Tema Geopolitik Abad Ke-21

Bagikan artikel ini

Usai Cold War (1947-1991) yang ditandai pecahnya Uni Soviet, geopolitik memberikan clue terhadap publik global tentang situasi ke depan pasca perang dingin. Poin clue-nya begini: “Bahwa publik global akan dihadapkan pada ancaman (bentuk) baru. Dan ancaman baru tersebut bukanlah serangan militer dari/oleh suatu negara terhadap negara lain, tetapi ancaman kejahatan yang dilakukan oleh non-state actor alias aktor nonnegara”.

Pada dinamika geopolitik lanjutan usai perang dingin (Cold War), ternyata clue tersebut nyata terbukti, misalnya, dominannya peran non-state actors dalam kancah geopolitik baik global, regional maupun nasional melalui kartel atau korporasi raksasa terkait hajat hidup orang banyak; atau peran NGO dalam menebar isu dan opini, contoh kasus, terbitnya Resolusi PBB No 1973/No Fly Zone yang meluluh-lantakkan Lybia adalah hasil framing media yang ditebar 70-an NGO pro asing di Lybia; atau berperannya individu – individu “sakti” semacam Bill Gate, George Soros dan lain-lain. Atau, pelobi yang mampu mempengaruhi kebijakan negara, ulah separatis yang di-endorse asing, dan lain-lain. Entitas di atas adalah wajah non-state actors sehari-hari.

Tampaknya, awal abad ke-21 ini, tema (geopolitik) global mulai bergeser dari hegemoni corporate supremacy yang diremote oleh non-state actors, kembali ke state supremacy yang diawaki state actor atau aktor negara. Dan perubahan dimaksud bukanlah pergeseran kapitalisme liberal ke komunisme, bukan! Tetapi, negara kembali berperan sebagai prasarana/alat utama bangsa dalam rangka menggapai tujuan dan cita-cita.

Lalu, apa indikatornya?

Kamis (22/10/2020, GridHot.ID) Vladimir Putin menyatakan, bahwa masa kejayaan Amerika Serikat (AS) dan Rusia sudah berakhir. Dua negara tersebut bukan lagi negara paling penting di dunia. Menurut Putin, Cina dan Jerman kini menuju status superpower.

Melansir Reuters, bahwa peran AS telah berkurang seperti halnya Inggris dan Prancis. Sebaliknya, peran Beijing dan Berlin —dalam hal bobot ekonomi dan (geo) politik— sedang menuju status adidaya. Putin mengatakan, jika Washington tidak siap untuk membahas masalah global dengan Moskow, Rusia siap berdiskusi dengan negara lain.

Hai, apakah itu berarti jika AS menolak dialog dengan Rusia maka ia akan ditinggal?

Washington tidak bisa lagi mengklaim eksepsionalisme dan mempertanyakan mengapa mereka menginginkannya, ujar Putin. Sekilas tentang eksepsionalisme ialah sebuah pandangan bahwa negara, masyarakat, lembaga, atau era bersifat eksepsional (tidak biasa atau hebat).

Agaknya pandangan Putin seperti menerangkan suatu isyarat, apabila AS tidak mampu mereformasi dirinya di tengah bergeseran (tema) geopolitik, ia bisa menjadi “masa lalu” sebagaimana Uni Soviet tempo doeloe. Pecah berkeping menjadi beberapa negara kecil. Ini indikator pertama terkait berubahnya “tema geopolitik” pada abad ke-21.

Indikator kedua, terbitnya Silver Notice dalam Sidang Interpol tanggal 7-10 November 2016 di Bali (baca artikel: Antara Silver Notice, UU MLA dan Revolusi Moral). Ada pesan tersirat atas terbitnya Silver Notice dan khusus di Indonesia, terbit pula UU MLA, yaitu: “Bebaskan negara (dan dinamika bernegara) dari dominasi para pemilik modal, bandit kejahatan keuangan”. Poin intinya, kembalikan kedaulatan negara ke rakyat (dari dominannya kepentingan non-state actors), dan kembalinya negara menjadi alat rakyat dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Dan kegaduhan-kegaduhan geopolitik selama ini, lebih disebabkan manuver dari para pemilik modal kuat yang sibuk survive (bertahan) dari tekanan gerak perubahan akibat pergeseran tema global. Artinya apa, kemungkinan modalnya sudah “cekak” dihantam pandemi dan utang.

Jadi, kegaduhan yang terjadi di permukaan bukanlah “peperangan” akibat berubahnya tema geopolitik, namun lebih kepada proses eksekusi para bandit keuangan kendati tanpa letusan peluru. Jadi, jangan dikira gegap dinamika seolah-olah akibat manuver non-state actors melawan situasi yang menjepitnya, tidak! Bukan! Tetapi kegaduhan yang berlangsung lebih kepada prosesi sakaratul maut menuju “kematian” (peran)-nya.

End

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com