Penguatan Politik Hukum Nasional dalam Skematika Politik Strategis Nasional untuk Mendukung Efektivitas Sistem Penegakan Hukum

Bagikan artikel ini

Terlihat jelas bagaimana Omnibus Law menjadi persoalan dalam kompleksitas sistem hukum nasional. Padahal secara rasional, dan seharusnya Omnibus Law dan atau apapun namanya hanyalah bentuk lain dalam upaya mencapai efektivitas strukturisasi terhadap konstruksi hukum nasional dengan teknis hukum. Oleh karena itu, Omnibus Law tidak diperlukan, apabila sudah terbinannya suatu keselarasan (sinergitas) dan konvergensivitas rasionalitas hukum, baik dalam Politik Strategis Nasional (Polstranas), Politik Hukum Nasional, dan Skema Program Legislasi Nasional, yang akan melahirkan berbagai produk hukum (Peraturan Perundang Undangan Republik Indonesia) bagi Kepentingan Nasional.

Karena itu, melalui kerangka politik hukum nasional dalam kaitan dengan omnibus law tersebut tentu saja diharapkan dapat melahirkan pertimbangan hukum, agar otoritas terkait tidak hanya sekadar corong atau mengamini agenda global tertentu. Tetapi legislasi nasional harus mempertanggungjawabkan produknya kepada Hajat Hidup Orang Banyak (Amanat seluruh Bangsa dan Negara Republik Indonesia), tanpa vested of interests (pesanan dan atau tekanan apapun). Karena itu, terkadang banyak aturan yang hanya indah di atas kertas, tetapi tidak dapat dilaksanakan, kemudian dirombak kembali, dan seterusnya?

Pentingnya eksistensi Politik Hukum Nasional dalam kerangka menempatkan gagasan tentang Omnibus Law dengan landasan serta inspirasi dari Sistem Hukum Nasional itu sendiri. Sebut saja, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Republik Indonesia. Maka itu, posisi strategis Omnibus Law harus tetap mengacu kepada visi dan misi Politik Hukum Nasional dalam skema besar Politik Strategis Nasional. Oleh sebab itu, selain pertimbangan tentang logis atau rasionalitas hukum , realitas publik, bangsa, dan negara, – termasuk soal asas manfaat dan kepastian hukum (yuridik).

Itu sebabnya, Omnibus Law mestinya diletakan pada posisi teknis dalam membangun efektivitas sistem legislasi nasional, law enforcement, konsepsionalitas hukum progresif, tantangan kehidupan yang kontemporer, maka itu, Omnibus Law tidak hanya sekadar meniru secara totalitas persoalan hukum pada sistem hukum  di Negara-negara lainnya. Omnibus Law harus menyesuaikan diri dalam Sistem Politik Hukum Nasional maupun skema Polstranas.

Mestinya Omnibus Law merupakan semangat dalam membangun suatu sistem dan metode deteksi terhadap konstruksi normatif yang saling bertentangan, integrasi norma yang sama agar efektif, membuang norma-norma hukum yang ambigu dan mubazir. Selanjutnya, mengurangi Pasal-pasal yang kontroversi, menyederhanakan Sanksi, khususnya terkait dengan pemidanaan. Berikutnya, penting pula mempertimbangkan kedudukan persoalan kriminalisasi (pembentukan norma baru) dan dekriminalisasi (pengurangan norma yang telah ada) – sebab, law may not be afflicted to the society. Selain itu, omnibus law mestinya berguna sebagai teknik dalam menemukan pola harmonisasi normatif hukum dalam Sistem Penegakan Hukum  Nasional (The National Law Enforcement System).

Terlepas dari itu, bahwa betapa pentingnya arti suatu Kebijakan Strategis Nasional dalam perjalanan dinamika kehidupan nasional, utamanya terkait dengan peranan pemerintahan di suatu negara dalam mewujudkan tujuan nasional yang berlandaskan hukum (konstitusional). Makanya, segenap produk hukum nasional dan daerah harus tetap menjadi satu kesatuan sistem maupun sebagai gagasan besar dalam Formulasi Politik Strategis Nasional sesuai dengan rajutan Politik Hukum Nasional (The National Law Politic) yang bersenyawa dengan berbagai segi teknis dalam fungsi legislasi.

Jelas, perlunya keberpihakan pemerintah kepada kepentingan nasional menurut arah, maksud, dan tujuan yang hendak dicapai secara bertahap dan berkelanjutan, baik dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Formula politik strategis nasional bersinergi dengan kebijakan strategis nasional, dan Politik Hukum Nasional, maka kemudian menjadi suatu rangkaian yang sistemik dalam menyangga amanat konstitusi, meskipun berbagai dinamika eksternal memiliki agendanya sendiri (silent agenda).

