh Cina di Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya, sehingga mencoba membendung pengaruh Cina di ASEAN pada khususnya dan Asia-Pasifik pada umumnya. Namun dalam membendung pengaruh Cina di kawasan Asia Tenggara sebagaimana terlihat melalui skema membangun kerjasama bilateral dengan ASEAN, AS lebih mengutamakan pendekatan politik dan keamanan yang bersifat hard-power daripada soft power seperti halnya telah dilakukan Cina.

Sebagai misal, seperti terlihat melalui upaya Washington dalam US-ASEAN Summit Mei lalu, AS selalu berupaya menghalangi terciptanya prinsip-prinsip sentralitas ASEAN sehingga antar negara-negara anggota ASEAN rentan terjadinya perpecahan, yang berakibat melemahkan soliditas ASEAN sebagai kekuatan regional Asia Tenggara.  Seraya mendorong negara-negara ASEAN agar keluar dari skema kerjasama ekonomi dan perdagangan dengan Cina. Atau setidaknya, menciptakan polarisasi antara negara-negara ASEAN yang pro AS dan Inggris vs negara-negara ASEAN yang dipandang pro Cina. Sehingga dengan begitu tercipta perpecahan di kalangan negara-negara ASEAN.

Hal ini Nampak jelas ketika AS melalui skema Indo-Pacific-Economic-Framework , AS menolak keterlibatan beberapa negara-negara ASEAN yang selama ini dipandang pro Cina seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan bahkan Brunei Darussalam.

Baca juga sebagai pembanding:

Indo-Pacific Economic Framework not a blessing for Asia 

Begitu juga dalam upaya untuk melemahkan dan melumpuhkan netralitas dan independensi ASEAN sebagai kekuatan regional yang solid, AS mendesak agar negara-negara Barat semakin banyak yang dilibatkan dalam forum-forum regional ASEAN seperti East Asia Summit dan ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM). AS mendesak agar Inggris, Kanada dan Prancis. Bahkan dalam pertemuan East Asia Summit pada November mendatang, Presiden European Council Sh. Michel akan ikut serta dalam kapasitas sebagai tamu undangan.

Menyadari adanya upaya yang semakin intensif dari AS untuk mempolitisasi ASEAN dan menciptakan polarisasi antar negara-negara ASEAN, maka untuk memblokir inisiatif blok Barat, maka Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya harus kembali kepada spirit Bali Conord I dan Bali Concord II.

Baca juga: Menangkal AUKUS, Indonesia dan ASEAN Harus Kembali Pada Komitmen ZOPFAN 1971 dan TAC 1976

Baca juga: Reputasi ASEAN sebagai Peace Maker Tercemar Jika Mengizinkan Ukraina Bergabung dalam TAC

ASEAN yang didirikan pada Agustus 1967, menganut prinsip bahwa ASEAN harus memiliki kebebasan dan kekuatan yang independent, bebas dari pengaruh kekuatan-kekutan adikuasa seperti AS, Cina maupun Rusia.

Dalam Declaration of ASEAN Concord II atau Bali Concord II, yang mana Sepuluh pemimpin negara ASEAN yaitu Sultan Brunei Darussalam, Perdana Menteri Kerajaan Kamboja, Presiden Republik Indonesia, Perdana Menteri Laos, Perdana Menteri Malaysia, Perdana Menteri Uni Myanmar, Presiden Republik Filipina, Perdana Menteri Republik Singapura, Perdana Menteri Kerajaan Thailand dan Perdana Menteri Republik Sosialis Vietnam menandatangani perjanjian Bali Concord II yang sebelumnya terdapat Deklarasi ASEAN Concord atau Bali Concord I yang diadopsi di tempat bersejarah di Bali pada tahun 1976.

Terlepas dengan berbagai kontroversinya hingga kini, Kesepakatan Bali Concord II ini berisikan tiga poin penting. Poin tersebut adalah rencana pembentukan ASEAN Economy Community (AEC) sebagai entitas ekonomi terpadu Asia Tenggara.

ASEAN Community Security (ASC) sebagai forum keamanan bersama, dan ASEAN Socio-cultural Community (ASCC) yang erat dan saling menguatkan untuk tujuan menjamin stabilitas perdamaian dan kemakmuran bersama di kawasan.

Maka dalam Deklarasi ASEAN Concord tersebut, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, merasa perlu menegaskan bahwa negara-negara anggota, secara individual maupun  kolektif, akan mengambil tindakan aktif untuk pembentukan selekas mungkin Zona Damai, Bebas dan Netral. Bahkan dalam KTT ASEAN Bali itu, juga ditegaskan bahwa di bidang politik akan ditegaskan akan ada aksi bersama dalam kerangka ASEAN. Dalam deklarasi tersebut ditegaskan: “Mempertimbangkan segera tindakan-tindakan permulaan agar Zona Damai, Bebas dan Netral diakui dan dihormati.”

Berdasarkan kesepakatan itulah maka negara ASEAN secara bersama-sama membangun dan memperluas integritas internal ekonomi negaranya masing- masing dan hubungan dengan komunitas ekonomi dunia, juga berbagi tanggungjawab  dalam memperkuat stabilitas ekonomi, sosial, dan keamanan di Asia Tenggara. Bebas dari campurtangan asing baik dari blok Barat maupun Timur.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com