Aksi Spionase AS dan Barat di Bidang Cyber Lebih Canggih Daripada Cina dan Rusia

Bagikan artikel ini

Ada indikasi kuat bahwa berdasarkan laporan bersama antara China’s National Computer Virus Emergency Response Centre (CVERC) dan Cybersecurity Firm 360, badan intelijen AS CIA secara agresif telah menyintas atau membajak Cina dan beberapa negara lainnya seperti Korea Selatan dan Ukraina, dengan menggunakan teknologi canggih (advance cyber weapons). Dengan tujuan untuk mendorong meletusnya revolusi berwarna (color revolution) di pelbagai belahan dunia, sehingga terbentuklah pemerintahan yang pro kebijakan luar negeri AS atau setidaknya menjadi negara sahabat Washington.

Bagaimana modus atau cara yang ditempuh CIA untuk mematai-matai negara-negara yang dipandang sebagai musuh potensial AS? Berdasarkan bocoran yang diperoleh oleh CVERC dan Cybersecurity Firm 360, CIA sejak 2015 telah membangun jaringan persenjataan cyber berskala global a global network of cyber weapons). Menurut bocoran tersebut CIA bahkan telah mematai-matai dan menyadap saluran komunikasi internal negara-negara yang termasuk sekutu AS.

Hal tersebut sebenarnya sama sekali tidak mengejutkan. Sejak Edward Snowden membocorkan Program Prisma, terungkap bahwa pemerintah Amerika Serikat (AS) telah menggunakan sarana komputer dan internet untuk melancarkan cyber war terhadap negara-negara pesaingnya seperti Cina dan Rusia.

Baca: Program Rahasia PRISM Melibatkan Silicon Valley

Menurut bocoran informasi yang dirilis oleh Edward Snowden, mantan kontraktor National Security Agency, Dinas Keamanan Nasional AS yang lebih besar skalanya dari CIA, program rahasia ini rupanya memiliki logo yang terinspirasi oleh album grup music Pink Floyd yang cukup terkenal pada decade 1970-an, Dark Side of the Moon. Apa informasi ekslusif Snowden yang dibocorkan yang dia sebut sebagai Program Rahasia PRISM itu?

Antara lain menginformasikan adanya persetujuan perusahaan-perusahaan di Silicon Valley untuk menjadi mitra bisnis NSA. Bahkan perusahaan pertama yang menyediakan materi yang dibutuhan untuk Program PRISM itu adalah Microsoft. Perjanjian Kerja Sama ditandatangani pada 11 September 2007, tepat 6 tahun setelah peristiwa 9/11.

Selanjutnya disusul dengan Yahoo pada Maret 2008, dan Google pada Januari 2009. Lalu dengan Facebook pada Juni 2009. PalTalk pada Desember 2009, YouTube pada September 2010. Skype pada Februari 2011 dan AOL pada Maret 2011.

Adapun Apple sempat mengulur-waktu selama 5 tahun, namun akhirnya menandatangani juga pada Oktober 2012. Setahun setelah Steve Job meninggal dunia. Menurut Snowden dalam keterangannya kepada Luke Harding, yang kemudian dibukukan dengan judul  “The Snowden Files,” program super-rahasia PRISM ditujukan untuk membantu komunitas intelijen AS mendapatkan akses yang luas untuk informasi digital seperti email, postingan di Facebook, dan pesan singkat lainnya.

Bagaimana modusnya? Menurut Snowden berdasarkan slide yang dia presentasikan, data itu diambil langsung dar server sembilan perusahaan penyedia layanan internet di AS seperti Google, Yahoo dan lain-lain. Dengan kata lain beberapa perusahaan seperti Google, Facebook, Apple dan Microsoft, pada prakteknya telah menggelar karpet merah untuk NSA. Artinya,  mereka memberikan akses langsung kepada NSA untuk memperoleh salinan lengkap semua sistem yang kita pakai untuk berkomunikasi.

Disini siasat NSA dengan mudah terbaca. Dengan melibatkan kesembilan perusahaan penyedia layanan internet tadi, NSA tidak perlu secara langsung mengawasinya, sehingga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Menariknya lagi, ketika program PRISM ini dilancarkan terhadap target yang telah ditetapkan, FBI dengan peralatan canggihnya, segera ditempatkan di perusahaan teknologi untuk menyadap informasi yang diperlukan.