Apabila ada sikap yang jelas dari otoritas terkait  tentang hal-hal yang telah diutarakan diatas tentu akan terhindari dari persoalan harus atau tidaknya keluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang undang (Perppu), dalam beberapa era kepemimpinan Presiden Republik Indonesia pernah terjadi polemik. Misalnya, soal perppu Pemilihan Langsung atau Pemilihan Melalui Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengisi pos pemerintahan di bidang eksekutif. Termask Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Covid 19, dan lain sebagainya. Karenanya, persoalan ini muncul, sebagai konsekuensi logis dari adanya disharmoni, segregasi, dan disintegrasi konsepsionalitas antara Polstrans, Politik Hukum Nasional, Prolegnas, – dalam menyikapi realitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kepemimpinan Nasional, baik di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif selalu mengalami proses penyesuaian (adjustment) dalam mempertahankan keselarasan dalam konteks mengakomodir berbagai respons atau berbagai aspirasi dan inspirasi serta menjaga suasana keterpaduan antar bidang terhadap suatu kebijakan (policies). Maka itu, diperlukan kejelasan posisi masing-masing pihak dan bidang dalam skema fungsi, tugas dan kewenangannya. Itulah yang menjadi dasar agar berbagai Peraturan Perundangan dipersiapkan menjadi rambu-rambu dalam mekanisme check and balances yang dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.

Terkadang, terjadinya suatu kondisi kehidupan nasional yang diwarnai sikap ambiguitas, dualisme, kontroversi, random, dan inkonsistensi yang terkadang memang sulit dihindari. Namun demikian, selama kepentingan yang ada tersebut masih dapat menyikapi perbedaan yang ada maka kemudian perlu dipadukan demi tujuan negara. Tentunya masih dapat dipahami dengan akal sehat, apabila terjadinya pembelahan kepentingan di berbagai lini kepentingan nasional, dalam berbagai konteks kehidupan, seperti: sosial, ekonomi, politik, dan hankam.

Dinamika eksternal mestinya bukan hanya menjadi produk substitusi pemikiran hukum nasional, tetapi hanya sebagai bahan telaah yang terus mengacu kepada kepentingan strategis nasional yang visioner, produktif, strategik, dan dayasaing nasional berlandaskan hukum. Maka itu pula, perlu menghindari potensi substitusi pemikiran sebagai sumber rujukan atau menjadi corong kepentingan eskternal yang dipaksakan serta mempengaruhi politik strategis nasional, sehingga memasuki kekuatan inti konstruksi Sistem Hukum Nasional (The National Law System).

Apabila substitusi pemikiran diperbesar dengan hanya alasan kebutuhan investasi dan hanya kejar tayang atau instan, maka di sela-sela distorsi normatif hukum akan menjadi tempat bermainnya berbagai kepentingan terselubung, baik pribadi, organisasi, maupun oligarkhi.

Jangan sampai produk hukum  nasional hanya sekadar mengamini agenda-agenda global yang bermain secara sepihak. Padahal dalam skala politik strategis nasional terhadap kebijakan strategis nasional dan politik hukum  nasional, dapat membentuk ketahanan nasional dalam aspek hukum yang terus-menerus berkontribusi secara multidimensional bagi keberhasilan pembangunan yang membanggakan publik, serta berlangsung secara berkelanjutan antar  generasi kepemimpinan nasional sesuai dengan amanat konstitusi Negara Republik Indonesia (UUD 1945).

Mencapai kondisi tersebut tentunya dibutuhkan kemampuan atau kapasitas dengan memupuk kekuatan karakter kepemimpinan nasional bagi pembangunan menurut Amanat Konstitusi dalam arti luas. Selanjutnya, harus pula terbangun aksesibilitas publik dalam membentuk ketahanan nasional dalam posisi pemerintah yang senantiasa berada dalam posisi yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Buku ini ditulis oleh Undrizon, SH, MH., seorang Konsultan Hukum, Advokat/Legal Consultant/Pengacara (Praktisi Hukum), yang juga sebagai Pendiri sekaligus General Chairman of Associates pada Undrizon, SH, MH, And Associates Law Office. Melalui serangkaian pengalaman serta studi di bidang hukum, maka analisis ini tentunya sebagai usaha dalam memadukan benang-merah Politik Hukum Dalam Kebijakan Publik yang semestinya telah terangkai dalam skema Politik Strategis Nasional sejalan dengan Tren Rasionalitas yang berkembang dalam segala dimensi kepentingan kehidupan sebagai bangsa dan negara.

Maka itu, mampukah para Pemimpin di negeri ini menyikapi arah perubahan sesuai dengan warna kimiawi Rasionalitas Publik, sehingga sinergis dengan nalar para Elite itu sendiri – yang berkontribusi positif terhadap tujuan nasional. Berbagai kebijakan maupun keputusan publik yang berlandaskan politik hukum (law politic) yang benar tentunya sangat diperlukan dalam pembangunan nasional agar bisa terus berjalan secara berkesinambungan, efektif serta berdampak produktif dan berdayasaing bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Buku ini ditulis sebagai upaya secara mandiri dalam menguak fenomena, dinamika, irama dan kekuatan intuisi sebagai Anak Bangsa untuk secara kolektif dalam intelektualitas dan tindakannya untuk memberikan konstribusi yang positif bagi kemajuan bangsa. Makanya, diharapkan mampu membuka cakrawala pandang publik dan elite tentang bagaimana negara ini bekerja dengan politik hukum menurut rasionalitas hukum yang baik, sehingga berdampak positif, komprehensif dan sistemik terhadap segenap keputusan dan kebijakan publik dimana aparatur pemerintah sebagai pelaksana yang menempati posisi sentralnya dalam skema kegiatan yang bersifat administratif, manajerial, leaderhip, dan lain sebagainya. Sehingga Buku ini diberi judul: Proper Discretion: Konvergensi Tren Rasionalitas, Politik Hukum Dalam Kebijakan Publik.

