Presiden Baru untuk Daulat Pertanian, Perkebunan dan Pangan

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Agus Setiawan, Rusman dan Ferdiansyah Ali, Peneliti Global Future Institute (GFI)

Rapuhnya Kedaulatan Sektor Pertanian dan Pangan Indonesia

Saat ini Indonesia yang merupakan negara agraris dan menjadi lumbung hortikultura (sayur, buah-buahan dan bunga), namun anehnya malah mengalami kelangkaan. Masalah kelangkaan dan tingginya harga produk-produk hortikultura sesungguhnya tidak perlu terjadi di Indonesia.

Betapa tidak. Sebagai negara yang memiliki dua musim sebenarnya potensi Indonesia sebagai penghasil produk-produk unggulan hortikultura hampir saja tidak memiliki pesaing. Artinya potensi Indonesia sungguh besar, yatu memiliki kekayaan sumberdaya komoditas pertanian yang tinggi serta ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas. Variasi topografi dan model demografi untuk menghasilkan produk yang bervariasi juga terbuka luas.

Bukan itu saja. Dengan luas lahan perkebunan dan pertanian yang ada di Indonesia, bila dioptimalkan dengan sungguh-sungguh, maka Indonesia tidak akan lagi menjadi pengimpor beras dan kedelai. Indonesia masih memiliki lahan 60 juta hektar lahan yang belum termanfaatkan. Apabila lahan itu dikelola dengan baik untuk membangun perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, tentu mampu menarik sekitar 50 juta lebih tenaga kerja. Dengan begitu, tidak akan ada lagi orang-orang Indonesia yang menjadi TKI di negeri orang. Dan bahkan tidak ada lagi orang Indonesia yang menganggur.

Pertanyaan kita sekarang, apakah pemerintah kita sekarang sudah menempatkan sektor pertanian dan khususnya perkebunan sebagai prioritas utama pemberdayaan sektor pertanian dalam skema perekonomian nasional kita? Mari sekilas kita buat perbandingan alokasi anggaran dari sektor lain. Apabila kita melihat anggaran dalam APBN yang digunakan untuk pembelian senjata sampai tahun 2014 sebesar Rp 90 Trilyun, maka sampai tahun 2020 diperkirakan bisa mencapai angka Rp 250 triliun. Masih lebih kecil dari angka korupsi APBN kita setiap tahunnya yang mencapai Rp 800 Trilyun.

Lantas berapa alokasi APBN untuk sektor pertanian? Aanggaran pertanian di APBN hanya Rp 15 triliun. Yaitu, kurang dari setengah biaya perjalanan dinas pemerintah yang mencapai Rp 32 triliun.

Bayangkan kalau saja 10 persen saja dari anggaran TNI yang sebesar Rp 90 Triliyun itu digunakan untuk membuat kluster pangan, kluster papan, membangun sawah, memproduksi kedelai, membangun pelabuhan, membuat kapal nelayan, apakah itu tidak membuat gelisah negara-negara tetangga yang selama ini memandang rendah Indonesia. Sebenarnya tidak perlu peluru dan senjata untuk membungkam Malaysia dan Singapura, cukup dengan membangun kota-kota dan pelabuhan-pelabuhan baru di kalimantan, kalau perlu membangun kota di Trans Kalimantan, maka otomatis perekonomian negara tetangga akan berkiblat ke Indonesia.

Sayangnya, hingga saat ini Indonesia dihadapkan pada dua fakta yang cukup menyedihkan di sektor pertanian dan perkebunan pada khususnya. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah petani Indonesia terus turun tajam dari tahun ke tahun. Menurut catatan BPS, jumlah petani dua bulan pertama tahun ini, Januari dan Februari 2014 menyusut 280 ribu jiwa. Menyedihkannya lagi, jumlah penduduk yang bekerja di sektor-sektor lain di luar pertanian justru mengalami peningkatan yang cukup besar.

Ada beberapa faktor penyebab yang bisa menjelaskan mengapa terjadi penurunan jumlah petani di tanah air.  Antara lain, karena ketersediaan lahan pertanian yang  hanya di bawah 2 hektar tersebut (petani gurem) ternyata banyak yang dijual dan disewakan. Faktor lain adalah kian banyak petani yang beralih ke pekerjaan ke sektor lain.

