Masih menyambung artikel saya terdahulu terkait US-ASEAN Summit di Washington, keputusan AS untuk mengalokasikan dana bantuan kepada ASEAN hanya sebesar 150 juta dolar AS, sangat tidak seimbang dengan niat AS untuk menggalang kerjasama strategis dengan negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, untuk membendung semakin meluasnya pengaruh Cina di Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya.
Baca:
AS Hanya Butuh ASEAN Untuk Membendung Cina di Asia Tenggara
AS nampaknya tidak ada niat sama sekali untuk membangun kerjasama kemitraan strategis yang setara dan bersifat timbal-balik dengan ASEAN. AS tetap memandang negara-negara ASEAN sebagai junior partner. Sulit dibayangkan bagaimana dana bantuan AS sebesar 150 juta dolar AS itu dibagikan kepada 10 negara anggota ASEAN. Padahal negara-negara ASEAN sangat berharap AS bakal memberikan bantuan ekonomi dalam jumlah yang cukup signifikan untuk memulihakn dari pandemi Covid-19.
Maka dari itu, US-ASEAN Summit di Washington Mei lalu, AS telah menyia-nyiakan momentum yang sebenarnya cukup bagus untuk menggalang kerjasama strategis dengan ASEAN sebagai kekuatan regional Asia Tenggara yang terbesar di dunia. Jumlah bantuan sebesar 150 juta dolar AS yang dialokasikan kepada 10 negara anggota ASEAN, bukan saja kecil sekali dari segi nominal, melainkan juga suatu gambaran tidak adanya niat dari Washington untuk membangun kerjasama yang setara, timbal-balik dan saling menguntungkan. Sementara Cina yang merupakan rival atau pesaing AS sebagai adikuasa yang sedang berebut pengaruh di Asia Tenggara, justru telah memberikan bantuan miliaran dolar AS kepada ASEAN sebagai kekuatan regional Asia Tenggara yang sangat diperhitungkan oleh negara-negara adikuasa baik dari blok Barat maupun Timur.
Dengan demikian, bisalah kita simpulkan bahwa skema AS yang dikenal dengan The Indo-Pacific Economic Partnership (IPEF), yang merupakan perjanjian perdagangan yang diprakarsai oleh Presiden Joe Biden, pada perkembangannya sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan skema Cina yang bernama Regional Comprehensive Economic Partnership , yang telah menjadi blok ekonomi terbesar yang telah berhasil menggalang 10 negara Asia-Pasifik. Selain AS Trans Pacific Partnership (TPP) semasa pemerintahan Barrack Obama gagal menyaingi Skema RCEP Cina, pada perkembangannya TPP pun dihapus semasa pemerintahan Presiden Donald Trump.
Alhasil Strategi Indo-Pasifik yang diluncurkan pemerintah AS sejak era Trump dan Joe Biden saat ini, yang pada mulanya mendapatkan simpati sebagai arena untuk membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik lewat slogan Membangun Tata Kawasan Yang Adil, pada perkembangannya justru memperlihatkan watak hegemonik dan mementingkan diri AS berikut sekutu-sekutu strategisnya seperti Inggris dan Australia. Maka itu ada isyarat yang cukup kuat mengenai perlunya mengekspolirasi kerjasama AS-ASEAN yang lebih saling menguntungkan dan bersifat timbal-balik dalam kerangka Kerjasama Strategis yang lebih komprehensif, untuk memperbaiki kekecewaan dan frustrasi para kepala negara ASEAN sebagaimana terlihat melalui hasil dari US-ASEAN Summit di Wasington Mei lalu.
Mengapa AS terkesan sangat tidak konsisten antara niat untuk membangun kerjasama setara dan timbal-balik dengan ASEAN, namun terkesan sangat meremehkan aspirasi dan kebutuhan negara-negara ASEAN dalam bidang ekonomi, perdagangan dan pembangunan infrastruktur? Jawaban singkatnya adalah, AS melalui Strategi Indo-Pasifik hanya bertujuan untuk mengacak-acak kerjasama-kerjasama strategis ASEAN dan Cina seiring dengan kebangkitan Cina sebagai negara adikuasa baru.
Kekhawatiran yang tersirat dari AS bukan takut pada kebangkitan Cina sebagai kekuatan adikuasa ekonomi baru pesaing AS, namun khawatir dengan evolusi geopolitik Cina.
Abhiram Singh Yadav dalam bukunya yang mencerahkan bertajuk Indo-Pasifik Sebuah Konstruksi Geopolitik, mengutarakan adanya lima narasi yang mencirikan identitas Cina saat ini:
- Sebagai negara sosialis, yang mana kondisi geografis Cina dipengaruhi oleh dinamika ide dan gagasan-gagasan sosialisme.
- Masih tetap sebagai Negara Berkembang, meskipun dilihat dari berbagai tolok-ukur ekonomi, politik maupun militer, saat ini Cina sudah masuk kategori negara maju.
- Cina sebagai the Emerging Power.
- Cina telah menjadi negara adikuasa.
- Cina merupakan kekuatan regional di kawasan Asia Pasifik.
Lima narasi tentang identitas Cina tersebut, sejatinya merupakan hasil dari evolusi geopolitik yang terjadi di dalam negeri Cina itu sendiri, yang kemudian mengembang dan meluas ke pelbagai kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin dan Timur-Tengah.