Buku ini disusun dalam 6 (enam) Bab., yang terdiri dari 3 (tiga) Jilid Buku yang saling terkait (satu kesatuan). Bab Pertama, menjelaskan tentang kebijakan hukum dalam pembinaan politik dan ketatanegaraan. Untuk itu, harus mengupas tuntas tentang pentingnya menerapkan secara konkret serta merawat Konstitusi (UUD 1945) sebagai konstruksi hukum dasar atas produk pemikiran kolektif politik nasional. Itu berarti, bahwa adanya kesadaran Pemimpin Bangsa beserta Warga Bangsa agar terwujudnya kehidupan nasional yang demokratis sehingga kemudian dapat membuka berbagai peluang untuk tercapainya tujuan pembangunan sebagaimana telah diamanatkan oleh konstitusi itu sendiri.

Maka itu, kemudian dibutuhkan suatu sikap pandang dan gerak yang serasi, seimbang serta konstruktif oleh segenap Anak Bangsa dalam menata arah agar tidak terlalu larut dalam kondisi atas dinamika perubahan yang mempengaruhi konstruksi ketatanegaraan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai zamannya. Karena itu pula segala visi kepemimpinan nasional dan daerah haruslah jelas dalam penjabaran dan realisasinya, sebab sebelumnya dengan keyakinan yang sama telah digali dari Konstitusi Nasional.

Semua itu dimaksudkan agar terhindar dari berbagai faktor eksesif yang memicu lahirnya kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang kontraproduktif. Itu sebabnya kebijakan publik harus berjalan dalam garis rasionalitas hukum dasar nasional yang bernilai motivasi, potensi, keseimbangan, fundamental, kekuatan, dan produktifitas. Hal itu kemudian juga harus diimbangi dengan terselenggaranya kepemimpinan yang mampu melihat persoalan negeri sepenuhnya, seutuhnya atau secara totalitas. Kemudian, ketika kebijakan kepemimpinan harus berjalan maka sebelumnya haruslah mampu melakukan suatu refleksi atas efktifitas implementasi kebijakan, strategi yang akurat, taktis, dan controlling.

Di dalam Bab Kedua, mempertegas serta memperkuat semangat kepemimpinan melalui mekanisme rekruitmen dan kompetisi serta aktivisme politik. Untuk itu, dibutuhkan sikap yang jelas terhadap berbagai bentuk dinamika kemajuan dan emosionalitas politik nasional dan daerah, serta terkait perkembangan situasi lingkungan strategis global. Jangan sampai Indonesia terjebak dalam irama kehidupan sosial politik yang dipenuhi oleh suasana perpecahan karena tarik-menarik kepentingan yang berlangsung begitu tajam dan kemudian terbelah (ambiguitas), dualisme, pro dan kontra, ambiguitas, kontroversi, konflik, dan lain sebagainya. Walaupun Warna Politik seperti itu hampir selalu terjadi bahkan dalam setiap transisi kepemimpinan di tanah air maupun di berbagai negara di belahan dunia lainnya.

Satu hal penting yang perlu diantisipasi ialah agar tidak ada motivasi konflik kepentingan yang berlatarbelakang Dendam Sejarah. Dendam yang seakan tidak pernah berhenti mengalir di dalam denyut nadi dialektika kekuasaan dan melekat dalam benak para elite bangsa dan negara, padahal semua itu harus dihindari agar setiap tahapan suksesi kepemimpinan senantiasa mampu meneruskan berbagai hasil temuan, kreativitas, pengalaman serta konstruksi kebijakan dan berbagai prestasi yang telah diukir dalam periode kepemimpinan sebelumnya – untuk, terbangunnya suatu efektivitas kebijakan publik yang lebih baik bagi kepentingan nasional secara dinamis serta berkelanjutan. Sebab, dendam sejarah, traumatic by vested interests conflict yang kemudian dijadikan motivasi legislasi, maka dapat berpotensi menyandera kemajuan bangsa dan negara.

Selanjutnya, pada Bab Ketiga, menerangkan bahwa hukum sebagai pemandu kebijakan terhadap Postur Hankam. Dalam hal ini tetap menempatkan TNI dalam posisi utama sebagai komponen pertahanan negara. Tentara Nasional Indoneisa (TNI) dan termasuk peranan POLRI dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta antisipasi faktor lingkungan strategis global yang mengancam masa depan bangsa dan negara.

Untuk itu, berbagai upaya yang mengarah pada terjadinya keterpaduan bangsa amat diperlukan dalam memperkuat Pertahanan dan Keamanan Nasional. Sehingga ketahanan nasional mampu menjadi modal dasar dan potensi yang amat besar terhadap perjalanan bangsa dan negara, sebagaimana yang dicita-citakan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Indonesia telah memilih bahwa negara ini berbentuk Republik.

Terbinannya secara dinamis postur pertahanan nasional yang dapat menjawab berbagai tantangan dinamika kehidupan bangsa dan negara dengan dukungan semua dimensi yang saling terkait. Secara totalitas maka pertahanan nasional akan berkontribusi untuk memajukan bangsa dan negara secara berkelanjutan.

