Kunjungan Nancy Pelocy, jubir parlemen AS ke Taiwan direspon Cina dengan “latihan” perang di delapan lokasi terdekat. Dua di Cina daratan Funzhu dan Hongzhu serta enam titik mengelilingi pulau Taiwan.
Seperti halnya orang Iran, orang Cina adalah bangsa pedagang, mereka tentu akan merespon tindakan yang disebutnya melanggar kedaulatan negara tetapi tetap membuka peluang untuk negosiasi. Wilayah negosiasi ini ditunjukan dengan menaikkan level persiapan latihan menjadi latihan intensif.
Kehadiran militer Tentara Pembebasan Cina mengepung Taiwan adalah cara menekan Taiwan melalui ekonomi. Security insurance bagi kapal-kapal dan pesawat pengangkut kargo mesti membuat harga-harga komoditas meningkat. Namun demikian, sekali lagi Cina adalah bangsa pedagang, mereka tidak akan membiarkan perekonomian mereka yang bagus terganggu dengan persoalan yang selalu Presiden Xin sebut “urusan dalam negeri”.
Cina tentu telah menghitung panjang langkah provokatif AS.
Pertama, mereka hanya melihat AS sekedar ingin mengetahui rule of enggagement (ROE’s) baru dari Cina ketika mereka merespon aksi secara militer.
Kedua, AS membutuhkan dalih untuk mengirim pasukan ke Laut Cina Selatan. Mereka tidak cukup puas dengan respon ASEAN yang lambat dan tidak terlalu konfrontatitf dengan Cina. AS dan sekutu mereka Inggris serta Australia, membutuhkan tetangga yang membenci Cina Tentu saja Cina memahami hal ini
Ketiga, Cina telah memasukkan Singapura sebagai negara yang kurang bersahabat. Sebentar lagi Brunei atau Malaysia akan melakukan hal yang sama. Sebaliknya Indonesia pun akan dibakar dengan isu investasi aseng. Mendiskreditkan investasi Cina sebagaimana AS dan Inggris menyalahkan Cina sebagai biang kebangkrutan Srilangka. Cina tentu perlu menguji relasinya dengan negara-negara di ASEAN. Mereka mungkin akan sedikit keras tetapi sekali lagi tetap dalam ukuran terkontrol.
Andi Hakim, Pengkaji Kebijakan Publik. Saat ini masih belajar di Lee Kuan Yew School of Public Policy
