Telaah Kecil Geopolitik
Inti geopolitik adalah ruang hidup (living space) atau lebensraum, kata Karl Haushofer (1869-1946). Basis ajaran tersebut ialah pemikiran cerdas yang berkembang di abad ke-19: “Manusia butuh negara dan negara membutuhkan ruang hidup”. Itu kredonya.
Akan tetapi, tatkala kredo tersebut dibawa ke ranah dua ideologi besar dunia —kapitalis dan komunis— maka dijumpai tata kelola dan praktik yang berbeda.
Pada kapitalisme, contohnya, sebuah ruang hidup mutlak harus dikuasai, dikendalikan dan dieksploitasi sedemikian rupa jika ruang dimaksud ada potensi kontribusi dan mempunyai nilai strategis bagi kepentingannya. Namun, ketika living space atau ruang hidup tersebut sudah dianggap tidak lagi bernilai strategis, maka ia akan dicampakkan.
Rezim Mobutu yang terkenal keji lagi otoriter di Kongo, misalnya, sewaktu perang dingin (cold war) dirangkul oleh Amerika Serikat (AS) sebagai friendlycountry (negara sahabat) guna melawan hegemoni Uni Soviet. Tetapi, begitu perang dingin usai — Mobutu dijatuhkan justru oleh AS sendiri melalui isu HAM.
Demikian juga Taliban. Ia menjadi mitra strategis AS sewaktu melawan Uni Soviet. Begitu Soviet pergi dari Afghanistan — gantian Taliban dimusuhi oleh Paman Sam dengan stigma terorisme dan/atau radikalisme.
Indonesia pun pernah mengalami nasib sama seperti halnya Kongo, Afghanistan dan lain-lain namun dengan modus berbeda. Ketika cold war berlangsung — Indonesia mendapat ‘restu’ menganeksasi Timor Leste. Lagi – lagi, ketika cold war berakhir, restu dicabut, Timor Timur pun lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Nah, praktik serta model teori ruang di atas merupakan bagian dari strategi kontra (containment strategy) ala AS guna membendung gerak laju komunisme. Itulah salah satu cara kapitalisme cq Barat mengelola ruang hidup.
Poin intinya, ketika ruang hidup dipersepsikan tak lagi bernilai strategis bagi kepentingannya maka ia pun dicampakkan. Inilah perilaku kapitalisme memperlakukan ruang (lebensraum) atau living space.
Pertanyaan menarik muncul, “Bagaimana komunisme memperlakukan ruang hidup?”
Perilaku komunisme dalam menyikapi ruang hidup ternyata berbeda dengan tata pola kapitalisme. Jika kapitalis melihat dari ‘nilai strategis’ suatu wilayah, sementara komunisme menyikapi dari sisi berbeda bahkan kebalikannya. Jadi, entah wilayah tersebut dianggap strategis, separuh strategis, atau tidak sama sekali pun — bagi komunisme, barangkali tidak ada masalah. Ruang hidup bagi komunis bersifat nisbi. Relatif.
Timor Leste misalnya, ketika kelompok negara kapitalis mulai meninggalkan karena faktor ‘strategis’-nya mulai menurun atau berkurang, namun komunis Cina justru merapat ke sana mengganti dominasi Australia. Atau Afrika, contoh lagi, tatkala kelompok negara Barat yang dominan kapitalis cenderung ‘meninggalkan’-nya, Cina justru menancapkan kuku hegemoninya di Afrika.
“Kenapa demikian?”
Bahwa antara kapitalisme dan komunisme itu sebenarnya serupa, tetapi tak sama. Berbeda rupa dan warna, tetaplah sama antara keduanya. Ya. Serupa dalam monopoli. Itu satu sisi. Meski di sisi lain, monopoli kapitalisme ialah modal atau kapital, sedang monopoli komunisme adalah massa atau rakyat. Sekali lagi, serupa tapi tak sama. Kata Pak Dirgo D Purbo, “Podo wae“. Ketika ambisi agenda kepentingan nasional memanggil untuk bergerak mencaplok suatu wilayah — yang beda hanya caranya. Yang satu lembut memakai mesin ATM, satunya brutal lagi vulgar melalui mesin perang.
Sedang perbedaannya terlihat pada sistem kendali. Jika kapitalisme dikendalikan oleh sekelompok elit partikelir (swasta), komunisme dikontrol segelintir elit negara.
Nah, tatkala Cina kini menganut “one country and two system“, yaitu suatu negara yang mengelaborasi komunisme dan kapitalisme dalam ‘satu tarikan nafas’ maka sempurnalah pola dan tata cara bagaimana memonopoli suatu lebensraum.
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)