Membaca Isu Dwi Kewarnegaraan dari Perspektif Lebensraum

Bagikan artikel ini

Sesi Belajar Geopolitik

Inti geopolitik adalah ruang (living space) atau lebensraum, kata Frederich Ratzel. Tanggapan atas teori di atas, muncul pandangan cerdas di abad ke-19: “Bahwa manusia butuh negara dan negara membutuhkan ruang hidup.” Ujud implementasinya seperti apa? Ya. Bagi negara-negara yang memiliki persoalan akut terkait demografi atau kependudukan seperti India misalnya, atau Amerika (AS), Indonesia, Cina apalagi, maka permasalahan demografi harus segera dipecahkan. Jika tidak — ia semakin kompetitif serta akumulatif dan merongrong wibawa negara dari sisi dalam akibat ledakan penduduk dan pencari kerja.

Konsekuensi geopolitik, “jalan pintas” bagi negara ialah melakukan cara ekspansif guna mencari ruang hidup (baru) bagi warganya. Ini pra anggapan yang sudah jamak di dunia geopolitik. Sekali lagi, manusia butuh negara dan negara membutuhkan living space alias lebensraum (ruang hidup). Demikian pra anggapan berbasis teori Ratzel: “Bahwa hanya bangsa unggul yang layak bertahan dan melegitimasi hukum ekspansi“.

Dan pada nomenklatur geopolitik, melegitimasi hukum ekspansi ini bisa disebut “geostrategi”. Penjelasan singkat geostrategi ialah, segala upaya serta cara dari negara guna menggapai geoekonomi berbasis permasalahan internal. Paman Sam, contohnya, ketika minyak menjadi masalah urgen karena produksinya hanya mampu menyediakan 40% untuk konsumsi rakyatnya, maka minyak bagi AS adalah masalah urgen, lalu didudukkan sebagai kepentingan nasional bahkan doktrin negara — the power oil— bagi siapapun Presiden AS. If you would understand world geopolitics today, follow the oil (Deep Stoat), itu salah satu clue untuk mengendus perilaku geopolitik Paman Sam di muka bumi.

Anatomi geoekonomi, misalnya, setiap masalah urgen maka dudukkan dahulu sebagai kepentingan nasional dimana sebagai könsekuensinya bahwa setiap warga negara dan segenap entitas dalam negara wajib hukumnya SATU SUARA untuk satu derap langkah dan juang. Terkait dengan topik di atas, bagan vertikalnya adalah: geoekonomi – kepentingan nasional – masalah akut demografi/kependudukan.

Geopolitik mengajarkan, selain tata cara ekspansionisme guna meluaskan lebensraum secara hard power melalui power militer, salah satu cara soft power adalah “dwi kewarganegaraan”, misalnya, kendati ada cara lain yang juga senyap, smart, dan bersifat nirmiliter (asimetris). Lain waktu dibahas.

Pengertian dwi kewarganegaraan ialah seseorang memiliki dua kewarganegaraan pada waktu bersamaan. Itu poin inti. Dan status itu bisa terjadi karena dua alasan klasik, antara lain:

Pertama, dwi kewarganegaraan bersifat otomatis tatkala satu diantara orang tua memiliki kewarganegaraan di negara yang menjalankan dwi kewarganegaraan;

Kedua, melalui permohonan, misalnya, seseorang menikah dengan orang dimana negara asalnya melegalkan konsep dwi kewarganegaraan.

Apa keuntungan dan kerugiannya?

Ya. Ia mendapatkan dua fasilitas sosial, dua hak suara (vote) dalam pemilu, bisa bekerja dan sekolah tanpa perlu syarat macam-macam tergantung hukum yang berlaku. Itu sisi keuntungan. Sedang sisi kerugiannya, harus membayar pajak dua kali, proses pengajuan sangat lama dan mahal, susah mengakses informasi serta sulit mencari pekerjaan dan lain-lain.

Lalu, apa manfaat diberlakukan dwi kewarganegaraan?

Secara personal mungkin ada, karenanya banyak yang mengajukan status itu baik secara suka rela maupun terpaksa (?). Tetapi bagi negara, mungkin TIDAK ADA manfaatnya kecuali dwi kewarganegaraan adalah suatu geostrategi terkait hidden agenda yang hendak diraih oleh negara tertentu.

Secara hakiki, dwi kewarganegaraan justru memberatkan terutama negara-negara berkembang dengan alasan dan asumsi sebagai berikut:

Asums ke-1: Sedang belum berlaku dwi kewarganegaraan saja, Indonesia kerap menjadi sasaran kejahatan yang dilakukan warga negara asing. Apalagi bila nanti berlaku, mungkin tindak pidana kian marak terutama kejahatan transnasional seperti narkoba, human trafficking, radikalisme impor dan seterusnya;

Asumsi ke-2: Menjamurnya perusahaan asing yang secara hitungan kasar, mungkin sekitar 70-an persen profitnya lari keluar. Dengan dwi kewarganegaran maka profit yang lari justru lebih banyak lagi.

Asumsi ke-3: Konsep dwi kewarganegaraan bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila;

Asumsi ke-4: Membuka pintu bagi kepentingan asing untuk “menduduki teritorial” melalui soft power.

Ketika kini muncul hingar-bingar isu dwi kewarganegaraan di Indonesia, maka perlu ada kajian secara serius serta mendalam, kalau perlu ditolak secara tegas. Mengapa? Selain tidak ada keuntungan bagi Indonesia, juga merujuk kajian geopolitik di atas bahwa isu tersebut disinyalir merupakan hidden agenda dan geostrategi dari asing yang ingin menancapkan “kuku”-nya secara permanen, masive dan lestari.

Timbul retorika menarik di ujung catatan ini: “Seandainya Indonesia cuma penghasil gaplek atau singkong belaka, mungkinkah isu dwi kewarganegaraan akan muncul?”

End

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com