Benarkah USAID (United States Agency for International Development) memang merupakan perpanjangan tangan Departemen luar Negeri?
Mari kita telusur kembali sejarah lahirnya USAID. Semua itu bermula pada pasca Perang Dunia II ketika Amerika mengucurkan bantuan ke Eropa melalui Marshal Plan dan Empat Poin Program Truman. Sebagai Presiden Amerika Serikat pada 1949 Harry S Truman dalam pidatonya mencetuskan empat poin:
- Amerika akan mendukung PBB dan berperan dalam pengambilan keputusan.
- Amerika akan melanjutkan program perbaikan ekonomi dunia.
- Amerika akan melindungi kemerdekaan dan kedamaian penduduk seluruh dunia dan agresi.
- Amerika akan mencanangkan program modernisasi dan investasi capital.
Sebagai derivasi dari empat poin tersebut, maka dibuatlah Undang-Undang Bantuan Luar Negeri dan pada 1961 pemerintah Amerika Serikat menandatangani undang-undang tersebut dan USAID kemudian dibentuk oleh pemerintah eksekutif. Maka sejak itu, USAID telah menjadi agen utama pemerintah Amerika Serikat untuk memberikan bantuan kepada negara-negara yang baru pulih dari bencana, mencoba keluar dari kemiskinan, dan terlibat dalam reformasi demokratis.
Dan USAID, ternyata berada di bawah kendali Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, namun memiliki kewenangan sendiri. Jadi seperti Bappenas di Indonesia. Sedangkan sumber dana USAID berasal dari Kongres (DPR), berasal dari pajak rakyat Amerika Serikat dan bahkan berasal dari 1-1,5 persen GDP rakyat Amerika Serikat.
Bahkan lucunya, rakyat Amerika sendiri tidak mengenal USAID dan hanya negara-negara berkembang yang mengenal USAID karena memang negara-negara berkembang tersebut yang membutuhkan bantuan.
Sekadar rujukan pembanding, baca juga:
USAID, Imperialisme, dan Gerakan Rakyat
1. Pemaksaan dominasi
2. Eksploitasi.
Dalam jangka panjang bantuan Amerika lewat USAID tersebut harus melayani keberadaan Amerika di provinsi Aceh tersebut, sebagai bagian dari kelangsungan sistem kapitalistik Amerika di dunia.
Seberapa strategis Aceh bagi kepentingan strategis perekonomian Amerika? Provinsi Aceh jelas kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas. Utamanya, pantai barat-selatannya kaya akan endapan mineral ekonomis dan batubara. Sedangkan pantai timur-utaranya mengandung ladang minyak dan gas raksasa.
Saat ini Aceh memiliki 121 barel juta cadangan minyak. Selain itu, Aceh juga memiliki 5 miliar kubik cadangan gas. Hal ini berpotensi do sepanjang garis daratan dan lautan pantai utara timur. Cadangan gas blok A di Kabupaten Aceh Utara di sini ditemukan pada struktur Julok Rayeuk, Alur Siwah, Alur Rambong dengan perkiraan cadangan sebesar 560 miliar kaki kubik. Terdapat juga 10,9 juta barel condensate.
Hampir 90 persen dari area produksi Hydro Carbon saat ini terletak di darat, terletak dari Aceh Tamiang ke Aceh Utara. Sebelumnya Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang melakukan survey geologi dan geofisika kelautan, juga menemukan cadangan gas migas yang amat besar perairan timur laut Pulau Simeulue, Aceh.
Bahkan ini diperkirakan yang terbesar di dunia yakni 320,79 miliar barel. Meski volume tersebut belum tentu sepenuhnya diisi oleh hidrokarbon, namun potensi ini menggambarkan candangan yang dimiliki Aceh memang cukup besar.
Tak heran jika sejak 1978, menyadari betapa besarnya sumberdaya alam minyak dan gas di Aceh, Amerika melalui PT Exxon Mobil sudah berada di Aceh dan mengeksploitasi kekayaan minyak dan gas di Aceh.
Bagi Amerika, keuntungan dari PT Exxon Mobil di Aceh cukup besar dan dapat menghasilkan 3,4 juta ton per tahunnya. Maka situasi yang kondusif di Aceh sangat dibutuhkan. Salah satunya, terciptanya perdamaian antara GAM dan RI.
Dalam konteks inilah, bantuan luar negeri Amerika di Aceh melalui USAID dan program LGSP, harus dibaca sebagai bagian dari strategi Gedung Putih untuk mengamankan investasinya di Aceh.
USAID dan Jaringan NGO Sebagai Satelitnya di Aceh
Terkait bantuan USAID, ada 10 LSM lokal yang mendapat bantuan dari USAID yaitu: Forum LSM, Kontras Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, BIMA (Bina Masyarakat),Katahati Institute, Aceh Peace Research Center(APRC),Flower Aceh, Walhi Aceh,Yayasan Sepakat Aceh,Bitra Aceh.
Bantuan tersebut ada yang sifatnya langsung dar USAID, ada pula yang melalui perantaraan lembaga lain yang mendapatkan mandat dari USAID untuk menyalurkan dana.
Dengan bantuan tersebut, Amerika bisa memperkuat jaringan hingga ke daerah-daerah lewat NGO-NGO lokal yang menjadi mitra mereka. Dengan demikian akses mereka akan sangat mudah mendapatkan informasi tentang kondisi politik di daerah tersebut. Semua informasi tersebut pada giliranya akan menjadi alat bargaining bagi pemerintah Amerika dalam menerapkan kebijakannya di Indonesia.
Misalnya dalam kasus Aceh, sejak konflik dulu Amerika banyak membantu NGO lokal lewat dukungan dana untuk menjalankan program di masyarakat. Imbalanya, NGO lokal itu harus mensuplai informasi kepada USAID sebagai pihak donor tentang perkembangan yang terjadi di daerah tersebut. Isu di daerah tersebut akan menjadi bahan bagi pemerintah Amerika Serikat dalam mendikte pemerintah Indoenesia.
Dengan kata lain, di setiap negara di mana Amerika Serikat memiliki komitmen kerjasama ekonomi, dan disitulah USAID akan memainkan perannya dalam menggalang kekuatan dari kelompok LSM dan masyarakat sipil. Salah satu mekanisme kontrol untuk bantuannya itu adalah dengan menggalang jaringan di kalangan NGO atau masyarakat sipil.
Caranya adalah lewat pemberian dana program melalui USAID. Namun pada dasarnya NGO penerima dana dari USAID ini akan dijadikan sebagai jaringan pemerintah Amerika Serikat. NGO itu akan dijadikan penyuplai informasi tentang berbagai persoalan ekonomi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, termasuk masyarakat Aceh.
Diolah dari karya Gita Rizkasari, Sarjana Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Jakarta. dari skripsi berjudul “Kepentingan Amerika Serikat Dalam United State Agency for International Development (USAID) Terhadap Program Bantuan Kemanusian Di Aceh Periode 2005-2007. Dan dikembangkan lebih lanjut oleh Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.