Evolusi geopolitik Cina inilah yang mengkhawatirkan Washington maupun sekutu strategisnya yaitu Inggris dan Australia. Maka dari itu sebagai ekspresi kekhawatirannya yang mendalam pada evolusi geopolitik Cina, dibentukan persekutuan tiga negara AUKUS (AS, Inggris dan Australia). Sebagai Teknik dan taktik Indo-Pasifik, AS melalui skema AUKUS (AS, Inggris dan Australia) maupun persekutuan empat negara QUAD (AS, Australia, Jepang dan India), mengajak negara-negara ASEAN maupun negara-negara Asia-Pasifik lainnya, untuk membentuk kerjasama militer dan Pakta Pertahanan untuk membendung pengaruh Cina di kawasan Asia Tenggara maupun Asia-Pasifik pada umumnya.
Di sinilah ASEAN bagi AS sangat penting dan strategis, terutama wilayah Indo-Pasifik Tengah. Mengapa Indo-Pasifik Tengah? Sebab Wilayah Indo-Pasifik Tengah menghubungkan Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik. Dan sebagian besar perairan laut Indonesia, masuk dalam wilayah Indo-Pasifik Tengah tersebut. Adapun wilayah Indo-Pasifik Tengah adalah: Laut Cina Selatan, Laut Filipina, pantai utara Australia, laut di sekitar Nugini, mikronesia bagian barat dan tengah, Kaledonia Baru, kepualauan Salomon, Vanuatu, Fiji dan Tonga.
Wilayah Indo-Pasifik Barat juga tak kalah penting dari perspektif geopolitik AS, meskipun tidak sebesar wilayah Indo-Pasifik Tengah. Indo-Pasifik Barat meliputi perairan bagian barat dan tengah Samudra Hindia, termasuk pantai timur Afrika, Laut Merah, Teluk Aden, Teluk Persia, Laut Arab, Teluk Benggala, dan Laut Andaman.
Namun Wilayah Indo-Pasifik Tengah inilah yang nampaknya jadi fokus utama AS terutama untuk membendung Cina lewat skema kerjasama militer dan Pakta Pertahanan ala Quad atau AUKUS, dengan mengajak negara-negara ASEAN. Maka dengan latarbelakang ini semakin terjelaskan mengapa dalam alokasi dana bantuan AS 150 juta dolar AS kepada ASEAN, 60 persen dialokasikan ke kerjasama keamanan maritim dengan ASEAN. Sedangkan untuk bantuan pembangunan infrastruktur, ASEAN hanya mendapat 40 persen dari total dana bantuan AS sebesar 150 juta dolar AS tersebut.
Posisi geografis Indonesia sendiri merupakan penghubung wilayah perairan Indo-Pasifik melalui kepulauan nusantara. Sehingga AS dan blok Barat maupun Cina, sama-sama memandang Indonesia sangat strategis dari segi lokasi geografis, maupun untuk membangun kerjasama-kerjasama internasional berbasis konektivitas geografis.
Pendekatan militer atau hard-power dan kecenderungannya untuk tetap memandang dirinya sebagai negara superior dan ASEAN sebagai mitra junior, atau lebih buruk lagi sebagai proksi dan negara satelit AS, pada perkembangannya tidak efektif untuk mengimbangi apalagi membendung pengaruh Cina, yang lebih mengedepankan pendekatan soft-power lewat skema kerjasama ekonomi-perdagangan dan pembangunan infrastruktur berbasis konektivitas geografis dalam kerangka Silk Road Maritime Initiatives, justru lebih berhasil membangun kerjasama kemitraan dengan ASEAN atas dasar kesetaraan, adil dan timbal-balik.
Sebaliknya AS melalui skema Pacific Economic Framework (IPEF) yang menjanjikan meningkatnya kemakmuran negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, namun tujuan utama AS hanya sekadar ditujukan untuk menggalang dukungan negara-negara di Asia Pasifik untuk membendung Cina lewat skema Strategi Indo-Pasifik AS. Sehingga dalam penetapan alokasi dana bantuan ekonomi, perdagangan dan inftrastruktur pasca pandemi, bukan prioritas utama Washington.
Adapun agenda utama AS di balik skema IPEF hanya untuk melepaskan kekuatan regional ekonomi Asia Pasifik terutama ASEAN, dari kerjasama dengan Cina, terutama dalam supply system dan kerjasama perdangangan regional. Yang mana AS berupaya membendung tren kerjasama-kerjasama multipolar yang saat ini semakin menguat di pelbagai kawasan, kembali ke arah unipolar atau pengkutuban tunggal yang dipimpin AS. Lebih daripada itu, skema IPEF AS akan memecahbelah solidititas dan sentralitas ASEAN yang saat ini sudah semakin menguat. Bahkan bisa melemahkan integrasi kekuatan regional ekonomi Asia Pasifik seperti APEC.
Melalui skema IPEF AS ini, Washington berupaya memecah belah ASEAN dengan cara, mengajak beberapa negara ASEAN bergabung seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Namun menolak mengikutsertakan Kamboja, Laos, Myanmar dan Brunei Darussalam. Dengan cara yang seperti ini, AS bisa dipastikan akan gagal total menggalang persekutuan strategis dengan ASEAN maupun negara-negara di Indo-Pasifik pada umumnya. Inkonsistensi Washington dalam pembuatan kebijakan, pada perkembangannya akan berakibat negara-negara yang merupakan kekuatan regional seperti ASEAN semakin meragukan kredibilitas dan kesinambungan kebijakan strategisnya di Asia Pasifik. Lebih pentingnya lagi, AS sepertinya mengabaikan tren global yang semakin menguatnya mekanisme multipolar dalam kerjasama internasional lintas kawasan. Dan masih berupaya melestarikan mekanisme pengkutuban tunggal/unipolar yang mana AS tetap sebagai kekuatan hegemonik.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)