Menghadapi kenyataan yang memprihatinkan tersebut, pemerintah mencoba menerapkan solusi yang kurang begitu efektif. Yaitu, dengan membuka investasi asing di sektor pertanian. Alhasil, hal ini sama saja dengan memecahkan masalah dengan mengundang masalah baru.

Beberapa waktu lalu, seiring dengan ditinggalkannya sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama, pemerintah baru-baru ini menuntaskan revisi daftar negatif investasi (DNI). Salah satu yang direvisi adalah sektor pertanian dan perkebunan. Dua sektor yang semula tertutup untuk investor asing, kini dibuka.

Daftar negatif investasi (DNI) yang direvisi tertuang dalam Peraturan Presiden (PP) Nomor 39 Tahun 2014 yang ditanda tangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 April 2014.

Usaha budidaya tanaman pangan pokok dengan luas lebih dari 25 hektar untuk jenis tanaman padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau dan tanaman pangan lain (ubi kau dan ubi jalar), melalui PP DNI terbaru itu, kini dinyatakan terbuka bagi modal asing senilai investasi maksimal hingga 49%.

Sedangkan untuk tanaman obat/bahan farmasi, tanaman rempah, dan tanaman karet, penanaman modal asing diizinkan hingga 95 persen. Juga perkebunan tebu, tembakau, bahan baku tekstil, kapas, kelapa, kelapa sawit, teh, kopi, kakao, lada, cengkeh, dsb, kini terbuka luas untuk pemodal asing.

Dari konstruksi fakta-fakta tersebut jelaslah sudah, bahwa pemerintan sama sekali mengabaikan pemberdayaan di sektor pertanian dan perkebunan. Maka, tak heran jika Indonesia saat ini termasuk negara pengimpor produk pertanian dan perkebunan, dan gagal melakukan swadaya di kedua sektor tersebut.

Indonesia negara pengimpor produk pertanian dan perkebunan? Benar. Saat ini Indonesia malah mengimpor 29 komoditas pangan. Anehnya lagi, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sampai-sampai harus impor garam dari Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark. Ini memang aneh tapi nyata adanya.

Mari kita simak dengan seksama daftar produk impor, nilai, volume dan negara asal berdasarkan data  tahun 2013 lalu:

  1. Beras. Nilai impor sampai Agustus: US$ 156,332 juta. Volume impor sampai Agustus: 302,71 juta kg. Negara asal: Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan lainnya.
  2. Jagung. Nilai impor sampai Agustus : US$ 544,189 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,80 miliar kg. Negara asal : India, Argentina, Brazil, Thailand, Paraguay dan lainnya.
  3. Kedelai. Nilai impor sampai Agustus : US$ 735,437 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,19 miliar kg. Negara asal : Amerika Serikat, Argentina, Malaysia, Paraguay, Kanada dan lainnya.
  4. Biji Gandum. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,66 miliar. Volume impor sampai Agustus: 4,43 miliar kg. Negara asal : Australia, Kanada, India, Amerika Serikat, Singapura dan lainnya.
  5. Tepung Terigu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 45,29 juta. Volume impor sampai Agustus: 104,21 juta kg. Negara asal : Srilanka, India, Turki, Ukraina, Jepang dan lainnya.
  6. Gula Pasir. Nilai impor sampai Agustus : US$ 31,11 juta. Volume impor sampai. Agustus: 52,45 juta kg. Negara asal : Thailand, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru dan lainnya.
  7. Gula Tebu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,16 miliar. Volume impor sampai Agustus: 2,21 miliar kg. Negara asal : Thailand, Brazil, Australia, El Savador, Afrika Selatan dan lainnya.
  8. Daging Sejenis Lembu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 121,14 juta. Volume impor sampai Agustus: 25,21 juta kg. Negara asal : Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Singapura.
  9. Jenis Lembu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 192,56 juta. Volume impor sampai Agustus: 72,54 juta kg. Negara asal : Australia.
  10. Daging Ayam. Nilai impor sampai Agustus : US$ 30,26 ribu. Volume impor sampai Agustus: 10,83 ribu kg. Negara asal : Malaysia.
  11. Garam. Nilai impor sampai Agustus : US$ 59,51 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,29 miliar kg. Negara asal : Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark, lainnya.
  12. Mentega. Nilai impor sampai Agustus : US$ 60,09 juta. Volume impor sampai Agustus: 13,51 juta kg. Negara asal : Selandia Baru, Belgia, Australia, Perancis, Belanda dan lainnya.
  13. Minyak Goreng. Nilai impor sampai Agustus : US$ 45,55 juta. Volume impor sampai Agustus: 48,01 juta kg. Negara asal : Malaysia, India, Vietnam, Thailand, dan lainnya.
  14. Susu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 530,47 juta. Volume impor sampai Agustus: 139,68 juta kg. Negara asal : Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Belgia, Jerman dan lainnya.
  15. Bawang Merah. Nilai impor sampai Agustus : US$ 32,00 juta. Volume impor sampai Agustus: 70,95 juta kg. Negara asal : India, Thailand, Vietnam, Filipina, Cina dan lainnya.
  16. Bawang Putih. Nilai impor sampai Agustus : US$ 272,47 juta. Volume impor sampai Agustus: 332,88 juta kg. Negara asal : Cina, India, Vietnam.
  17. Kelapa. Nilai impor sampai Agustus : US$ 698,49 ribu. Volume impor sampai Agustus: 672,70 ribu kg. Negara asal : Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam.
  18. Kelapa Sawit. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,87 juta. Volume impor sampai Agustus: 3,25 juta kg. Negara asal : Malaysia, Papua Nugini, Virgin Island.
  19. Lada. Nilai impor sampai Agustus : US$ 2,38 juta. Volume impor sampai Agustus: 224,76 ribu kg. Negara asal : Vietnam, Malaysia, Belanda, Amerika Serikat dan lainnya.
  20. Teh. Nilai impor sampai Agustus : US$ 20,66 juta. Volume impor sampai Agustus: 14,58 juta kg. Negara asal : Vietnam, Kenya, India, Iran, Srilanka dan lainnya.
  21. Kopi. Nilai impor sampai Agustus : US$ 33,71 juta. Volume impor sampai Agustus: 14,03 juta kg. Negara asal : Vietnam, Brazil, Italia, Amerika Serikat dan lainnya.
  22. Cengkeh. Nilai impor sampai Agustus : US$ 2,79 juta. Volume impor sampai Agustus: 262,30 ribu kg. Negara asal : Madagaskar, Mauritius, Singapura, Brazil, Comoros.
  23. Kakao. Nilai impor sampai Agustus : US$ 48,52 juta. Volume impor sampai Agustus: 19,51 juta kg. Negara asal : Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Kamerun, Ekuador dan lainnya.
  24. Cabai (segar). Nilai impor sampai Agustus : US$ 360,08 ribu. Volume impor sampai Agustus: 281,93 ribu kg. Negara asal : Vietnam, India.
  25. Cabai (kering-tumbuk). Nilai impor sampai Agustus : US$ 15,00 juta. Volume impor sampai Agustus: 12,26 juta kg. Negara asal : India, Cina, Jerman, Malaysia, Spanyol dan lainnya.
  26. Cabai (awet sementara). Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,56 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,64 juta kg. Negara asal : Thailand, Cina, Malaysia.
  27. Tembakau. Nilai impor sampai Agustus : US$ 371,09 juta. Volume impor sampai Agustus: 72,98 juta kg. Negara asal : Cina, Turki, Brazil, Amerika Serikat, Filipina dan lainnya.
  28. Ubi Kayu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 38,38 ribu. Volume impor sampai Agustus: 100,80 ribu kg. Negara asal : Thailand.
  29. Kentang. Nilai impor sampai Agustus : US$ 18,18 juta. Volume impor sampai Agustus: 27,39 juta kg. Negara asal : Australia, Kanada, Mesir, Cina, Inggris.

Maka tak perlu heran jika sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan ternyata baru mampu menyumbangkan 14,43% Produk Domestik Bruto(PDB). Indonesia sebagai negara kepulauan tropis yang selalu disinari matahari sepanjang tahun, dengan tanah yang subur seharusnya sektor ini mampu menyumbangkan paling sedikit 20% PDB.

Skema Korporasi-Korporasi Asing Kuasai Sektor Pertanian Indonesia

Aspek lain yang kiranya perlu kita sorot adalah betapa besarnya monopoli kartel asing. Namun sebelum membahas ini lebih mendalam, ada baiknya kita merujuk pada pandangan Sabiq Carebesth, salah seorang Pemerhati masalah Ekonomi Politik Pangan. Menurut Sabiq, dalam sebuah sistem, kegiatan kerja bertani tidak lagi semata-mata dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam, melainkan bisnis.

