Krisis Kepemimpinan: Di Antara Swing Voters, Golput, Dan Dejavu Dalam Kontestasi 2024 (2/Habis)

Bagikan artikel ini
Apapun, kapanpun, atau siapapun pencetus teori dan/atau penggali pakem-pakem kepemimpinan, poin substansinya ialah bahwa tidak ada pimpinan yang ujug-ujug alias tiba-tiba.
Proses tak sederhana merupakan keniscayaan dari (kelahiran dan) penciptaan setiap pemimpin. Putra mahkota yang pasti ‘jadi’ pun, akan melewati, bahkan melalui gemblengan sejak kecil untuk menggantikan kedudukan sang raja. Berbagai ajaran, wawasan dan ilmu, entah skill, knowledge, ataupun filsafat diberikan kepadanya di kawah candradimuka —istilah lazim di pendidikan militer— agar kelak menjadi sosok pemimpin yang amanah (bisa dipercaya), pilih tanding, acceptable (dapat diterima), dugdeng, kredible (mau dan mampu), adil serta bijak, dan lain-lain.
Analogi makrifat, contohnya, ketika Nabi Adam hendak diturunkan sebagai pemimpin di muka bumi, ia dibekali tak hanya panca indera yang lengkap lagi sempurna, tetapi juga hati cq sanubari, logika, berbagai rasa, nafsu, beningnya pikir, jiwa, dan lain-lain terutama bekal keimanan cq ketauhidan yang tidak bakal goyah dihantam badai sedahsyat apapun.
Manusia selaku hambaNya, mutlak harus terciprat (teori) ‘bekal Adam’ dari Sang Khalik agar tidak terjebak pola kepemimpinan yang adigang, adigung, adiguno — sopo siro sopo insun.
Kisah Fir’aun di al Qur’an merupakan contoh kepemimpinan tidak amanah, akhirnya ‘tenggelam’ di laut karena tindakannya tidak merujuk pada ‘bekal Adam’.
Logika Fir’aun misalnya, selalu condong kepada keburukan, atau hatinya cenderung pada ketidakadilan, nafsunya selalu mengeksploitasi syahwat kekuasaan, sukma atau jiwanya senantiasa gelisah lagi panik, bukan jiwa-jiwa yang tenang, dan seterusnya.
Poin intinya, tanpa proses secara benar, siapapun berpotensi menjadi pemimpin ‘jadi-jadian’. Mirip karnaval. Sarat kepura-puraan dan dagelan. Usai kirap, tolah-toleh dewean.
Pemimpin itu bukan sekadar simbol yang cuma mengandalkan status, kenapa demikian? Sebab, tugas pokok pemimpin itu mengambil keputusan (decision making). Tepat atau tidaknya sebuah keputusan maka tergantung profiling atau bagaimana mengidentifikasi masalah agar tidak blunder dalam treatment di setiap persoalan.
Tatkala yang dihadapi seekor macan misalnya, karena lemahnya kapasitas kepemimpinan — bisa-bisa yang teridentifikasi justru kelinci. Edan. Gilirannya, invasi dikiranya investasi, intervensi dipikirnya koordinasi, dan lainnya Kenapa? Sebab, treatment terhadap kelinci tentu berbeda cara mengatasi macan. Karenanya, pemimpin tidak cukup berbekal intelektualitas semata. Namun, ia kudu memiliki integritas, skill, attitude yang baik, punya pengalaman (experiential), wawasan luas, bijak, dan lain-lain. Intinya, proses kelahirannya tidak ujug-ujug.
‘Pemimpin dadakan’ misalnya, bukan saja tak akan mampu menjalankan fungsi dan peran kepemimpinan, justru bisa merusak lembaga/negara yang dipimpin. Hal ini bisa terjadi akibat ia tak punya kapasitas serta kapabilitas kepemimpinan. Pada gilirannya, ia hanya berorientasi untuk sekadar memuaskan (siapa) yang menempatkan, ataupun ‘beronani’ —menyenangkan diri sendiri— melalui pencitraan, mengejar popularitas, viral, dan seterusnya tetapi miskin hakiki.
Paling urgen tingkat bahayanya, ketika kekuasaan pemimpin dadakan dimanfaatkan pihak luar, ataupun ia sendiri memanfaatkan kekuasaan di luar tujuan institusi/organisasi/negara.
Kalau sudah begini, siapa yang salah dan bertanggung jawab?
Memang tak boleh hitam putih saling menyalahkan, namun beningnya pikir melintas, yaitu:
1. Bila ditinjau dari hukum sebab-akibat, secara hakiki yang bertanggung jawab ialah orang yang menunjuk, siapa menempatkan, dan/atau entitas mana memilihnya (kalau dalam politik praktis);
2. Kesalahan kedua pada orang yang ditunjuk sebab ‘merasa bisa’. Padahal, tidak mudah jadi pemimpin. Ya. Pemimpin itu menderita, kata quote tua Belanda. Pepatah Jawa juga mengatakan: ‘Ojo rumongso biso, ning sing biso rumongso‘ (jangan merasa bisa, namun bisa merasakan).
3. Ada yang keliru dalam ‘sistem’. Sebab, pada sistem yang riba misalnya, ulama sepuh pun akan bertindak riba jika ia masuk ke sistem tersebut. Khusus poin ini perlu kajian lebih dalam serta strategis.
Inilah fenomena kepemimpinan di era reformasi terutama jelang kontestasi 2024. Orang berlomba mengejar jabatan demi kekuasaan, tetapi tak punya (melihat diri) kapasitas dan kompetensi. Terlihat banyak pemimpin, namun hakikinya bukanlah pemimpin. Kondisi ini menimbulkan suatu ekosistem yang tak sehat karena mengabaikan merit system, contoh pada institusi kedinasan. Atau, karier dan fungsi pimpinan tak diraih melalui tata cara yang benar, miskin kapasitas dan kompetensi, hanya berbasis like and dislike, jalinan inner circle, dan lain-lain. Giliran merebak praktik KNK yakni Kolusi dan Nepotisme guna melancarkan Korupsi, maka terciptalah ekosistem yang buruk. Ibarat kolam ikan yang butek (keruh), publik tidak bisa melihat apa isi kolam. Entah buaya, ular, biawak dst siapa saling memangsa satu sama lain. Ketika, diisi ikan yang baik pun, akan dimangsa beramai-ramai, dijadikan musuh bersama.
Umpama kolam itu negara, dan isi kolam adalah warga negara, maka krisis kepemimpinan sebagaimana diurai pada catatan ini, jika dibiarkan berlarut tanpa treatment yang tepat dapat memangsa pemilik kolam sendiri (rakyat).
Mendekati kontestasi 2024 ini, potret politik (praktis) di republik ini seperti dejavu dengan sanepo leluhur tempo doeloe, “Sing tuo ora ngerti tuone, sing nom kurang toto kromone“. Tak perlu abstraksi atas sanepo dimaksud, boleh dirasakan sendiri.
Karenanya, rakyat harus cerdas lagi cermat dalam menentukan pemimpin bangsa ke depan. Jangan tertipu dengan segala pencitraan, jangan terpesona janji-janji setinggi langit. Teliti sebelum memilih, gunakan sanubari, logika yang baik, solat wengi yang benar meminta petunjukNya, agar jangan kucing garong terpilih.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com