Menyoal Komunikasi Politik Presiden Terpilih

Bagikan artikel ini

Evita Indah Rahayu, peneliti muda di LSISI Jakarta

Dalam bukunya, Komunikasi Politik, Dan Nimmo menyatakan terdapat empat macam pencitraan politik, yaitu pure publicity (publisitas melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial apa adanya),  free ride publicity (memanfaatkan akses untuk publisitas) yang banyak terlihat pada kampanye dalam mensponsori kegiatan sosial di masyarakat, tie-in publicity (memanfaatkan kegiatan luar biasa untuk publisitas), dan paid publicity (publisitas berbayar lewat pembelian rubrik di media massa) yang terpampang pada advertorial di berbagai media massa dan spanduk-spanduknya. Dengan demikian politik akan berjalan dengan baik apabila komunikasi verbal dan nonverbal terjalin dengan baik pula. Citra yang  akan dinilai bukan hanya dari tahap pendekatan tetapi juga ketika para calon presiden yang telah terpilih menjadi presiden itu membuktikan apa yang telah dijanjikan dan dicitrakan sebelumnya.

Komunikasi Politik para tokoh

Jauh sebelum penetapan Capres dan Cawapres, pakar komunikasi politik, Cipta  Lesmana sebagai Direktur Lembaga Demokrasi Bertanggungjawab (LDB) meluncurkan hasil riset tentang efektivitas komunikasi politik bakal calon presiden di Pemilu 2014,  terhadap 11 tokoh dengan parameter komunikasi politik yang dinilai paling layak. Seluruhnya dinilai dari konteks, penampilan, pesan, bahasa non verbal, kualitas suara, dan humor. Dari sebelas nama tokoh nasional yang diteliti, Joko Widodo menempat urutan teratas, disususl Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto pada ururtan ketiga. Kekurangan Jokowi hanyalah hampir tidak ada humor, sementara kekuatan Jokowi  adalah  bisa nempel dan dekat dengan audiens, bicara langsung, bahasanya sederhana, Jokowi bicara selalu problem solvingto the point apa adanya.

Sementara itu keunggulan Jusuf Kalla adalah  selalu berkata dan berucap dengan jalan keluar, selain itu juga memiliki humor yang baik,  hampir tidak pernah bersuara keras tapi konteks rendah, dan selalu problem solving. Dari segi komunikasi politik bagus, humor sering juga, cuma kekurangan body language sangat kurang, JK juga hampir tidak pernah menggurui.

Sementara di urutan ketiga, ada Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Menurutnya  Prabowo mirip Bung Karno dari sisi komunikasi politik. Ada mirip-mirip profil  Bung Karno,  suara tinggi sekali, problem solving ada, cuma kurang merakyat, beda dengan Jokowi dia bisa nempel dengan rakyat.

Sebaliknya mantan  pesaing Jokkowi dalam Pemilukada DKI, Didik J Rachbini mengkritisi gaya komunikasi politik Jokowi yang menurutnya  sangat buruk, seni kepemimpinannya sangat jelek. Jokowi tidak bisa berkomunikasi dengan DPRD DKI sehingga  anggaran terlambat disahkan.

Komunikasi politik Jokowi kedepan

Setelah ditetapkan KPU  dan kemudian MK sebagai presiden terpilih, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menilai faktor sulitnya pasangan Jokowi-JK, mendapat kekuatan tambahan di parlemen karena menggaungkan koalisi tanpa syarat. Pasalnya hal itu berlawanan dengan realitas politik di Indonesia, karena kebiasaan dari partai politik adalah pragmatis untuk memperoleh kekuasan ataupun jabatan. Jokowi-JK perlu melakukan pendekatan kepada parpol Koalisi Merah Putih dengan menggunakan pola komunikasi politik yang baik. Dengan belum adanya tambahan kekuatan di parlemen, tantangan yang akan dihadapi Jokowi-JK akan cukup berat karena hanya punya kekuatan sekitar 30 persen di parlemen. Jokowi-JK sebenarnya sangat membutuhkan dukungan Parpol dari koalisi MP di parlemen, namun dukungan itu sulit diperoleh lagi-lagi karena komunikasi politik yang kurang bagus.

Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR RI, Puan Maharani  mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada partai yang tergabung dalam Koalisi MP  berminat bergabung untuk mendukung Joko Widodo – Jusuf Kalla di parlemen. Pihaknya sudah mengeluarkan berbagai cara untuk membujuk anggota Koalisi MP  supaya bergabung, seperti diantaranya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tetapi, hingga kini tidak membuahkan hasil. Puan pun mengaku, sekarang hanya bisa pasrah, karena hingga saat ini belum ada anggota Koalisi Merah Putih menunjukkan tanda-tanda akan menyeberang mendukung Jokowi-JK. Padahal, tanpa tambahan dukungan, koalisi Jokowi-JK akan menjadi minoritas di DPR. Kondisi tersebut, membuat kepentingan mereka rawan diganjal oleh manuver politik dari Koalisi MP yang memilih menjadi partai oposisi.

Presiden terpilih, Joko Widodo dan wakil presiden terpilih, Jusuf Kalla belum dilantik, tetapi  manuver Koalisi Merah Putih yang notabene pendukung pasangan Prabowo-Hatta itu sudah mulai terlihat. Di antaranya adalah, masalah pemilihan pimpinan DPR, Pansus Pilpres sampai RUU Pemilkada, Koalisi Merah Putih selalu berseberangan dengan kubu Jokowi-JK.

Jokowi juga dianggap melakukan kesalahan komunikasi politik seusai melakukan pertemuan dengan SBY di Bali beberapa waktu lalu. Sehari setelah pertemuan, Jokowi mengungkapkan isi  pembicaraannya dengan SBY, bahwa SBY enggan menaikkan harga BBM. Sikap Jokowi ini, sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap keputusan pemerintahan SBY. Diperkirakan  hal inilah yang menjadi  salah satu faktor kenapa Partai Demokrat mengurungkan niatnya merapat mendukung Jokowi-JK karena Jokowi ini terlalu ceplas-ceplos. Dalam komunikasi politik, harus diatur apa yang harus diungkapkan ke publik, dan apa yang tidak harus diungkapkan, meskipun itu adalah fakta yang terjadi.

Begitu juga ketika Presiden SBY mengkritik cara kerja tim transisi,  beberapa kementerian didatangi  oleh  orang-orang yang mengaku dari Tim Transisi. Selain datang sendiri-sendiri, perwakilan Tim Transisi itu tak memegang surat mandat dari Jokowi. Wakil Ketua Umum, Partai Demokrat, Max Sopacua pun mengingatkan agar Tim Transisi tidak bekerja melampaui kewenangannya. Selama ini SBY sudah berbaik hati dengan membuka jalur komunikasi dengan presiden terpilih, bahkan SBY telah memberikan prosedur secara detail dengan memperbolehkan Tim Transisi Jokowi-JK berkomunikasi dengan tiga menteri koordinator. Menurut Max, ketika tahu Tim Transisi ya bingung, kok  pake panggil-panggil Menteri, Eselon I, sama Dirut BUMN.

Menanggapi kritikan-kritikan tersebut, Jokowi ketika  diwawancarai TV One hanya hanya menjawab dengan  santai bahwa, anggota tim  transisi hanya telalu bersemangat saja. Demikian pula JK hanya menjawab bahwa itu karena sebelumnya tidak ada aturan, hanya para Menko saja yang boleh ketemu anggota tim transisi. Padahal yang dimakusd SBY adalah anggota tim transisi yang bekerja diluar skedul, yang diperkirakan hanya ingin merncari keuntungan dengan mendatangi para pejabat diluar para Menko.

Jawaban seperti ini bisa diangggap sebagai upaya untuk cuci tangan saja dan melepaskan tanggung jawab, semestinya Jokowi dan JK menanggapi juga secara serius bahwa mereka akan menertibkan anggota tim transisi yang tidak memperoleh mandat dari Jokowi. Komunikasi politik seperti ini diperkirakan hanya akan menambah ketegangan antara koalisi merah putih dengan koalisi pendukung Jokowi-JK dikemudian hari.

Dengan sistem Presidensial yang dianut Indonesia, sejatinya memberikan kewenangan seorang presiden untuk menentukan arah pembangunan. Jabatan presiden  sangat kuat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Namun dalam praktiknya, parlemen yang punya fungsi sebagai pengawas malah terkesan lebih dominan, karena itu dengan sistem presidensial sekarang ini, Joko Widodo selaku presiden yang dipilih langsung oleh rakyat akan diuji kemampuan personalnya dalam melakukan komunikasi dengan parlemen.

Jika komunikasi politk Jokowi berubah,  bisa saja program kerjanya didukung oleh koalisi yang menentangnya, namun sebaliknya jika tidak ada perubahan sama sekali niscaya segala program kerjanya apalagi jika dianggap merugikan masyarakat pasti akan mendapat resistensi kuat dari parlemen.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com