Dengan tegas pula Republik Indonesia, yang telah ditetapkan sebagai negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan belaka. Sehingga hukum  harus menjadi fondasi terhadap corak budaya demokrasi nasional sebagai bentuk kualitas peradaban dalam kehidupan nasional dengan pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, kepemimpinan nasional mestinya bertanggungjawab kepada rakyat menurut hukum yang berlaku dan mengikat.

Kebijakan publik harus benar-benar dipersiapkan dan dimplementasikan secara konstruktif sehingga saling memperkuat antar dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka diharapkan segala hasil yang telah dicapai mampu mendorong eksistensi NKRI dalam skema tujuan pembangunan nasional jangka panjang.

Selanjutnya, juga harus sejalan dengan amanat reformasi di tubuh TNI dan POLRI yang sudah berjalan, serta posisi berbagai entitas bangsa (the national entities) yang senantiasa menghormati supremasi hukum. Salah-satunya ialah bahwa secara formil, maka keadilan yang dicapai melalui mekanisme pengadilan secara praktis harus dapat memperkuat Sistem Peradilan (Peradilan Umum, Tata Usaha Negara, Militer, Agama), dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia), termasuk berbagai peranan strategis Alternative Dispute Resolutions,  dengan segala infrastruktur yang menyertainya. Semua itu, mestinya diarahkan untuk membangun kesadaran bangsa dan negara tentang eaquality before the law serta tegaknya supremasi hukum (the law supremacy).

Kemudian, di dalam Bab Keempat, mengetengahkan tentang hukum dalam kemitraan birokrasi dan dunia Usaha terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan publik nasional dan daerah harus diimbangi dengan tindakan nyata tentang pentingnya mendorong semangat moralitas sebagai bangsa dan negara yang berdiri sebagai hasil perjuangan jiwa dan raga serta rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Maka itu, tindakan yang paling dianggap merusak perkembangan tatanan kehidupan yang produktif baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, serta pertahanan dan keamanan nasional.

Salah-satu persoalan yang pelik untuk dituntaskan belakangan ini yaitu tingginya angka tindak pidana korupsi. Tindak Pidana Korupsi telah merusak berbagai jaringan dalam dimensi kesejahteraan nasional. Oleh karena itu, gerakan anti korupsi tetap penting dan haruslah gencar di tanah air.

Begitu pula keberadaan sektor-sektor lain yang secara inklusif berkontribusi untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan negara sehingga tetap berada dalam kondisi yang kompetitif. Misalnya, keutamaan dari peranan Bulog RI dalam kerangka memperkuat Ketahanan Pangan Nasional (The National Food Security), industri semen nasional yang mendukung pembangunan infrastruktur, industri pupuk yang menyangga kemajuan di bidang pertanian, sektor properti yang menghargai kearifan lokal dan konsepsi pembangunan berkelanjutan. Termasuk perlindungan terhadap para pelaku Usaha domestik di bidang kehutanan, perkebunan, pariwisata, minyak, gas, dan batu-bara yang mendorong pertumbuhan industri nasional dan seterusnya.

Semua itu, haruslah berkontribusi aktif dalam menyumbangkan peranannya bagi sebesar-besar kemakmuran bangsa dan negara yang berlandaskan hukum. Sekaligus ditunjang oleh efektivitas penegakan hukum (law enforcement) dalam mekanisme persaingan Usaha (trade competitive) yang baik agar terhindari dari bisnis yang tidak fairness atau curang. Penguatan Sistem Penegakan Hukum sangat penting dengan mempertahankan supremasi hukum , agar terhindar dari tindakan para penegak hukum yang cenderung abuse of power. Hal itu, sejalan dengan upaya penguatan supremasi hukum dalam perkembangan dinamika di berbagai sektor strategis nasional, termasuk di bidang transportasi (Darat, Laut, dan Udara).

Di dalam Bab Kelima, terkait dengan hukum yang memperkuat kewaspadaan nasional dalam suatu bangunan atau konstruksi sosial, ekonomi, dan politik sebagai cerminan peradaban yang konstruktif. Untuk itu, diperlukan upaya dalam memaknai kekuatan peradaban nasional yang ada untuk mempersiapkan lompatan masa depan.

Sedangkan di dalam Bab Keenam, menerangkan tentang suatu Memorandum Politik Hukum Nasional dalam membangun regenerasi kebangsaan dan kenegaraan yang kuat dalam tatanan kehidupan yang demokratis terhadap arah kebijakan serta keputusan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan publik yang berlandaskan hukum. Maka itu, memberikan beberapa pertanyaan penting sekaligus membutuhkan jawaban yang realistis, tuntas, dan implementatif atas segenap harapan publik yang harus dicapai oleh Pemimpin Nasional untuk mewujudkan stabilitas di berbagai bidang kehidupan dengan suatu jaminan kondisi yang kondusif dan stabilitas nasional dalam memacu intensitas kemajuan serta memperkuat dayasaing bangsa dan negara di fora Internasional atau global.

Jangan sampai berbagai aspirasi warga bangsa justru berpotensi saling bertabrakan dalam orbit kepentingan sepihak itu sendiri. Kepentingan rakyat haruslah diutamakan dan tetap berfokus tentang bagaimana negara dapat memberikan keadilan bagi kehidupan rakyat/publik di tanah air. Jangan sampai para pengambil kebijakan dan keputusan (policy makers dan decision makers) penting di negeri ini justru bekerja dengan agenda sendiri-sendiri dan/atau sepihak/kelompok tertentu. Sehingga, dalam hal ini haruslah dipadati oleh suatu agenda politik dan agenda pemerintah yang dapat berjalan secara serasi, seimbang, dan terpadu dalam suatu formulasi yang sistemik serta menyeluruh serta berdasarkan konstitusi nasional.

