Membaca Second Home Visa dari Perspektif Kuda Troya

Bagikan artikel ini

Telaah Kecil Geopolitik

Dari perspektif geopolitik, kebijakan second home visa (visa rumah kedua) bagi WNA kelas menengah ke atas sebenarnya mengandung kerawanan-kerawanan baik dalam jangka pendek terutama jangka panjang.
Bila NKRI diibaratkan kolam ikan, kebijakan tersebut seperti mengundang predator, bahkan mempersilahkan penjajah masuk secara legal di rumah sendiri. Ada endapan bahaya berjangka baik dari aspek kedaulatan maupun sisi kekuasaan.

Pada jangka pendek misalnya, Pemilu 2024 tak lama lagi. Jika tanpa dibarengi pengawasan superketat, keberadaan mereka —pemegang second home visa— dapat dimobilisir untuk memilih kandidat tertentu. Lumayan. ‘Suara’-nya tentu tidak sedikit. Itu singkatnya. Sedang dalam jangka panjang, justru lebih gawat lagi. Mereka akan membentuk koloni-koloni.

Isu pengungsi Ukraina di Tabanan, Bali, misalnya, baru satu koloni saja sudah mampu ‘membeli’ 200 hektar tanah. Dan pada tanah tersebut dibangun sekolah, helipad, persawahan serta ladang untuk keperluan sehari-hari dan lain-lain. Luar biasa. Koloni pengungsi Ukraina membantu (ekonomi) desa-desa di sekitarnya, menjalin serta mencari simpati lingkungan agar mereka dapat hidup aman dan nyaman di daerah baru.

Ya, baru satu koloni saja sudah mampu menguasai 200 hektar, bagaimana kalau mencapai puluhan, dan ratusan koloni nantinya. Atau mencapai ribuan koloni. Bisa tak terbendung, karena pemerintah menggelar karpet merah terhadap WNA untuk menetap antara 5 – 10 tahun cukup dengan membayar dua miliar rupiah. Silakan mau kegiatan apa, atau berinvestasi.

Ya. Visa second home memang mengisi pundi-pundi negara di satu sisi, namun pada sisi lain, ada endapan bahaya menganga cukup lebar, khususnya terciptanya frontier dalam negara.

Geopolitik menjelaskan, frontier merupakan fenomena bernegara karena melemahnya pengaruh pusat di daerah akibat pengaruh asing. Itu singkatnya. Dan ruang pengaruh asing itu berawal dari budaya dan ekonomi.

Isu di Tabanan adalah realitas frontier, karena faktor ekonomi membuat warga sekitarnya welcome. Dan bila dibiarkan, pengaruh tersebut bisa menjalar ke aspek politik, dan aspek lainnya. Kelak, mampu memisahkan diri dari negara induk. Lepasnya Timor Timur dan Sipadan Ligitan adalah contoh frontier di pinggiran NKRI, dibiarkan menebal, dan —di luar dampak geopolitik global— akhirnya lepas dari bingkai NKRI. Sayonara.

Dari perspektif perang konvensional, dikhawatirkan isu second home visa seperti taktik ‘Kuda Troya’ yang dahulu sukses digunakan oleh Yunani menipu Troya sehingga tentara Yunani justru memasuki Troya lewat kuda kayu (di dalamnya ada pasukan Yunani) yang justru ditarik ke dalam kota. Akhirnya, Troya dapat dihancurkan oleh Yunani dari sisi internal.

Retorika selidik pun muncul, “Siapa berani menjamin, bahwa para pemegang visa tersebut bukan militer yang sengaja disusupkan oleh negaranya?”

Ya. Meski belum A1, ada isu bahwa warga Cina yang sudah keluar dari negaranya akan dihapus data kependudukannya. Artinya, warga dimaksud akan berupaya dengan segala cara untuk menjadi warga negara di wilayah yang didatangi. Entah A1, A2, atau desas-desus belaka, namun isu tadi sudah menyebar. Jangan-jangan hal tersebut ialah strategi Xi Jinping selain dalam rangka mengurangi beban pemerintahan akibat ledakan penduduk, juga ada hidden agenda lain terkait program One Belt One Road (OBOR) serta ekspansi senyap Cina di pelbagai belahan dunia.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com