Mengapa Kita Harus Hidupkan Kembali Geopolitik?

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dari Global Future Institute (GFI)

Jenderal vo Nguyen Giap, konseptor dan arsitek pertahanan nasional Vietnam yang sukses mengusir Perancis pada 1954 dan Amerika Serikat pada 1975, pernah mengungkap rahasia suksesnya: Kekuatan Kami, baik defense maupun offensive, kami dasarkan atas keadaan-keadaan yang nyata dari Vietnam sendiri. Bukan atas dasar pengetahuan dari luar. Melainkan atas dasar pengetahuan geopolitik dari Vietnam.

Atas dasar pandangan Nguyen Giap tersebut, Bung Karno ketika berpidato pada pembukaan Lembaga Pertahanan Nasional pada 1960-an, menganjurkan agar kita sebagai anak bangsa mengetahui kondisi tanah air kita. Geopolitik kita. Geopolitik merupakan pengetahuan segala sesuatu yang berhubungan dengan konstalasi geopolitik sebuah negeri. Tahun seluk-beluk bangsa dan tanah air. Mengenal segala kondisi baik fisik dan mental dari wilayah berikut masyarakatnya.

Maka dalam penyusunan pertahanan yang efektif, maka tahapannya adalah mengenali dan mengetahui segala unsure dari tanah air dan bangsanya sendiri. Baru kemudian ditentukan model dan cara menyusun pertahanannya.

Geo itu bahasa Inggris, arti Indonesianya adalah bumi, tanah, dan seterusnya. Ia adalah salah satu unsur kehidupan selain air, api dan angin serta merupakan asal-usul manusia (Adam) dulu. Dimanapun geo, seharusnya tak hanya mengantar manusia atau bangsa pada gerbang kemerdekaan tetapi lebih jauh lagi yakni membentuk bangsa dan negara yang hidup di atasnya bermartabat di dunia.

Seperti dikatakan oleh Bung Karno, “Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya adalah Tarakan untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politik, tapi soal bagaimana menjadikan manusia di dalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya” (1956). Dengan demikian, geopolitik merupakan ilmu tua yang mampu mengintegrasikan semua hakikat keilmuan, karena di atas geo itulah seluruh permasalahan manusia diselesaikan. Manakala abai terhadap geopolitik, hal itu merupakan titik awal dan sumber bencana bagi ilmu-ilmu (politik) yang ada.

Memahami dan implementasi geopolitik itu sederhana saja, menurut Panglima Besar Soedirman: “pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947); atau Bung Karno menyebut “ketahanan nasional dapat maksimal jika berdasarkan geopolitik” (1965); Pak Harto dulu sering menyatakan: “.. kesatuan daratan, kesatuan lautan dan kesatuan udara ini dipandang sebagai satu keseluruhan yang bulat. Itulah wawasan nusantara” (1967).

Geopolitik meniscayakan orang belajar tentang realitas dan hakikat materi serta non materi atau spirit. Oleh sebab perjalanan sebuah bangsa tak lepas dari kedua dinamika dan dialektika alam tersebut (materi dan non materi), sementara ilmu dan filsafat membentang dalam spektrum di atas permukaan. Dengan demikian geopolitik sebagai ilmu dan kenyataan hidup, umurnya sudah setua bumi bahkan seuzur kehidupan manusia itu sendiri.

Geopolitik-Indonesia

Indonesia memiliki geopolitik yang strategis dalam interaksi global, selain posisinya di antara dua samudera dan dua benua yang merupakan peluang betapa besar peran yang bisa dimainkan di panggung internasional, juga memiliki kekayaan alam (SDA) beraneka lagi melimpah ruah. Tetapi bangsa ini tidak mampu “mengelola” secara tepat dan baik letak ke-”strategis”-an posisi dan kekayaan SDA yang dimiliki. Mungkin hanya di era BK, Indonesia mampu mengelola geopolitiknya.

Makanya ia menggempur Belanda di Irian Barat dan “mempermainkan” Amerika Serikat. BK memahami jika Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, dan nisaya bakal mengancam kedaulatan Indonesia yang baru tumbuh. Kemenangan atas Irian Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia. Di wilayah barat memiliki lumbung minyak Sumatera, Jawa dan Kalimantan, sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia.

