Piramida Politik, Perubahan, dan Deadlock

Bagikan artikel ini
Cerpen Geopolitik di Balik Revolusi Toilet di Cina
Setelah aspek keamanan, sosial, dan kemakmuran terpenuhi, tahap berikutnya — bahkan boleh disebut naluri manusia yang tidak dapat dibendung ialah kebutuhan untuk berkumpul, berpendapat, kebebasan berekspresi, dan lainnya. Wajar. Selain manusiawi sebagai makhluk sosial, juga merupakan hak asasi.
Aksi perubahan alias amandemen konstitusi Cina serta terpilihnya kembali Xi Jinping sebagai presiden tiga periode dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Cina (PKC), ternyata cuma menimbulkan riak-riak kecil baik di internal maupun di ekternal PKC. Padahal, sebelumnya konstitusi Cina hanya mengenal dua periode masa jabatan presiden. Hal ini tidak berbeda dengan berbagai negara lain seperti Amerika (AS), misalnya, ataupun Indonesia, dan lain-lain.
Sekali lagi, gejolak politik akibat perubahan konstitusi hanya sebatas protes kecil dari segelintir elit dan rakyat yang tidak setuju atas terpilihnya kembali Xi dan amandemen jabatan presiden.
Di gejolak internal misalnya, beredar video dalam kongres PKC tatkala Hu Jintao —Presiden Cina ke-6— ‘dipaksa’ keluar dari ruang sidang. Peristiwa tersebut menimbulkan aneka tafsir. Penafsiran paling mendekati ialah, bahwa ia bakal mengiterupsi agenda sidang. Maka sosok sekelas Jintao —mantan Sekjen PKC— pun dikeluarkan dari ruang sidang.
Kembali menyoal kebebasan. Tampaknya, kemerdekaan berpendapat dinilai ‘barang paling mewah’ serta sulit diperoleh di Cina kecuali dalam toilet. Lalu, kelompok prodemokrasi menandai gerakan protes mereka dengan istilah ‘Revolusi Toilet‘.
Seperti halnya mural di Indonesia, protes melalui coretan di dinding — reaksi kelompok prodemokrasi terhadap rezim PKC tak berani diekspresikan secara terbuka, namun sembunyi-sembunyi lewat coretan di (dinding) toilet.
Pertanyaannya adalah, “Mengapa perubahan besar yakni amandemen konstitusi di Cina berjalan mulus bahkan nyaris tanpa gejolak berarti?” Jawabannya simpel, karena di Cina ada ‘Piramida Politik’. Dan piramida kekuasaan tersebut beroperasi secara optimal.
Presiden Xi Jinping misalnya, ia adalah puncak/pucuk piramida; lalu di bawah Xi ada tujuh anggota selaku Politburo Standing Committee (Komite Tetap Politbiro) dimana Xi masuk dalam komite tersebut; di bawahnya lagi ada 24 anggota politbiro; lantas di bawah politbiro berisi 380 anggota Central Committee; dan di bawah Central Committee ada National Party Congress yang beranggotakan 2.300 anggota; dan lebih bawah lagi yaitu anggota PKC yang berjumlah 96, 74 juta. Nah, urutan paling bawah dalam piramida politik Cina adalah rakyat yang jumlahnya 1,8 miliar jiwa.
Itulah dahsyatnya piramida politik. Bayangkan, penduduk 1,8 miliar hanya dikendalikan oleh tujuh orang super elit alias komisi tetap politbiro pimpinan Xi Jinping. Super elit inilah yang merumus atau mengambil ketetapan politik luar biasa seperti perubahan konstitusi dan/atau amandemen masa jabatan presiden. Dan semua agenda dimaksud nyaris berproses tanpa gejolak politik berarti.
Membahas politik kekuasaan di Cina tidak lepas dari PKC selaku partai tunggal; dan melihat piramida politik Cina, tengok saja piramida kekuasaan di PKC, mengapa? Sebab, RRC identik dengan PKC. Maka perubahan/amandemen konstitusi pun dapat berjalan secara mulus karena dirumuskan oleh tujuh orang saja.
“Bagaimana dengan piramida politik di republik tercinta ini?”
Dulu, ada piramida politik di Indonesia. Sehingga presiden sekelas Soekarno contohnya, atau Habibie, Gus Dur, bisa ‘dipecat’ ketika melanggar konstitusi. Akan tetapi, semenjak terjadi amandemen empat kali UUD 1945 (1999, 2000, 2002, 2022), konstitusi Indonesia tak ada lagi piramida politik. Kenapa? Sebab, selain pucuk piramida yakni MPR selaku lembaga tertinggi telah terpangkas dan/atau di- downgrade menjadi lembaga tinggi setingkat BPK, DPA, MK, DPR dan seterusnya, juga beberapa dampak menjadi kendala dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya, selain presiden tak lagi menjadi mandataris MPR/rakyat, juga negara kini tidak memiliki GBHN sebagai roadmap pembangunan yang akan dijalankan pemerintah.
Jadi, sejak amandemen empat kali UUD 45 — sesungguhnya presiden dan para pembantunya menjalankan ‘GBHN’-nya sendiri. Tidak ada GBHN rakyat (dari MPR). Tak ada lagi mekanisme pertanggung jawaban bila presiden melanggar UU.
Ketika ada ide untuk dihidupkan kembali PPHN —GBHN versi reformasi— berujung gagal. Dan usulan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode pun gagal pula. Demikian juga upaya menghidupan kembali ‘utusan golongan’ menemui jalan buntu. Deadlock. Lha, siapa berwenang mengeluarkan ketetapan (dulu ada Tap MPR), sedang MPR kini tidak lagi menjadi ‘pucuk piramida’ politik dan tak berwenang mengeluarkan Tap MPR?
Hari ini, bangsa Indonesia terjebak oleh konsepnya sendiri yang dihasilkan melalui euphoria reformasi 1998 doeloe. Entah hingga kapan. Dan bangsa ini kini menikmati deadlock justru di tengah genderang perubahan yang membadai.
Teringat ucapan filosofi Putin, “Kalau kalian tidak mendengar genderang perang sedang ditabuh di kejauhan, berarti kalian sedang tuli”.
Ya, hakiki peperangan adalah perubahan. Dan perubahan demi perubahan tengah membadai di pelbagai belahan dunia, sedang kita terjebak deadlock oleh sistem yang tak dapat mengikuti gerak perubahan. Buta dan tuli.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com