Bisnis lalu menyangkut politik berupa lobi-lobi, patgulipat, kongkalikong, aturan pun diselenggarakan; siapa yang berhak memproduksi, mengedarkan, dan siapa yang masuk dalam “perencanaan” sebagai sasaran pengguna sekaligus disebut korban. Pengedarnya adalah pebisnis, yaitu mereka yang punya naluri, tenaga dan modal untuk menjadikan benih sebagai sumber keuntungan.

Keuntungan itu lalu diakumulasi. Akumulasi keuntungan itu lalu terkonsentrasi hanya di tangan segelintir para pebisnis yang menciptakan sistem monopoli. Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan dan pertanian khususnya membangun oligopoli, Lantas siapa target sasaran bisnisnya yang kemudian jadi korban?  Yang jadi korban adalah para Petani kecil yang pada dasarnya masuk golongan ekonomi lemah dan kecil.

Merekalah “target” dari eksploitasi sistematis pemiskinan yang akan berlangsung pelan-pelan melalui politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama pestisidanya, lalu yang paling parah adalah sistem bercocok tanamnya, lalu corak bermasyarakatnya.

Inilah salah satu faktor yang kiranya bisa menjelaskan makna di balik data BPS ihwal menurunnya jumlah petani kita mencapai 280 ribu jiwa. Akibat dari berkuasanya sistem kartel, sektor pertanian dan perkebunan kemudian kehilangan daya tariknya.

Maka, monopoli tak terhindarkan, kartel menerapkan paham stelsel. Kartel domestik pada industri benih di dalam negeri telah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA) yang beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional yang telah lama mengincar pasar benih dan pangan di Indonesia.

Kartel Pangan

Dengan merujuk pada kerangka pemikiran dan pandangan pakar ekonomi politik pangan Sabiq Carebesth, kartel internasional dan nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri. Di pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yang diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, dan bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan dan enam pengusaha yang ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula.

Negara sebagai sebuah institusi pelindung rakyat akhirnya harus berhadap-hadapan dengan organisasi perdagangan yang memang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Tak pelak keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah membuka jalan bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha perbenihan dan pangan.

Komite Ekonomi Nasional (KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut “ABCD”, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.

Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yang menguasai 75 persen pangsa pasar global. Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.

Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), dan Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina.

Belum lagi apa yang disampaikan oleh pengamat ekonomi  pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, dimana sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum dan terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, dan garam 70%.

Sementara informasi yang disampaian Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan, mengatakan produksi dan distribusi sayuran seperti tomat, cabai, seledri dan bawang di kawasan Garut dan Lembang juga telah dikuasai oleh Indofood Frito Lay, Heinz ABC, dan Del Monte. Sedangkan produksi dan distribusi kacang-kacangan, jagung, dan serelia di kawasan Bandung Timur, Subang, dan Purwakarta dikuasai oleh Cargill dan Charoen Pokphand.

Bidang saprotan, juga tidak lepas dari dominasi perusahaan asing dengan beroperasinya Ciba Geigy dari Jepang, BASF dan Bayer dari Jerman, serta Novartis dari Amerika Serikat yang menguasai jalur distribusi pestisida.Hal serupa juga terjadi di bidang pembenihan dengan kehadiran Monsanto yang mengembangkan bibit jagung dan kedelai, serta beberapa perusahaan Jepang untuk bibit sayuran.

Hal tersebut kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi dan hilangnya kedaulatan petani dalam mengelola sumber pangan nasional, target swasembada pangan berkala pada 2014 akan jadi isapan jempol belaka. Tak pelak, Indonesia terperangkap dalam liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk pangan dan manufaktur impor.

Bisa dibayangkan, berapa devisa kita yang terbuang. Maka sudah seharusnya presiden terpilih periode 2014-2019 nanti harus sadar bahwa Indonesia sekarang dalam kondisi darurat karena sudah mengimpor 29 komoditas pangan. Perlu sebuah solusi cepat dan tepat dalam jangka pendek yang mampu membalikkan keaadaan dari impor menjadi ekspor. Sehingga kita bisa membangun kembali daulat pertanian dan perkebungan.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com