Sumatera adalah salah satu bukti nyata. Pulau di sebelah barat Indonesia ini tak sekadar cerita tentang pulau emas, eksotisme alam liar nan indah atau kemashyuran Sriwijaya. Secara geopolitik Sumatera ini sejatinya sangat strategis, namun celakanya banyak orang Indonesia sendiri yang tidak menyadarinya. Sumetara adalah tempat pertama sekaligus terakhir di Asia Tenggara yang ditemukan dunia perjalanan internasional (Baca Sumetara Tempo Doeloe, dari Marcopoli sampai Tan Malaka, Anthony Reid, ed).

Sebagai semacam barikade yang dihadapkan pada titik-titik masuk maritim ke Asia bagian timur, Sumatera adalah tempat pendaratan pertama di bidang pelayaran. Emas dari rangkaian pegunungannnya, lalu kapur barus dari hutan-hutannnya, menarik para pedagang dari seluruh dunia menuju magnet Suvarna dvipa-Tanah Emas. Bukan itu saja. Beberapa jejak peninggalan tertua dari pengaruh India, Arab, dan Cina di Asia Tenggara dapat ditemukan di Sumatera. Luar biasa!

Deli, di Sumatera Timur, sekadar ilustrasi yang lain lagi. Jika kita menelisik ke 1919, Tan Malaka dalam autobiografinya Dari Penjara ke Penjara, sudah melukiskan Deli sebagai tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Di perbatasan Deli dengan Aceh, terdapat minyak tanah yang berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, dan Perlak.

Bahkan, di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat besi. Seperti di Singkep, Bangka dan Belitung, di Jambi sendiri terdapat timah. Bauksit di Riau dan Alumunium terdapat di Asahan, Deli. Bahkan jika dihubungkan dengan arang di Sawahlunto dan airmancur Sungai Asahan, yang punya kodrat nomor 2 atau nomor 3 di dunia, maka bumi dan air Deli sekitarnya dapat mengadakan perindustrian berat apapun juga. Apalagi kalau nanti dapat diperhubungkan lagi dengan logam besi, timah, dan lain lain dari tanah.

Kalau kita mempelajari dan menyerap apa yang menjadi ketahanan budaya dan ketahanan nasional negara-negara lain, Iran bisa kita jadikan contoh nyata yang paling actual. Betapa kesadaran dan wawasan geopolitik dan geostrategi para elit pemerintahan di Iran, merupakan salah satu faktor kebangkitan Iran sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan oleh negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan Cina.

Dengan segala kelebihan serta keterbatasannya mampu memaksimalkan peran geopolitik dalam perpolitikan global. Setidak-tidaknya ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Ahmadinejad dalam psy war kemarin telah membuat “kekhawatiran” para adidaya dunia, terutama bagi jajaran negara yang sangat tergantung dari dinamika selat tersebut. Ini cuma sekilas contoh, betapa dahsyat pemanfaatan geopolitik suatu bangsa bila dikelola secara baik, bahkan dapat dijadikan geopolitic weapon.

Sebagaimana diurai di atas, ilmu dan wawasan geopolitik di republik tercinta ini terdangkalkan bahkan terabaikan, sehingga bangsa ini tak mampu mensyukuri, menikmati dan mengelola karunia Tuhan Yang Maha Esa sehingga rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru termarginal dalam kelimpahan rahmat-Nya.

Tatkala abai terhadap geopolitik, para elit pun seperti kehabisan waktu dan energi berdebat kesana-kemari dalam derivatif berbagai paradigma serta teori sosial politik yang sebenarnya telah dihegemoni oleh kepentingan asing. Terjebak gegap diskusi pada tataran permukaan malah melupakan hal-hal yang tersirat, apalagi membahas yang di bawah permukaan. Nonsense. Bahwa debatisasi berbagai elemen bangsa kini diduga kuat telah dirajut oleh asing dan kaum komprador menjadi “industri demokrasi” dengan berbagai manufaktur dan fabrikasi, seperti perbedaan pendapat, demonstrasi, ego sektoral, konflik, parlemen jalanan dan lainnya.