Untuk itu, segala kaidah hukum harus tetap mampu membingkai alur kebijakan dan aspek manajerial serta administrasi negara sesuai hukum yang berlaku dan mengikat dalam bentuk regulasi maupun deregulasi yang menopang visi kebijakan yang penting bagi negara. Hukum dapat bekerja sesuai tingkah-laku yang multidimensional namun tetap berpedoman kepada kepentingan nasional demi kepastian, kemanfaatan, dan keadilan (justice) hukum sebagai realisasi tujuan nasional.

Buku ini diterbitkan perdana pada Januari 2016 oleh Undrizon, SH And Associates Law Office, Jakarta, – bekerjasama dengan Penerbit Rumah Pelangi di Yogyakarta. Kemudian diterbitkan untuk yang keduakalinya pada 2019.

Eksistensi Hukum dalam Era global, tetap diharapkan mampu mampu menjadi Sistem Resolusi Konflik di berbagai bidang atau sektor kehidupan secara konvergensif. Oleh karena itu, perlunya usaha-usaha dalam menyiapkan berbagai produk hukum tetap mengacu pada konstitusi secara konsisten dan dipertahankan berdasarkan konstitusi nasional dalam skema konstruksi kebangsaan dan kenegaraan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konsistensi cara pikir, sikap dan tindakan semua elemen bangsa itulah yang seharusnya telah melahirkan konstruksi berbangsa dan bernegara yang semakin kokoh dan produktif.

Adakalanya pemerintah dalam situasi tertentu perlu menempuh langkah konsolidasi dari pusat hingga daerah. Termasuk kejelasan dalam skema kerjasama atau hubungan internasional. Seraya mempersiapkan suatu karakteristik kehidupan masyarakat yang semakin matang ketika menyikapi problematika kenegaraan.

Apalagi ketika berjangkitnya wabah dualisme, ambiguitas, inkonsistensi sikap, kontroversi, dan lain sebagainya. Terjadinya perbedaan sikap politik, pilihan kepentingan, dan sikap kepentingan global tertentu yang masih perlu penyesuaian bagi kepentingan nasional secara adil dan bijaksana. Oleh karena itu, sikap pemerintah yang berkarakter harus mampu menjaga konsistensi, terobosan, konsolidasi, aspiratif dan seterusnya.

Selaku Pemimpin maka harus dapat memadukan antara faktor accidentalia terhadap esensialia dari kapasitas pengambilan keputusan dan kebijakan sebagai leader, administrator, dan manajerial. Sehingga melalui kekuatan kepemimpinan itu maka semua sel-sel kehidupan berbangsa dan bernegara dapat bergerak dinamis dengan kekuatan dan arah yang baik, berdayaguna dan berhasilguna. Sosok Pemimpin mestinya juga mampu menginspirasi Warga Bangsa yang dipimpinnya yang kemudian layak dijadikan sebagai rujukan. Semua itu juga karena ditunjang oleh kemampuannya dalam penguasaan Simbol-simbol semantik yang baik, berkarakter, dan seterusnya.

Kepemimpinan itu juga bagaikan membatik atau menyulam di atas kain, sehingga ketika pertemuan antara berbagai motif dari ujung serta pangkal maka tiada lagi yang harus dipersoalkan lebih-lanjut secara ortodoks. Persoalannya adalah bagaimana gagasan utama senantiasa dapat ditorehkan sebagai cikal-bakal karya selanjutnya dalam arah kepemimpinan tersebut untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional. Maka itu, kemudian tercipta keselarasan untuk mencapai tujuan akhir yang menuntaskan berbagai anggapan dan persepsi yang salah.

Terbukti irama yang dibangun ialah untuk mencapai sasaran akhir yang sempurna untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional. Itulah bentuk irama gerak kepemimpinan yang bisa dideskripsikan sebagai suatu seni bertindak atau estetika tampilam seorang Pemimpin yang menggairahkan semua entitas berbangsa dan bernegara. Kepemimpinan yang  selalu terarah kepada tujuan yang dicita-citakan bersama bukan tujuan sepihak.

Pemimpin tentunya membutuhkan kemampuan untuk mengatasi halang-rintang     yang begitu banyak dan bahkan ekstrem. Makanya, dibutuhkan kemampuan manuver yang tinggi, kerjasama yang sistemik, responsivitas yang baik, taktik yang jitu, adanya perspektif berfikir, akurasi perencanaan, dan kemampuan mengontrol berbagai lini agar out put kepemimpinan tersebut mampu melahirkan kreasi, ruang gerak, dan produktivitas serta efektivitasnya. Harmoni jangan sampai berpotensi mematikan dinamika dan tumbuh-kembangnya kreasi serta ruang-gerak dalam kehiduan berbangsa dan bernegara.

Pada dasarnya hukum positif ialah bentuk Undang Undang Organik, sesungguhnya adalah rangkaian pemikiran strategis dalam skema politik strategis nasional yang ditransmisikan kepada politik hukum nasional, kemudian memasuki dimensi legislasi nasional sebagai upaya pencapaian berbagai tujuan kebijakan publik.

