Perlu Media Alternatif yang Diilhami Lima Butir Pancasila

Bagikan artikel ini

Joko Yuwono, Wartawan Senior Poskota.

(Disampaikan pada seminar terbatas Global Future Institute (GFI) bertajuk Prospek Media Massa Nasional 2015: Peluang dan Hambatan, Kamis, 28/08/2014)

Satu fenomena yang membuat saya dan beberapa teman merasa tidak bergairah lagi menjadi jurnalis sekarang ini. Sehingga ketika ke kantor ataupun bertemu teman-teman wartawan, apa sih yang harus kita lakukan sekarang ini?

Ketika hampir semua orang yang disebut teman-teman pers atau banyak di media sosial, hampir semua orang ingin jadi wartawan. Dan ini kecenderungan postmodernisme, tidak ada lagi ukuran-ukuran, patokan-patokan, ataupun parameter-parameter yang bisa kita abaikan. Atau fakta-fakta mana, atau fakta-fakta yang asli atau fiktif semuanya dikemas oleh tim redaksi.

Jauh hari sejak Orde Baru, saya juga terus-terusan mengemas bagaimana lagi-lagi rebutan pasar.  Saya sebagai pelaku mengemas berita yang seharusnya menurut pasar tidak harus begitu.

Ketika kemudian kekuatan lain lewat lembaga yang diwakili oleh pimpinan umum, pada saat itu Bung Tarman Azzam bahwa kita harus akrobat di situ. Saya berurusan dengan Harmoko sampai ditelepon Tarman. Artinya, tidak belakangan ini, tapi bahwa sejak orde baru gejala seperti ini sudah terjadi.

Tentang kajian bahasan modal, Mas Hendrajit sudah kemukakan tadi. Dalam fenomena postmodernisme, tidak hanya masyarakat, juga wartawan, teman-teman saya. Saya tidak akan bicara yang tua atau muda, yang tua juga samimawon. Kondisinya sudah menyedihkan, yang tua walaupun di kantor juga memberikan arahan.

Saat ini serba instan. Artinya, cenderung ke topping news atau mencari tokoh-tokoh yang bisa mendatangkan uang untuk mencari iklan pariwara dan sumber bahan kajian berita itu banyak sekali. Karena di era posmo ini orang-orang pengejar status, orientasi status apakah jabatan, posisi, yang tidak berdasarkan prestasi.

“Pokoknya kamu punya duit, kita beri sekian halaman berani bayar berapa?.”  Nampaknya ini hampir semua media, saya tidak pernah melakukan penelitian, tapi yang saya amati secara empiris.

Setelah itu, bagaimana aspek sosio kulturalnya? Di era posmo juga terjadi seorang wartawan, dia akan memilih kedekatan personalnya. Ini yang disebut 1. Berorientasi status, 2. Partai.

Ketika wartawan hendak menyajikan sebuah informasi perimbangan A dan B, terutama kedekatan personal lebih ekstrim lagi kedekatan wani piro-nya itu. Ini menyedihkan ini tidak asing lagi, tapi teman-teman sering menghadapi hal-hal seperti ini di lapangan. Dan bahkan seperti itu di lapangan banyak.

Ada di tingkat masyarakat, melakukan, komunitas-komunitas tertentu si A mendukung si B, itu lebih karena keuntungan asal-usul menjadi pertimbangan utama. Orientasi partai kita tahu sendiri, menjadi sumber berita yang menarik yang seksi semuanya adalah permukaan tidak lagi ketika kita di rapat redaksi. Kita bicara ini loh problem hulunya, kemudian setiap rapat redaksi, rapat budgeting kita hadirkan agen-agen menurut anda bagaimana? “Wah gak laku itu.”

Ya, menurut kita konflik-konflik permukaan yang muncul itu semenjak dari tabloid Aksi. Maka tabloid Aksi sempat bergerak 725 ribu setiap kali terbit waktu itu. Itu dosa jurnalistik saya.

Begitu itu yang bisa saya kemukakan. Kemudian media mainstream yang tidak bisa memberikan suara hati nurani, lahirnya media alternatif, yakni media sosial. Pertanyaan muncul teman-teman sekalian, forum atau keterkaitan satu komunitas ke komunitas lain yang saya juluki tidak jadi masalah. Dalam berbangsa bernegara yang menjadi masalah adalah jika komunitas A berseberangan dengan komunitas B, ini tidak terkontrol, tidak terikat oleh satu ideologi.

Kita sebenarnya punya ideologi yang dapat mengikat, yaitu Lima butir Pancasila. Kalau sekarang kita bilang itu kan mundur ke belakang. Sekarang era pra nasional atau era one good one nation. Tampaknya hanya Lima butir Pancasila yang mengikat itu, sehingga bentuk seperti apa media alternatif yang bisa kita berdayakan, maka tentu saja kita tinggalkan media arus utama. Media cetak yang kita berdayakan adalah problema yang besar.

Kita perlu rembuk lagi dalam kesempatan yang berbeda, bagaimana mengikat ini semua menjadi satu kepentingan bersama. Boleh bersebarangan tapi tidak juga kemudian berpotensi menimbulkan perpecahan dan berorientasi menimbulkan keutuhan NKRI.

Ini yang di era orde baru, di era demokrasi terpimpin dikuasa oleh hegemoni kekuasaan. Persoalannya adalah siapa yang bisa meneruskan hal ini di luar kepemilikan modal. Ini kan individu-individu yang bermain. Siapa yang harus mengendalikan ini.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com