Membuat Batu Bata Untuk Mengambil Batu Giok

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Geopolitik Jelang Pilpres 2024 di Rusia
Berita tentang pemberontakan Wagner (selanjutnya ditulis: isu Wagner) di Rusia semakin berkembang dan terus update. Narasinya sekarang bukan lagi perihal: 1) apakah peristiwa itu riil pemberontakan; 2) apakah AS cq CIA telah menyuap/menggalang Prigozhin, sehingga Wagner Group membelot alias memberontak terhadap Moskow; 3) apakah isu Wagner hanya ‘healing‘ —istilah milenial— antara Putin – Prigozhin bermodus false flag operation (operasi bendera palsu) di tengah kegaduhan serta kejenuhan konflik Ukraina?
Jawaban atas ketiga pertanyaan di atas ialah, “Bukan!” Dan agaknya, isu Wagner lebih ‘dalam’ daripada sekadar hal-hal yang dipertanyakan tadi.
Catatan penulis terdahulu (baca: “Pemberontakan Wagner 1 dan Pemberontak Wagner 2“) mungkin hanya kilasan-kilasan, kendati pada poin recipe for disaster mendekati A1, dimana oligarki ikut berperan pada industri strategis di Rusia. Memang. Bahwa ada hal-hal lebih urgen lagi besar ketimbang sekadar itu.
Kita meloncat ke Turki, flash back sejenak atas ‘bersih-bersih internal’ yang pernah dilakukan oleh Presiden Recep Tayib Erdogan pada inner circle kekuasaannya, beberapa tahun lalu.

Masih ingatkah dengan gelegar isu ‘Kudeta Lima Jam’ di Turki tempo lalu? Silahkan baca ulasan saya: ‘Membaca Isu dan Operasi Bendera Palsu

sebagai referensi pelengkap.

Peristiwa di Turki dulu, selain bisa dijadikan preseden, sekilas referensi, namun ‘pola isu’-nya juga dapat dipakai sebagai pisau bedah guna membuka tabir isu (pemberontakan) Wagner. Atau, istilah kerennya, menguak hal tersirat dari apa yang tersurat (di atas permukaan), dan frase historinya ialah: ‘History repeats itself‘. Sejarah berulang dengan pola-pola sama, hanya aktor, waktu dan modus yang berbeda.
Katakanlah, ‘Kudeta Lima Jam’ di Turki merupakan modus false flag operation ala Erdogan yang tergolong sukses. Dimana ia mampu meringkus ratusan jenderal yang terlibat konspirasi dalam hitungan jam (lima jam) saja. Hal ini jelas merupakan hasil mapping, profiling bahkan identifikasi cerdas dari intelijen Erdogan atas munculnya intrik-intrik di lingkar kekuasaannya.
Apa pasal?
Tak lain, Erdogan tidak ingin ada ‘matahari kembar’ dalam kepemimpinannya. Dalam kasus ini, sosok Fethulah Gulen —target operasi— sebenarnya ialah kawan dekat Erdogan, bahkan pernah berkoalisi untuk memenangkan Erdogan pada pemilu 2002, termasuk membendung kudeta kelompok sekuler tahun 2004. Tak ada kawan dan lawan abadi melainkan kepentingan. Dulu, Erdogan memakai jaringan dan pengaruh para gulenis di lembaga kejaksaan dan intelijen kepolisian untuk mengungkap rencana kudeta kelompok sekuler.
Tetapi, semakin kemari jaringan dan pengaruh Gulen bertambah kuat lagi mengakar di berbagai lini seperti militer, contohnya, atau di kepolisian, di kejaksaan, birokrasi dan lain-lain, bahkan lebih luas lagi hingga ke luar negeri yang mana kader-kadernya —para gulenis— hanya tunduk pada satu komando (Gulen).
Di mata Erdogan, geliat gulenis dianggap sudah tidak bisa lagi bekerja sama dengannya selaku pemegang tampuk kekuasaan tertinggi di Turki. Timbul persepsi ancaman. Erdogan merasa terganggu dengan keberadaan Gulen. Karenanya, diciptakan false flag operation berjudul ‘Kudeta Lima Jam’ yang agenda utamanya adalah menyingkirkan Gulen dan para loyalis dari pemerintahan Turki.
Akhirnya, dalam waktu relatif singkat —hanya lima jam— Erdogan mampu menangkap 124 jenderal. Jumlah ini sekitar 35% dari 358 jenderal militer di Turki, dan 83-nya berpangkat Brigadir Jenderal dan Laksamana Muda.
Berkaca pada isu Kudeta Lima Jam di Turki, ada empat learning points yang bisa dipetik, antara lain: (1) tidak boleh ada matahari kembar di suatu kekuasaan/kepemimpinan nasional dimanapun, kapanpun; (2) isu yang ditabur ialah ‘gerakan Gulenis sudah membahayakan negara’; (3) false flag operation yang digelar berjudul: ‘Kudeta atau pemberontakan’, dan (4) Gulen beserta loyalisnya adalah entitas yang dikorbankan.
Bercermin dari isu di Turki tadi, narasi yang diasumsikan muncul di Rusia menjelang pemilihan presiden (pilpres) bulan Maret 2024 di Rusia adalah:
Pertama, tidak boleh ada pergantian tampuk kekuasaan di Rusia karena negara tengah berperang melawan 23 negara NATO pimpinan AS. Kenapa demikian, bahwa pergantian presiden, bisa dianggap big blunder, apalagi jika presiden baru justru pro-Barat; oleh karena itu,
Kedua, diciptakan ‘Pemberontakan Wagner’ sebagai false flag operation alias pintu pembuka untuk bersih-bersih internal di inner circle Putin jelang pilpres 2024. Kalau perlu, atas nama kegentingan memaksa (negara dalam keadaan perang) ditiadakan pemilu, ataupun perpanjangan waktu, meskipun berdasar perubahan konstitusi di Rusia, Putin masih bisa mencalonkan kembali sebagai presiden. Namun, apakah tidak riskan menggelar pilpres di tengah peperangan?
Ketiga, sekali lagi, isu Wagner memang cuma pintu pembuka. Kemudian Prigozhin beserta pasukannya diisolasi di Belarus dimana presidennya ialah sekutu tradisional Putin. Ya. Setiap tujuan niscaya membawa korban. Itu sudah jamak di dunia geopolitik. Maka, selain Wagner Group dijadikan ‘korban’ (diisolasi); juga
Keempat, beberapa jenderal senior di Rusia dijadikan korban, namun sejatinya para jenderal dimaksud justru target utama dari langkah catur Putin. “Bersih-bersih internal” di lingkaran puncak piramida di Negeri Beruang Merah jelang pilpres 2024.
Retorika menggelitik, “Apakah nantinya akan digelar pilpres 2024, atau Putin diperpanjang masa jabatannya akibat negara dalam keadaan perang, atau ada opsi lain?”
Wait and see!
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com