Disamping itu, apabila rekayasa sosial melalui skema normatif hukum yang menonjol maka nilai tidak lagi menjadi acuan, tetapi kepentingan sepihak yang menjadi tujuan akhir. Apalagi dari geliat perkembangan ekonomi yang menjadikan warga bangsa terbius oleh semangat yang materialistis sehingga konstruksi hukum ekonomi nasional yang kuat amatlah diperlukan.

Disitu, dibutuhkan suatu Konstruksi hukum yang memberikan nilai-nilai dalam piranti Hukum Ekonomi agar mampu memberikan ruang lahirnya berbagai solusi yang bijaksana terkqit berbagai persoalan sosial ekonomi yang kompleks serta multidimensional. Karenanya, dibutuhkan juga berbagai kearifan budaya yang sudah semestinya dijunjungtinggi, termasuk tatanan atas nilai-nilai keagamaan, ideologi, norma hukum positif, adat-istiadat, dan lain sebagainya.

Sedangkan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat telah memiliki modal dasar yang hebat, seperti: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tungga Ika, dan NKRI – sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Prosesnya telah diuji dalam melalui rentang perjalannan yang panjang. Sehingga kemudian dapat tercapainya suatu gugus pemikiran yang membentuk perdaban nasional yang konstruktif dan dinamis. Meskipun terjadinya berbagai perbenturan dan bergesekan atas nilai-nilai dan tatanan kebudayaan antar negara dalam kondisi yang interdependensi maka membutuhkan adanya suatu kebijaksanaan (Wisdom) dan kebijakan (policies). Dalam bentuk kebijakan yang simetrikal (symetrical) akan terarah untuk menjembatani konsistensi pemikiran untuk mencapai berbagai tujuan yang konkret yang mudah dipahami oleh semua pihak.

Tetapi, adakalanya kebijakan yang tidak simetrikal (asymetrical), yang ditimbulkan sebagai bentuk sikap yang konstruktif atas suatu situasi yang sulit. Makanya, Indonesia dan dunia dewasa ini telah berada dalam konvergensi kepentingan, maka itu harus tetap pada core keseimbangan hubungan yang saling-menguntungkan. Adakalanya kebijakan yang diambil seolah-olah dengan gaya sentripugal maupun terkadang kebijakan yang sentripental dalam skema sistem hukum positif yang konstruktif dan berkeadilan.

Penerapan hukum seringkali harus berhadapan dengan gejala anomali politik, sehingga hukum terkadang dipengaruhi oleh arah perubahan dinamika sosial politik, ekonomi, dan hankam yang saling mengoreksi, saling tergantung, ketergantungan yang tidak terhindarkan antar negara dan antar pelaku Usaha, antar masyarakat dan seterusnya (integration). Maka itu, laju atau gerak dari arah jarum-jam dinamika kehidupan masyarakat global tersebut, faktanya tidak satupun manusia yang kuat untuk menahannya.

Manusia hanya mampu melakukan penyesuaian atas arus perubahan yang terjadi dan dapat menyikapi tiap-tiap momentum dalam harmoni dan disharmoni dunia. Maka itu, ada saatnya bertahan dan ada saatnya pula untuk mampu empati serta berasimilasi dan berpartisipasi aktif dalam membangun suatu perubahan yang produktif. Dalam refleksi hukum dari Prof Satjipto Rahardjo, mengetengahkan bahwa perlunya hukum yang progresif. Sebagaimana perrnah ditanggapi dan diulas oleh berbagai pihak dalam Buku mengenai Satjpto Rahardjo dan Hukum Progresif Urgensi dan Kritik, Edisi Pertama, Epistema Institute, Jakarta 2011.

Bahwa, hukum adalah untuk manusia bukan untuk hukum itu sendiri. Maka itu tujuan hukum yang utama adalah bagaimana membahagiakan manusia bukan menyengsarakannya. Manusia adalah instrumen penting dalam mengolah cara berhukum. Oleh karena itu berhukum harus dengan hati-nurani. Secara institusi, maka itu hukum terus berproses, ia bukanlah teks yang mati yang final. Diperlukan kreativitas manusia untuk mengadaptasikan hukum dengan konteks sosial yang dinamis dan terus melaju meninggalkan teks-teks harafiah dari norma-norma hukum. Sehingga dibutuhkan nalar dan nurani manusia untuk membuat suatu interpretasi hukum dalam skema yang baik, strategik, dan visioner.

Artinya bahwa hukum perlu dijalankan dengan spiritual yang baik serta bersifat membebaskan. Keadilan substansial menjadi tujuan utamanya maka peradilan akan memberikan solusi itu, tentunya dengan kekuatan inpterpretasi yang bermoral dan hati-nurani yang baik. Sementara itu, hukum tidak bisa dipisahkan dengan konteks sosial dimana ia mendapatkan legitimasinya. Persoalan legitimasi hukum ini penting karena hukum diberlakukan dan tidak bisa lepas dari masyarakat pendukungnya.

