Membaca Prospek Skema Asia Pivot 2.0 Joe Biden Sebagai Pengganti the Indo-Pacific Strategy Report

Bagikan artikel ini

 Sumber artikel

Joe Biden’s Asia Pivot 2.0 is Already Here

Pemerintahan baru AS di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden akan melakukan beberapa perubahan drastis terkait kebijakan mantan presiden Donald Trump terdahulu, bukan saja kebijakan dalam negeri, melainkan juga dalam kebijan luar negeri. Pada masa pemerintahan Trump, berpusat pada perang dagang dengan Cina. Bagaimana di era Biden? Perbedaannya hanya pada taktik, bukan pada perangnya itu sendiri.

Sepertinya Biden akan kembali ke strategi lama mantan presiden Barrack Obama. Menghidupkan kembali Poros Kerjasama Asia atau Asia Pivot. Gagasan dasarnya adalah, menjadikan Asia Pivot sebagai landasan pendukung kehadiran militer AS di Asia Pasifik untuk menangkal ancaman militer dari Cina. Seraya mempertahankan supremasi AS.

Nampaknya presiden Biden akan menjadikan kebijakan Pivot 2.0 sebagai landasan strategis AS menangkal ancaman Cina. Berbeda dengna Asia Pivot yang lebih memprioritaskan pada ekonomi dan perdagangan untuk menangkal ancaman Cina di Asia Pasifik.

Indikasi bahwa Biden akan menerapkan kebijakan Asia Pivot 2.0 terlihat dengan peran sentral yang dimainkan oleh Kurt Campbell dan Jake Sullivan. Selain keduanya akan ditugasi memainkan peran sentral dalam isu Asia Pasifik, keduanya juga pada masa Obama pernah diberi tugas menyusun gagasan dan strategi bagaimana menghadapi Cina. Dalam sebuah artikel di Foreign Affairs, keduanya berpandangan bahwa meskipun Trump benar bahwa Cina merupakan pesaing strategis, namun salah besar menghadapi Cina melalui skema Perang Dagang, karena dengan cara itu AS justru telah menyia-nyiakan keunggulan atau lavarege nasionalnya.

Ketimbang melancarkan perang dagang pada Cina, kedua orang kepercayaan Obama dan Biden itu lebih menyarankan agar AS menjalin kerjasama atas dasar saling percaya dan saling menghomrati dengan Cina. Dalam skema Asia Pivot 2.0 ini Biden nampaknya akan menekankan invetasi di negara-negara mitra atas dasar kebijakan pro pertumbuhan, pro pembangunan berkelanjutan dan pro kebebasan.

Dalam skema Asia Pivot 2.0 itu, AS akan menggalang bantuan dana secara multilateral dari negara-negara sekutunya. Melalui skema Asia Pivot 2.2 maka terciptalah lingkaran persekutuan untuk menghadapi Cina. Maka Washington harus berupaya membangun  ikatan kerjasama yang solid melalui jejaring relasi dan kelembagaan di Asia dan seluruh kawasan lainnya di dunia.

Dengan demikian, menurut Jake Sullivan dan Kurt Campbell, AS harus memandang persekutuan atau aliansi sebagai aset investasi di bidang ekonomi dan militer. Tanpa kemampuan membangun jejaring relasi dan kelembagaan dengan negara-negara sekutunya, maka melancarkan perang dagang tehadap Cina, AS hanya akan menghamburkan dengan sia-sia keunggulan nasionalnya.

Maka itu, Jake Sullivan dan Kurt Campbell menyarakan Biden agar Washington membangun kembali persekutuannya dengan Asia untuk menggalang aliansi strategis melawan Cina yang lebih efektif.

Dalam skema  Asia Pivot 2.0 ini, militer AS memainkan peran besar dalam persekutuan baru dengan Asia tersebut. Menurut pandangan Kurt Campell, kehadiran militer AS di kawasan Asia merupakan “tiket” untuk permainan besar (big game) di Asia. Sebuah permaian besar untuk menangkal ancama Cina, dengan biaya yang jauh lebih murah, dan cukup hanya mengandalkan kemamuan asimetris seperti peluru kendali jelajah (cruise missiles), rudal balistik, kendaraan tempur udara tak berawak berbasis kapal induk otonom, kapal selam maupun berbagai jenis senjata offensif berskala canggih lainnya.

Mungkinkah Strategi Asia Pivot 2.0 berhasil?

Ada kondisi obyektif yang cukup penting dicermati saat Biden mulai mencanangkan Asia Pivot 2.0. Hubungan Cina dan ASEAN sudah lebih erat daripada pada masa Obama dulu. Semakin meningkatnya kerjasama ekonomi Cina dan ASEAN, membuat sistem persekutuan  AS di ASEAN  berada dalam situasi yang cukup goyah.

Selain dari itu, saat Trump mulai menarik dari dari ASEAN, dua sekutu tradisional AS yaitu Filipina dan Thailand, mulai membangun kerjasama baru dengan Cina secara lebih produktif. Dalam situasi seperti itu, beberapa sekutu AS di ASEAN mulai bersikap netral dalam  menghadapi persaingan antara AS versus Cina. Atau sekadar menjalin kerjasama dengan Cina sebagai mitra ekonomi-perdagangan dalam konteks kerjasama kawasan yang lebih luas.

Apalagi di ASEAN mulai berkembang keyakinan bahwa Cina dalam waktu 15 tahun ke depan, akan mampu mengejar ketinggalannya dari AS dalam bidang ekonomi. Sehingga menjalin kerjasama dengan Cina merupakan hal yang menguntungkan bagi negara-negara di Asia dan Pasifik.

Buat negara-negara Asia, rasanya tidak masuk akal ketika bersekutu secara militer dengan AS menghadapi Cina, sementara pada saat yang sama RCEP atau Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional yang dimotori Cina buat menandingi Trans Partnershio Partnership (TPP) versi AS, sehingga malah memperlemah posisi negara-negara Asia dan Pasifik secara keseluruhan.

Namun Salman Rafi Sheikh dalam artikelnya ini menyimpulkan, bahwa skema Asia Pivot 2.0 bakal bernasib sama denga skema Indopasifik-nya Donal Trump. Karena kondisi obyektif di kawasan Asia Pasifik saat ini tidak cocok dengan gagasan ideal di balik skema Asia Pivot 2.0.  Campbell dan Sullivan yang ingin agar segera dituangkan dalam kebijakan luar negeri pemerintahan Biden, pada dasarnya tetap saja didasari ambisi ikut campur tangan secara ekonomi dan militer di kawasan Asia-Pasifik.

Rasanya terlalu ambisius untuk berangan-angan bahwa skema Asia Pivot 2.0 bakal mampu membalikkan keunggulan Cina di Asia Pasifik, dan memulihkan kembali keunggulan atau leverage Amerika.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com