Dari penelisikan terhadap keterangan Snowden tersebut, maka tudingan Cina terhadap aktivitas spionase CIA melalui apa yang disebut jaringan persenjataan cyber berskala global, menjadi sangat masuk akal.

Masih ada satu lagi modus operandi CIA dalam aksi spionasenya lewat jaringan persenjataan cyber berskala global. Menurut Snowden, bukan saja CIA, bahkan melibatkan juga National Security Agency (NSA).

Menurut Snowden berdasarkan slide yang dia presentasikan, Sembilan perusahaan penyedia layanan internset tersebut di atas,  memberikan akses langsung kepada NSA untuk memperoleh salinan lengkap semua sistem yang kita pakai untuk berkomunikasi.

Dengan melitban kesembilan perusahaan penyedia layanan internet tadi, NSA tidak perlu secara langsung mengawasinya, sehingga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Menariknya lagi, ketika program PRISM ini dilancarkan terhadap target yang telah ditetapkan, FBI dengan peralatan canggihnya, segera ditempatkan di perusahaan teknologi untuk menyadap informasi yang diperlukan.

D sinilah upaya AS untuk mempertahankan hegemoni global di bidang cyber nampak jelas. Misal, NSA telah melecehkan National Institute of Standard and Technology (NIST). Salah satu dokumen Snowden mengungkapkan bahwa pada 2006 lalu, NSA membuka pintu belakang ke dalam salah satu standar enkripsi utama NIST. NSA kemudian meminta badan standard internasional lainnya, dan seluruh dunia, untuk mengadopsinya. Dengan begitu, NSA menjadi editor tunggal.

Salah satu file Snowden menunjukkan cara NSA menerobos sistem enkripsi telepon 4G. NSA kemudian menyasar online protocol untuk pengamanan transaksi bisnis dan perbankan seperti HTTPS dan Secure Sockers Layer (SSL). Sepertinya NSA ingin menciptakan pasar enkripsi dunia dan berharap dalam waktu dekat memperoleh akses ke trafik data melalui hub bagi penyedia layananan komunikasi dan ke sistem utama komunikasi peer-to-peer suara dan teks. Dan ini berkaitan dengan Skype.

Segi lain dari sepak-terjang badan intelijen AS yang bernama National Security Agency (NSA) di bidang cyberspace ternyata tidak hanya sebatas memata-matai negara-negara yang dipandang sebagai musuh potensial atau pesaing seperti Republik Rakyat Tiongkok dan Rusia. Dokumen Edward Snowden yang dibocorkan pada 2013 lalu menyingkap operasi spionase NSA memata-matai secara intensif salah satu negara sekutu andalan AS pasca Perang Dingin, Jerman dan Prancis.

(Baca Luke Harding, The Snowden Files, Kisah Pembocoran Dokumen Paling Rahasia Sepanjang Sejarah.  Jakarta: Gagas Bisnis, 2015). 

Terungkapnya dokumen Snowden mengirim sebuah pesan tersirat yang cukup penting dalam membaca konstelasi global saat ini. Pada satu sisi, gencarnya penyadapan NSA terhadap Cina dan Rusia memang merupakan hal yang patut dimaklumi mengingat posisi kedua negara tersebut sebagai lawan ideologis maupun pesaing antar sesama negara adikuasa. Namun fakta lain dari bocoran Snowden tersebut mengungkap bahwa NSA ternyata juga menyadap kedutaan negara sahabat yang jumlahnya, menurut file bocoran Snowden pada September 2010, mencapai 38 negara.

Bahkan Uni Eropa, Italia dan Yunani pun jadi sasaran aksi spionase jaringan cyber berskala global AS. Termasuk juga Jepang, Meksiko, Korea Selatan, dan Turki, tak luput dari sasaran operasi mata-mata NSA. Padahal mereka itu negara-negara yang termasuk sekutu AS. Namun hal ini juga memberi sinyal bahwa ada keretakan dan kerentanan di kalangan negara-negara sekutu AS itu sendiri sehingga merasa perlu jadi target penyadapan badan intelijen CIA dan NSA.