Hukum harus memiliki misi untuk menjaga dan rekonstruksi nilai-nilai dalam tata hubungan masyarakat yang berkeadilan. Tanpa adanya korelasi dengan nilai-nilai tersebut, tentunya hukum akan kehilangan relevansinya sebagai salah-satu pranata sosial. Utamanya, terkait dengan tuntutan masyarakat agar hukum dapat menyikapi dinamika kehidupan yang  bergerak secara sentripugal ke arah dinamika politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan teknologi dalam masyarakat maupun sentripental (konvergensif dan divergensif). Karena itu, hukum bukan peti kemas yang kososng (empty containers), tetapi pada saat yang bersamaan hukum juga bergerak secara sentripental kearah nilai-nilai yang menjiwainya.

Pembangunan Hukum dalam era global terkait dengan masalah hukum sebagai matra atau menjadi bidang tersendiri dalam skema ipoleksosbudhankamnas, meskipun tetap harus menyadari tentang pentingnya upaya dalam mengkonvergensikan rasionalitas bangsa, karena peradaban dunia sudah berada pada era digital (how the technology change the politics) karena itu hukum ada dalam rasio manusia untuk membangun peradaban.

Makanya, rasionalitas bangsa saat ini boleh dikatakan telah dipayungi dengan rasionalitas kelembagaan sebagaimana disebutkan di atas. Sehingga norma hukum juga dengan sendirinya akan menghadapi tekanan kekuatan dari rasionalitas individu serta rasionalitas masyarakat dan dalam kesempatan lain maka dapat terjadi melalui rasionalitas kelembagaan. Oleh karena itu, dalam sudut pandang yang lain, maka rasionalitas negara yang apabila didominasi oleh kepentingan yang tidak menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan yang lain, maka itu, yang akan menyebabkan bahwa potensi berkembangnya motivasi serta jargon kepemimpinan yang berbau totalitarian/manchiavelis (le etate est moi), tideak lagi mentaati hukum – karena, hukum tergantung dari apa yang dikatakannya! Terutama, seketika apabila sudah merasa terancam posisi atau kedudukannya.

Selanjutnya inspirasi mengenai check and balances dari skema trias politika yang digagas oleh Montesquieu telah menjadi inspirasi dan kreasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Maka itu, pertanyaannya, dalam hal ini ialah dimanakah posisi kebenaran hukum adanya? Posisi hukum sudah berada sebagai suatu komponen dalam skema konvergensi rasionalitas suatu bangsa dan negara yang menyatu dalam tertib peraturan – perundangan dan tatanan kehidupan nasional itu sendiri, baik dalam pola etika kepemimpinan (leaders), serta skema hukum yang menata tingkah-laku negara, dan kemudian juga masyarakatnya yang menawarkan berbagai gagasan sebagai konsekuensi logis dari tingkat intensitas perkembangan teknokrasi yang diperkuat oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Oleh karena itu, hukum di era global tetap mengalami dinamika dalam menjaga keseimbangan rasio kebangsaan dan kenegaraan. Sehingga terkadang perubahan sistem, struktur, substansi, dan kultur hukum terkesan lamban dan terkadang pula seringkali terjadi suatu gejala percepatan (akselerasi). Semua itu sebagai akibat adanya ketundukan manusia yang berlebihan kepada rasio yang berfungsi sebagai motor penggeraknya terhadap suatu dinamika kehidupan dengan segala aspeknya.

Terkadang norma hukum begitu cepatnya menjadi usang, tumpang-tindih, kontraproduktif, versus, dan lain sebagainya. Semua itu terjadi sebagai akibat perubahan citra rasionalitas apa yang hendak dibangun. Sehingga negara terkadang juga terkesan menjadi tidak konsisten dengan nilai-nilai ideologi, pewarisan idealisme perjuangan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dari generasi terdahulu, sehingga dibutuhkan suatu inovasi serta pembaruan dalam skema kebijakan nasional agar tidak tertinggal dari trend global.

Hukum hendaknya menyatu dalam menjaga core keseimbangan dalam proses pembangunn nasional dan daerah yang dilandasi dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan jiwa perjuangan untuk mencapai Indonesia yang merdeka dan berdaulat (proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945). Apabila kesadaran itu tidak memadai maka hukum secara normatif (substansial) akan menjadi sekadar as a tool of social engineering yang dangkal. Maka itu sebabnya, bisa pula berujung timbulnya kecenderungan bahwa negara akan dikendalikan oleh kepentingaan dan/atau kekuatan tertentu.

Bahwa, Indonesia adalah Negara Hukum, sehingga tiap-tiap Warga Negara bersamaan kedudukannya di depan hukum. Kesejajaran posisi tiap-tiap Warga Bangsa dalam kerangka hukum nasional, yang merupakan andil besar untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Semua itu dicapai dengan segala jerih-payah para pejuang, para ilmuan, pemimpin yang berhati baik, kebesaran hati nurani semua komponen rakyat Republik Indonesia, dan lain sebagainya.

Menegakan hukum juga berarti tidak hanya menegakan Peraturan Perundang Undangan tetapi merupakan kesatuan yang utuh di dalam sistem hukum untuk menempatkan rasa keadilan secara substansial, sistemik, dan kultural, – terhadap masyarakat, bangsa, dan negara  sesuai dengan nilai-nilai luhur kehidupan sebagai Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Itu sebabnya, diperlukan suatu keserasian atau harmonisasi produk hukum terhadap karakteristik Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Bahwa, politik hukum diperlukan agar segenap kebijakan publik nasional maupun daerah dan instansional senantiasa merujuk kepada kepentingan nasional dengan prinsip  persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law).

