Neocortex War

Bagikan artikel ini
Kontemplasi Kecil Geopolitik
Neocortex war alias perang pemikiran itu ada (being), nyata (reality) dan berada/berperan (existance). Mimpi itu ada, namun ia tidak nyata. Apalagi berperan? Ya. Kecuali mimpi hamba-hamba pilihanNya.
Perang pemikiran ada sejak dulu. Entah kapan. Benihnya barangkali dialektika ala Hegel: Tesis – Antitesis – Sintesis. Dan di era kini, neocortex war ditandai dengan maraknya TikTok, misalnya, atau ramainya buzzeRp di ruang publik, dan lain-lain. Tatkala buzzer dianggap ‘profesi baru’ —karena ada yang merawat serta menggaji— maka TikTok dan cuitan di medsos, sebenarnya bagian metode alias cara dari perang cortex. Itu modus taktis-teknis di lapangan.
Tahapan yang lebih tinggi dalam metode neocortex war ialah perang narasi. Ini ranah kaum akademisi yang mem-buzzer-kan diri, ‘melacur’ karena faktor afiliasi politik, konspirasi, dan lain-lain. Mengapa disebut perang narasi? Sebab, sering mengutip teori-teori ilmiah dalam narasi namun arahnya framing. Mengaduk-aduk persepsi dan menggiring alam bawah sadar masyarakat. “Membentuk opini publik”.
Kerap kali, tidak hanya kaum intelektual yang ‘terjual’, bahkan budayawan pun, pelawak pun, penyanyi pun, atau banyak sektor lain rela menggadai idealisme profesinya demi sesuap nasi. Inilah ‘peradaban sakit’, bermula dari kebiasaan yang berulang-ulang —difasilitasi Era 4.0— kemudian dibiarkan, malah ‘ditumpangi’, akhirnya menjadi budaya.
Dahlan Iskan menyebutnya ‘kebenaran baru’ yang diciptakan melalui framing media. Ya, ‘kebenaran’ yang berbasis persepsi, bukan fakta. Sebenarnya ada terminologi khusus atas kondisi di atas, yakni era post-truth. Zaman pembenaran. Kondisinya nyaris sama dengan neocortex war. Intinya, yang salah menjadi benar, dan benar bisa dianggap salah. Tergantung daya pengaruh atas gebyar buzzer menebar isu dan narasi di ruang (maya) publik.
Tak boleh dipungkiri, kerangka besar atas kondisi tersebut adalah doktrin Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Jerman Raya, di zaman Adolf Hitler tempo doeloe, “Tebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik, maka kebohongan akan menjadi kebenaran”. Itu poin utamanya.
Jadi, ketika isu atau narasi dalam neocortex war ditelan tanpa kontemplasi (permenungan), tanpa kritik dan selidik atas nama kegelisahan, sesungguhnya kita telah terjebak pada gelombang post-truth dalam konteks perang pemikiran.
Lantas, apa agenda neocortex war?
Tak lain, membalik persepsi publik terhadap kolonialisme (penjajahan) yang akan dan tengah berlangsung di negeri target; menciptakan kegaduhan di hilir persoalan pada tataran akar rumput supaya penjajahan terus berlangsung senyap; menyebar virus stockholm syndrome, agar bangsa terjajah justru jatuh cinta kepada si penjajah, sehingga secara suka rela menyerahkan kekayaan alamnya kepada penjajah, bahkan memujanya selaku dewa penolong; membelokkan ideologi dan konstitusi negara. Itu pokok-pokok agendanya.
Inilah permenungan kecil tentang perang pemikiran yang sekarang tengah berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan masive di publik. Uniknya, kerap justru tanpa disadari oleh publik itu sendiri.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com