Membaca Konflik Myanmar dari Perspektif Geopolitik

Bagikan artikel ini
Pokok-Pokok Pikiran (Geopolitik) ala Barat
Konflik Syria sudah berlangsung semenjak 2011-an —sekitar 10 tahun— dan belum ada tanda-tanda berakhir. Entah sudah berapa jumlah jiwa melayang, korban luka, berapa kerugian material akibat peperangan di Syria. Tak terkira.
Beberapa retorika muncul terkait penyebab, antara lain:
1. Apakah perang berlarut di Syria disebabkan konflik (antarmazhab) antara syi’ah versus sunni;
2. Apa keuntungan Amerika Serikat (AS) dan sekutu jika ikut campur tangan urusan syi’ah-sunni; pun demikian dengan Rusia dkk, apa keuntungan jika peperangan cuma menyoal pertikaian antarmazhab dalam agama?
Retorika memang tidak untuk dijawab. Let them think let them decide. Silahkan putuskan sendiri. Clue-nya adalah: “Bahwa syi’ah versus sunni hanya framing media”. Ia cuma isu (pintu) pembuka belaka.
Geopolitik mengajarkan, tidak ada perang antaragama, tidak ada perang suku, konflik ras dan seterusnya melainkan karena faktor geoekonomi.
Ya. Geoekonomi pada abad ke-19 memang soal rempah-rempah sebagaimana dulu asing menjajah nusantara. Namun, memasuki abad ke-20 ke atas makna geoekonomi bergeser menjadi emas, minyak dan gas bumi.
Dan tidak dapat dipungkiri, penyebab utama peperangan di Syria ialah sengketa geoekonomi. Selain memperebutkan energi —minyak dan gas— juga faktor (geo) posisi Syria ada di “titik simpul” Jalur Sutra yang membentang dari perbatasan Cina/Rusia – Asia Tengah – Timur Tengah – Afrika Utara hingga Maroko. Itu garis bentang kawasan Jalur Sutra. Jalur “basah” sekaligus jalur legenda bagi militer (dan ekonomi) dunia. Garis yang memisahkan antara Dunia Barat dan Dunia Timur.
Maksud “titik simpul” ialah pertengahan jalur, misalnya, bila ke arah utara akan sampai ke Eropa; jika ke Barat menuju Afrika Utara hingga Maroko, ke timur menuju Asia Tengah dan Timur Tengah dan lain-lain.
Nah, takdir geopolitik Syria berada di titik simpulnya. Penggal pertengahan pada jalur legenda tersebut.
Selanjutnya daripada itu, selain Syria sendiri kaya akan energi, juga faktor geoposisi —takdir geopolitik— yang menggiurkan karena merupakan lintasan hampir semua pipa minyak dan gas antarnegara bahkan lintas benua.
Syahdan APBN Syria yang berasal dari “fee” lintasan pipa —konon per barel/5 dolar AS— sudah cukup lumayan besar.
Makanya, Arab Spring dahulu diletuskan (oleh Barat) dimulai dari Tunisia, lalu bergeser ke Libya, Yaman, Mesir termasuk Syria — dimana semua negara target merupakan kawasan Jalur Sutra terutama penggal Afrika Utara dan Timur Tengah yang kaya akan energi.
Arab Spring tak lain ialah tata ulang kekuasaan oleh Barat secara nirmiliter (asimetris) di penggal Jalur Sutra meskipun untuk Lybia dan Syria out of control. Tak bisa ditundukkan secara nirmiliter. Tetapi, Lybia dianggap “selesai” via Resolusi PBB No 1973/No Fly Zone dan SDA-nya kini jadi bancaan asing, sedang Syria hingga kini terus melawan bahkan mampu mengubah kebijakan luar negeri Paman Sam, khususnya di era Joe Biden dengan penarikan pasukan dari Timur Tengah.
If you would understand geopolitics today, follow the oil (Deep Stoat, 2003). Jika ingin memahami geopolitik hari ini, ikuti aliran minyak. Kenapa? When it comes to oil is 90% about politics and 10% is about oil itself (Guilford, 1979). Membahas minyak 90% adalah politik, dan 10%-nya soal teknis perminyakan itu sendiri.
Itulah sekilas faktor penyebab konflik di Syria. Dan inilah prolog singkat telaah kecil ini.
Merujuk judul di atas, sekarang bergeser ke Myanmar. Ya. Apabila merujuk tesis Deep Stoat dan Guilford, faktor utama konflik di Myanmar hampir sama dengan perang Syria, semata-mata karena faktor geoekonomi (energi). Jadi, bukan masalah kecurangan pemilu sebagaimana tuduhan junta militer kepada Aung San Suu Kyi cs, ataupun isu HAM, demokratisasi dan lain-lain. Bukan. Sekali lagi, bukan! Itu hanya isu-isu pembuka sebagaimana framing syi’ah-sunni ditabur pada awal konflik di Syria.
Retorikanya ialah: “Seandainya Myanmar hanya penghasil jambu mente, apa akan muncul isu kecurangan pemilu; atau jika Myanmar cuma produsen sandal jepit, adakah isu HAM di sana?”
Akan tetapi, kajian konflik Myanmar kali ini, tidak melulu dari sektor energi. Telaah kali ini mencoba membedah konflik dari pokok-pokok pikiran ala Barat dengan geopolitik sebagai basisnya.
Bagaimana pokok-pokok pemikiran geopolitik ala Barat?
Bersambung ke Bagian 2 
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com