“Pemberontakan Wagner” (Bagian 1)

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Geopolitik
Siapapun orang, kelompok, golongan dan/atau bangsa, terutama kaum nasionalis —nasionalisme itu ‘baju’ semua bangsa— tatkala melihat ataupun mendengar pemberontakan Wagner Group, sebuah Private Military Company (PMC) alias tentara bayaran asal Rusia, niscaya nelangsa lagi gregeten. Betapa di tengah gemuruh peperangan hibrida (hybrid warfare) antara Rusia versus Barat lewat Ukraina sebagai medan tempur (proxy war)-nya, kelakuan PMC Wagner yang disewa Rusia terkait ‘operasi militer khusus’-nya Putin di Ukraina itu ibarat menikam dari sisi belakang. “Menggunting dalam lipatan.” Itulah narasi yang tampak di permukaan.
Betapa di luar dugaan serta menabrak kelaziman selama ini. Apapun dalih dan modus, atau entah isu yang melatari peristiwa tersebut, dunia tidak mau tahu. Pengkhianat! Ucap Putin dalam satu pidatonya. Padahal, Wagner Group merupakan paramiliter andalan Moskow dalam mendukung operasi militer khusus di Ukraina, terutama ketika mengusir pasukan Ukraina di wilayah Cremea, Donbass dan lain-lain.
Muncul stigma, selain Wagner melanggar komitmen, mencederai profesionalisme selaku tentara swasta (bayaran), dan tindakan Wagner mengepung Rostov (24/6), markas militer Rusia, bahkan sempat long march ke Moskow, namun gagal, merupakan bentuk pengkhianatan kepada bangsa dan negara Rusia.
Mengapa demikian?
Ketika kontrak telah diteken antara PMC Wagner – Dephan Rusia, secara hakiki Wagner sudah menjadi ‘bagian elemen’ dari Kepentingan Nasional Rusia, sebagaimana ia dulu disewa oleh Syria (2014), Libya (2016), dan disewa Mali guna memerangi kelompok separatis. Ini terlepas para anggota Wagner direkrut dari beragam latar belakang/dari berbagai negara.
Katakanlah, pengkhianatan Wagner, PMC yang didirikan oleh Yevgeny Prigozhin, kriminal kelas teri dan eks penjual hotdog. Itu sepintas masa lalu Prigozhin. Berbasis data dan jejak digital, bahwa faktor ‘jasa’ Putin, ia mampu bertransformasi dari penjual hotdog menjadi ‘panglima’ (pimpinan PMC Wagner). Maka sungguh tidak masuk akal bila Prigozhin ‘menikam’ mentor sekaligus tuan yang telah membesarkan dari keterpurukan masa lalu. Selain ujud dari pengkhianatan, juga durhaka. Tetapi, forget it. Kita tak membahas personal. Namun, menelaah sedikit peristiwa tersebut dari perspektif geopolitik guna melihat apa yang sesungguhnya terjadi, bukan hanya apa yang terjadi (di atas permukaan).
Dari sisi pandang geopolitik, sikap dan pemberontakan PMC Wagner sudah memasuki apa yang disebut frontier serta (dimensi) keamanan negara dan bangsa.
Ya, frontier merupakan batas imajiner dari dua negara. Poin intinya, karena adanya pengaruh asing dari seberang batas (boundary), akhirnya melemahkan pengaruh pusat terhadap daerah/wilayah; sedangkan keamanan negara dan bangsa merupakan peristiwa yang telah mengganggu keamanan serta membahayakan kedaulatan negara. Nah, dua teori/dimensi geopolitik di atas akan digunakan sebagai pisau bedah mengulas pemberontakan Wagner.
Putin bukanlah ahli tempur di medan perang terbuka. Ia memang tidak seperti Napoleon Bonaparte, misalnya, atau tak sama dengan Panglima Besar Sudirman, ataupun Jenderal Besar Nasution, ahli perang gerilya, dan lain-lain. Putin itu intellegent minded, mantan KGB di era Soviet tempo doeloe. Julukan paling pas terhadapnya adalah jago geopolitik. Perbandingannya, mungkin lebih mirip ke Adolf Hitler, atau Halford Mackinder, hanya berbeda pakem (filosofi) geopolitik. Kalau keduanya (Hitler dan Mackinder) cenderung mengamalkan geopolitik ofensif melalui ‘teori pembenar’, sedangkan Putin terlihat soft. geopolitik defensif. Lebih condong pengamalan teori ‘berdikari’-nya Bung Karno.
Munculnya pemberontakan Wagner, tidak langsung disikapi secara militer oleh Putin. Namun, ia memainkan strategi geopolitik dimana unsur hard power dan smart power ada di dalamnya. Dalam geopolitik, apa yang dilakukan Wagner telah merusak 2 (dua) dimensi Geopolitik Rusia seperti diulas sekilas di atas, yakni 1) keamanan negara dan bangsa, dan 2) frontier. Memang belum merambah ke dimensi inti (living space atau lebensraum) dalam geopolitik, tetapi dua dimensi tersebut cukup rawan bila dibiarkan berlarut, sebab akan menebal, melebar serta meluas, dan gilirannya dapat mengguncang kedaulatan negara. Mirip Sipadan dan Ligitan. Pembiaran adanya frontier oleh pusat, gilirannya menebal, meluas dan akhirnya dua pulau tersebut pun lepas dari NKRI.
Kalau dari dimensi keamanan negara dan bangsa, sudah jelas, tindakan Wagner mengganggu stabilitas keamanan dan kedaulatan Rusia. Sehingga beberapa kedutaan asing di Rusia termasuk Indonesia, telah mengeluarkan himbauan kepada warganya untuk tidak keluar rumah jika tak ada keperluan mendesak. Nah, pada dimensi frontier —melemahnya pengaruh pusat di wilayah akibat pengarus asing— ini yang kudu segera ditangani secara seksama, bahkan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Langkah cerdas Putin mengisolasi PMC Wagner ke Belarus, negeri tetangga pro Rusia, cukup efektif dan jitu. Kenapa? Sebab, apabila Wagner diberi ruang di Rusia, ataupun dibiarkan berkeliaran di Doneth dan Dombass —wilayah Ukraina yang telah masuk Rusia— maka frontier tersebut bisa menebal, melebar, lalu meluas. Rawan.
Jadi, langkah Putin mengisolasi PMC Wagner ke Belarus merupakan langkah smart lagi akurat. Selain menghindari pertumpahan darah di internal, juga menghindari meluasnya frontier pada teritori Rusia. Akhirnya, tindakan Wagner boleh disebut dengan istilah ‘pemberontakan yang gagal’, karena baru pada tahap mengepung Rostov, dan sempat long march ke Moskow tetapi ‘ada kekuatan’ yang mampu membelokkan manuvernya ke negeri tetangga (Belarus). Belum ada darah yang tumpah di jalanan.
Sudah jamak di dunia militer dan budayanya, bahwa hirarki, disiplin, loyalitas, dan jiwa korsa dikerjakan secara ketat lagi keras bahkan dianggap ‘nafas’ sehari-hari. The way thing are done around here. Apa yang dilakukan tak jauh dari itu-itu juga.
Pertanyaannya ialah, jika merujuk budaya militer di atas, apakah pemberontakan Wagner memang realitas pengkhianatan, atau bentuk kedurhakaan Prigozhin terhadap Putin? Atau, jangan-jangan justru false flag operation alias operasi bendera palsu mengingat kecerdasan Putin dalam mengamalkan pemahaman geopolitik?
Bersambung ke bagian 2
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com