Bagaimana cara NSA mendayagunakan cyberspace sebagai mesin mata-mata? Melalui Program DROPMIRE, NSA memasang penyadap di dalam mesin faks kantor Uni Eropa di Washington. Badan intilejen AS itu juga mengincar gedung Justus Lipsius Uni Eropa di Brussels, di mana para pemimpin dan menteri Eropa kerap mengadakan pertemuan. Menarik bukan?

 

Lantas bagaimana ceritanya sehingga AS merasa perlu menyadap Prancis dan Jerman? Meski termasuk sekutu strategis AS dan sesame anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), namun di mata Washington kedua negara Eropa Barat tersebut hanya masuk kategori  fair game. Artinya, meskipun sekutu dekat, kedua negara tersebut tidak termasuk Five Eyes, klub negara-negara yang berbahasa Inggris seperti Australia, Selandia Baru dan Inggris. Jadi bukan sekutu solid.

Baca:

Di Balik Aksi Spionase Cyberspace NSA: Masih Kuatnya Ambisi Global AS-Inggris Sebagai Kekuatan Unipolar

Dan kalau mencermati konstelasi global saat ini yang mana kerjasama global mulai bergeser dari Unipolar ke Multi-Polar, nampak jelas rapuhnya persekutuan AS dan beberapa negara Eropa Barat terutama Prancis dan Jerman. Bahkan menurut catatan NSA, Prancis dan Jerman dipandang sebagai mitra asing ketiga. Bahkan Jerman berada di level teratas dalam daftar negara yang dimata-matai oleh AS, sama seperti Cina, Irak, dan Arab Saudi.

Melalui harian terkemuka Prancis Le Monde, koran itu mengungkapkan bahwa AS telah memata-matai Prancis dalam skala besar. Selama 30 hari, yaitu antara 10 Desember 2012 sampai 8 Januari 2013, NSA telah mencuri data 70,3 juta panggilan telepon di Prancis. Masih menurut koran itu, NSA melakukan penyadapan hingga 3 juta data per hari di Prancis, 7 juta pada 24 Desember 2012 dan 7Januari 2013.

Berdasarkan file bocoran Snowden yang kemudian diserahkan kepada program berita Brazil Fantastico, menunjukkan bahwa NSA berusaha menerobos jaringan virtual milik Petrobras. Dalam melakukan aktivitasnya, NSA menggunakan program rahasia bersandi BLACKPEARL.

Seturut dengan bocoran dokumen Snowden, dokumen lain milik badan intelijen Inggris Government Communication Headquarters (GCHQ) yang merupakan sekutu strategis NSA, melalui file berjudul “network exploitation” mengungkapkan bahwa AS dan Inggris secara rutin membidik jaringan privat milik perusahaan energi, organisasi keuangan, perusahaan penerbangan, dan pemerintah asing.

Hal ini menyingkap hal terburuk di balik operasi mata-mata NSA tersebut. Bahwa hal ini merupakan bukti nyata adanya aksi spionase industri AS di pelbagai belahan dunia. Padahal selama ini pemerintah AS selalu mengecam keras spionase ekonomi dan industri yang dilakukan Cina maupun Rusia. Ternyata skala operasi spionase AS melalui cyber jauh lebih besar dan canggih skala aktivitasnya dalam pengumpulan data Informasi lintas negara, yang tentunya juga berskala global.

Jadi kalau selama ini AS selau menyebarluaskan opini bahwa Cina dan Rusia dalam melancarkan perang cyber terutama melalui hacking maupun aksi spionase lewat perang cyber, ternyata AS malah jauh lebih canggih dibandingkan Cina dan Rusia.

Maka itu negara-negara berkembang termasuk Indonesia, harus menggalang dukungan melalui forum-forum internasional, dan mewaspadai tawaran dan prakarsa kerjasama internasional yang melibatkan perusahaan-perusahaan berskala global yang bergerak di bidang teknologi cyber namun erat kaitannya dengan pemerintah AS utamanya dari otoritas intelijen seperti CIA dan NSA.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com