Maka inilah kemenangan wilayah simbol-simbol (kulit) namun tersungkur di ruang hakiki (substansi). Lembaga pendidikan dan pusat kajian dipompa hanya sekedar mengejar gelar serta status sosial dengan paradigma dan teori yang telah dikendalikan, berputar-putar dalam isue serta terminologi “rekayasa” (demokrasi, HAM, lingkungan dll) yang berpihak kepada kepentingan luar tetapi nihil terhadap historisme yang mutlak harus dipikul dan menjadi tanggung jawab sejarah, sosial dan realitas politik terutama bagi kepentingan nasional saat ini.

Dangkalnya Kesadaran dan Wawasan Geopolitik, Mudah Masuk Perangkap Skema Kepentingan Strategis Asing .

Sebagai contoh sederhana ialah maraknya berbagai konflik di tanah air sesungguhnya tak boleh dilepas dari hipotesa sebagai “hajatan asing” dalam rangka protection oil flow atau blockade somebody else oil flow. Pola yang lazim digunakan oleh kolonialisme ialah menghadirkan pasukan multinasional melalui resolusi PBB dengan alasan HAM dan kemanusiaan, lalu dikeroyok ala NATO seperti Libya atau berujung referendum sebagaimana terjadi di Sudan, Timor Timur dan lainnya. Itulah potensi yang bakal terjadi di republik ini, sementara para elit bangsa “sibuk” dengan dinamika di permukaan namun melupakan what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan).

Sekali lagi, abai geopolitik berarti awal bercokolnya “permainan asing” dan menjadi penyebab kehancuran sebuah bangsa.

Dengan kegelisahan pokok seperti terpapar di atas, maka mengenali dan mengetahui konstalasi geopolitik Negara-negara adidaya, merupakan langkah pertama kita untuk mengenali dan mengetahui kondisi-kondisi fisik dan mental bangsa kita, geopolitik kita sendiri.
Dipandang dari kedudukan geografis wilayah Indonesia, negara kita merupakan suatu kepulauan yang merupakan jalan lalu-lintas antara 2 samudera: Yaitu Samudera India dan Samudera Pasifik dan antara 2 benua yaitu benua Asia dan benua Australia. Maka Indonesia mempunyai kedudukan di tengah-tengah lalu-lintas silang dunia. Berhubung kedudukannya yang straegis tersebut, maka secara historis Indonesia di bidang  politik dan ekonomi, senantiasa dipengaruhi oleh kedudukan geografisnya.

Dengan begitu, pengertian kepulauan sebagai daerah perairan dimana terdapat pulau-pulau, maka seluruh wilayah Indonesia mempunyai luas tanah sebesar 735.000 miles persegi, sedangkan luas perairannya ditaksir kira-kira empat kali seluas itu. Jarak luas dari Barat ke Timur adalah kira-kira 3200 miles, sedangkan dari Utara ke Selatan kira-kira 1.100 miles.

Seluruh jumlah pulau-pulau adalah 13.667, di antara mana diperkirakan ada 3000 pulau yang didiami penduduk. Secara geografis kepulauan Indonesia dapat dibagi dalam 4 kelompok pulau-pulau adalah:

  1. Sunda Besar, yang terdiri dari pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
  2. Sunda Kecil dikenal juga sebagai Nusa Tenggara, yang terdiri dari pulau Bali, Sumbawa, Lombok, Sumba, Flores dan Timor.
  3. Maluku, yang terdiri dari pulau-pulau di antara Sulawesi dan Irian Jaya, yaitu Halmahera, Irian Jaya, Buru, Seram dam Ambonia.
  4. Irian Jaya.

Kalimantan berbatasan dengan Malaysia, Timor berbatasan dengan daerah Portugis, sedangkan Irian Jaya dengan daerah Australia. Di antara pulau-pulau besar terdapat Sumatera seluas 182.000 miles persegi, Kalimantan sebesar 208.000 miles persegi, Sulawesi seluas 73.150 miles persegi, Irian Jaya sebesar 162.000 miles persegi dan Jawa seluas 51.200 miles persegi.