Hukum semestinya mampu mempertahankan intensitas dayatahan kehidupan berbangsa dan bernegara agar tidak ada celah yang berbahaya terhadap keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya sebagai akbat distorsi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan penting untuk negeri ini. Politik Hukum dalam kebijakan dan keputusan nasional agar sesuai dengan misi kehidupan nasional dalam Haluan Negara yang benar, konstruktif, berkeadilan, kepastian, dan bermanfaat bagi kesejahteraan lahir maupun batin bagi semua entitas negeri ini.

Sehingga baik regulasi dan deregulasi, kriminalisasi dan dekriminalisasi serta berbagai bentuk perubahan Kimiawi Sosial Politik (the changing of the social politic chemistry) tersebut jangan sampai merugikan kepentingan publik dalam era demokrasi maupun dalam kaitannya dengan amamat konstitusional dan serangkaian Peraturan Perundang Undangan Nasional.  Suatu keputusan (decision) dan kebijakan (policy) publik yang diambil seringkali menimbulkan reaksi yang spontan dari berbagai kalangan, termasuk aneka corak kritikal melalui berbagai Media Massa. Lantas, ada juga upaya menggiring opini publik dengan agenda setting tertentu demi kepentingan tertentu. Semua ini harus dapat diantisipasi agar tidak menimbulkan efek yang sistemik.

Dunia tidak lagi bisa hidup secara sektoral. Tetapi, dunia sekarang membutuhkan suatu pendekatan diametrikal yang berkaitan dengan konteks hubungan perseorangan terhadap lingkungan publik, dan negara sebagai fasilitator. Apalagi terhadap kecenderungan perilaku korporasi dunia yang sangat sensitif dengan tekanan karena murni berorientasi kapital. Karena itu, Tertib Hukum berarti terdapat suatu makna dalam konsistensi menjalankan Peraturan Perundang Undangan. Bahkan tidak hanya sampai disitu tetapi masih membutuhkan kearifan dalam semua dimensi hubungan lokal, regional, dan global. Disinilah pentingnya cara memformulasikan nilai-nilai dalam konsistensi dan penyerasian pada setiap saat penyusunan Peraturan Perundang Undangan Republik Indonesia.

Lebih jauh maka variasi jawaban atau argumentasi antara Pengamat, Konsultan Hukum, Penegak Hukum dan lain sebagainya, – sudah semestinya berbagi Porsi Rasionalitas tentang suatu langkah penting bagi penyelesaian sengketa menurut hukum sebagaimana perspektif ilmu hukum dan rasionalitas kebijakan, dan nilai kebijaksanaan yang dipakai oleh para pengambil keputusan dalam toleransi ketentuan yang normatif dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara, diri sendiri, serta Tuhan Yang Maha Esa.

Jangan sampai hukum diargumentasikan dalam ruang yang terpisah secara ekstrem dalam kesatuan sosial sebagai bangsa dan negara. Maka itu pula bias atas suatu persoalan atau kasuistik yang seringkali menjadikan kondisi serta situasi yang echo di media massa. Sehingga kemudian merubah tatanan yang sudah baik untuk dilebur kembali. Maka itu, kemudian lebih terkesan, bahwa hukum telah terseret atau berada dalam pusaran-arus melodrama bermotif kepentingan kekuasaan. Padahal hanya masalah sengketa sosial yang sesungguhnya bisa dengan pendekatan rekonsiliasi atau mediasi, alternatif penyelesaian sengketa, dan lain sebagainya.

Konvergensi Rasionalitas bisa membantu penentuan arah atau haluan yang baik sebelum melangkah jauh dalam membentuk Peratura Perundangan secara sistemik. Karena itu, kemudian bahwa penerapan hukum bukan hanya sekadar letter lex, tetapi haruslah melihat serta pertimbangan berbagai nilai kearifan dan/atau kebaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, refleksi tentang potret NKRI di masa depan, keadilan yang substansial, hati nurani, nalar publik, akal sehat, dan seterusnya.

Maka itu, melalaui penerapan hukum justru yang akan lahir ialah suatu ketegasan yang bersifat manusiawi yang berawal dari titik kebijaksanaan menuju pintu keadilan. Misalnya, kalau memang hanya sekadar rules of conducts maka mengapa harus Sanksi Pidana tetapi cukup Sanksi Administratif. Sebab, selain Efek Jera yang ingin dicapai tetap yang paling utama ialah produktivitas dalam dinamika kepentingan publik, bangsa, dan negara itu sendiri.

Konvergensi Rasionalitas Hukum dalam konteks politik hukum terhadap corak  kebijakan publik harus mampu meneropong gagasan inti dan motivasi yang hendak dikembangkan atau diintegrasikan dalam Sistem Hukum Nasional dengan semangat perubahan (progresiftas) kehidupan yang dinamis, tetapi selalu mempertahankan eksistensi berbangsa dan bernegara di dalam kerangka kehidupan global dengan segala totalitas dimensionalitasnya.

Buku ini tentunya layak dan perlu dibaca oleh stakeholders bangsa dan negara!!!

Undrizon, SH., MH., Advokat/Legal Consultant/General Chairman of Associates pada UNDRIZON, SH, MH, And Associates Law Office, Jakarta

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com