Dapat dikatakan, bahwa Sumatera, Kalimantan, dan Jawa terletak di “Asiatic Landshelf” dan menurut penelitian, termasuk benua Asia, tetapi sekarang pulau-pulau tersebut terpisah dari benua Asia oleh Laut Cina Selatan dan sebagian dari Laut Jawa. Pulau Irian Jaya (Papua) dulunya termasuk benua Australia, namun sekarang terpisah oleh Laut Arafuru. Adapun Pulau Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara telah muncul dari lautan yang sangat dalam yang semula memisahkan Asia dari Australia.

Ihwal perairan Indonesia, dapat dikemukakan bahwa di sebelah timur Sumatera terdapat Selat Malaka, antara Sumatera dan Kalimantan terdapat Selat Karimata. Antara Sumatera dan Jawa terdapat Selat Sunda. Antara Kalimantan dan Sulawesi terdapat Selat Makasar. Di antara Jawa dan Kalimantan terdapat Laut Jawa. Sebelah utara Sulawesi terdapat Laut Sulawesi. Antara Sulawesi dan Halmahera terdapat Laut Maluku. Antara Halmahera buru, Ambon dan Seram terdapat Laut Seram.

Sebelah selatan pulau Buru, Amboina dan Seram terdapat Laut Banda. Sebelah selatan pulau Timor terdapat Laut Timor dan sebelah selatan kepulauan Aru dan Irian Jaya terdapat Laut Arafuru.

Untuk lebih memahami nilai strategis Indonesia secara geopolitik, ada baiknya kita simak pandangan Dr Sam Ratulangie pada 1936 yang saat ini nampaknya masih relevan.

Menurut Ratulangie,  arti Indonesia bagi Pasifik dan bagi ekonomi dunia pada umumnya mengandung tiga hal yang bersifat pasif.

Pertama, sebagai negeri konsumen.

Kedua, negeri sumber bahan mentah.

Ketiga, sebagai negeri tempat penanaman modal. Negeri ini mempunyai ciri yang khas:

  1. secara geografis ekonomi karena letaknya di tengah-tengah kawasan konsumsi dan produksi yang berarti bagi ekonomi dunia, Indonesia menduduki suatu posisi penentu di dalam lalu lintas ekonomi dunia;
  2. secara geo-ekonomi karena tanahnya yang mengandung kekayaan bahan-bahan mentah mineral serta permukaan tanahnya yang dapat menghasilkan bahan-bahan mentah pertanian untuk ekonomi dunia;
  3. secara ekonomi sosial oleh karena penduduknya yang giat bekerja sekalipun dengan suatu tingkat hidup yang rendah; massa yang enam puluh juta jiwa merupakan kelompok konsumen hasil industri yang setiap tahunnya beratus-ratus juta gulden;
  4. secara iklim yakni suatu iklim tropis yang lunak dengan musim yang teratur;
  5. secara keuangan dengan tiadanya modal nasional dalam negeri serta suatu kehampaan industri. Semua itu menarik perhatian dan kegiatan modal luar negeri. Akan tetapi di atas segala-galanya, negeri dan rakyatnya merupakan unsur pasif di dalam perhatian dan kegiatan internasional.

Analisis Ratulangi yang begitu tajam dan tembus pandang ke masa depan terkait dengan kedudukan strategis Indonesia di tengah-tengah lalu-lintas wilayah Asia Pasifik, hebatnya justru ditulis sewaktu dalam masa tahanan di Penjara Sukamiskin, Bandung, pada 1936.

Maka, memahami geopolitik Indonesia sebagai senjata politik dan diplomasi dalam menghadapi aneka kepentingan negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Cina, Uni Eropa, dan Jepang, kiranya mutlak perlu dan merupakan suatu keharusan.

Jika tidak, sebagaimana peringatan yang dikumandangkan Dr Sam Ratulangie pada 1936, Indonesia akan tetap menjadi negara konsumen dan aktor pasif, dalam percaturan politik internasional di kawasan Asia Pasifik.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com