Waspadai Operasi Intelijen dan Spionase AS Berkedok Perusahaan Layanan IT di Indonesia

Bagikan artikel ini

Nampaknya bagi pemerintah Amerika Serikat menutup dan mematikan pasar Information Technology (IT) pesaingnya, merupakan agenda strategis dan program prioritas jangka pendek yang akan dilakukan dengan segala cara dan tak peduli berapapun biayanya.

Beberapa waktu lalu, Presiden Donald Trump mengancam akan melarang aplikasi video pendek berbagi Tik Tok. Rupanya ini juga bukan yang kali pertama. Sebelumnya   Trump melarang Huawei menjual produknya di AS dengan alasan keamanan nasional. Bahkan yang lebih parah lagi, baik Washington maupun London telah melancarkan tuduhan tanpa dasar bahwa Huawei menggunakan fasilitas 5G nya untuk melayani kepentingan intelejen pemerintah Cina.

Bukan sampai di situ saja. Pemerintahan Trump juga telah menuntut perusahaan-perusahaan besar atau Badan-Badan Infrastruktur yang dipandang vital bagi keamanan nasional agar tidak menggunakan Hardware maupun Software buatan negara-negara lain. Tentunya yang dimaksud di sini adalah negara-negara pesaing AS sebagai negara adikuasai seperti Cina dan Rusia.

Sebaliknya, pemerintah AS secara sengaja menggunakan IT untuk mendapatkan akses informasi yang cukup sensitif dan strategis dari negara-negara yang jadi sasaran spionasenya. Sekaligus untuk melakukan manipulasi informasi terhadap negara-negara sasarannya. Salah satu contohnya adalah kerjasama Indonesia dengan CSRA Inc.

Baca: CSRA Inc.

 Adapun CSR Inc merupakan perusahaan yang memberikan layanan teknologi informasi kepada para client pemerintah AS di bidang keamanan nasional. Birokrasi pemerintahan, maupun pelayanan kesehatan masyarakat. Namun demikian pangsa pasar terbesar CSR Inc adalah para client di bidang keamanan nasional seperti Pentagon, Homeland Security, US Army, US Air Force, dan beberapa badan intelijen AS.

Mengingat lingkup bisnis strategis CSR Inc yang berkaitan dengan keamanan nasional, maka kiranya cukup beralasan bagi pemerintah Indonesia untuk menaruh kekhawatiran yang cukup besar,mengingat potensi CSR Inc sebagai sarana operasi intelijen terselubung AS berkedok perusahaan IT.

Ini memang masalah krusial. Media-media AS bungkam seribu bahasa terhadap peran yang dimainkan CIA dalam membangun kendali kontrol di bidang cyberspace. Berdasarkan sebuah dokumen yang dibocorkan WikiLeaks, apa yang kemudian disebut VALT 7, tersingkap adanya sekitar 8761 dokumen mengenai adanya pusat intelijen Cyber (Langley’s Center for Cyber Intelligence) yang terlibat dalam pembajakan dan atau /pembobolan computer, handphone, dan tv. Dalam kasus Indonesia dan beberapa negara-negara berkembang, adakah kaitannya juga dengan peran yang dimainkan CSR Inc? Berbagai stakeholders kebijakan luar negeri dan politik-keamanan pemerintah Indonesia sudah saatnya untuk mengkaji hal ini secara lebih serius.

Hal ini jelas menggamrbarkan besarnya skala dan kendali program para hacker global yang dikendalikan CIA. Dalam beberapa dokumen digambarkan taktik-taktik yang dilakukan CIA dalam membajak dan menularkan virus terhadap perangkat Apple.

Bahkan dalam dokumen yang diberi nama Marble dossier, terungkap kemampuan program yang jahat dan berbahaya itu agar tetap anonym, sehingga program-program yang berbahaya dan berniat jahat itu, bukan saja tidak terlacak. Melainkan akan diarahkan seakan-akan program ini merupakan ulah Cina atau Rusia. Atau negara manapun yang sedang jadi target operasi intelijen AS dan negara-negara sekutunya.

Bocoran WikiLeaks tersebut senada dengan bocoran informasi Edward Snowden, mantan kontraktor National Security Agency (NSA) berdasarkan salah satu arsip dari National Security Agency (NSA) yang masuk klasifikasi rahasia dan berhasil dibocorkan Edward Snowden kepada seorang kolumnis harian Inggris The Guardian.

Arsip tersebut menyingkap bagaiamana Gedung Putih bukan saja mengintai musuh-musuhnya saja seperti Al-Qaeda.teroris dan Rusia, melainkan juga memata-matai negara-negara sekutu AS seperti Jerman dan Prancis.

Inggris, melalui mitra NSA yaitu Government Communication Headquarters (GCHQ), juga terlibat dalam aksi memata-matai secara massal. Seperti sudah kita ketahui sejak Perang Dunia II, Inggris dan AS merupakan rekanan yang memiliki hubungan dekat dalam soal berbagi data intelijen. Bahkan melalui bocoran arsip NSA tersebut juga terungkap fakta bahwa NSA telah menjadi pendonor jutaan dolar AS untuk kegiatan mata-mata Inggris.

Tangan-tangan misterius memaksa penyedia layanan telekomunikasi untuk menyerahkan data. Parahnya lagi, menurut Snowden, hampir seluruh grup Silicon Valley-Google, Microsoft, Facebook, dan bahkan Apple milik Steve Jobs, terlibat dalam kegiatan mata-mata NSA tersebut. NSA mengklaim memiliki akses langsung ke server para raksasa teknologi itu.

Maka, sudah saatnya Indonesia sebagai negara berkembang mulai mencari alternatif lain agar tidak tergantung pada kecanggihan teknologi AS hanya karena ketergantungannnya yang kuat di bidang IT pada negara-negara teknologi maju seperti  AS maupun negara-negara Barat lainnya, yang terbukti dalam kasus tersebut tadi, seringkali mengaitkan bisnis sebagai kedok operasi intelijen dan spionase.

Maka itu, Indonesia sudah saatnya mencari pemasok alternative lain di luar skema CSR Inc maupun perusahaan-perusahaan IT Barat dalam hal Hardware maupun Software.

Beberapa negara berkembang lainnya di Timur-Tengah maupun Afrika yang tak berdaya dalam mengimbangi kemajuan teknologi dan jaringan sosial media, terbukti telah menjadi korban. Melalalui kecanggihan AS dan sekutu-sekutunya dari Eropa Barat dalam jejaring media sosial maka komunitas intelijen AS berhasil memicu kerusuhan sosial di  Tunisia, Mesir, Libia dan Suriah yang kita kenal dengan ARAB SPRING. Sehingga Presiden Ben Ali di Tunisia, Presiden Hosni Mobarak di Mesir, dan Presiden Moammar Khadafi di Libya, berhasil ditumbangkan.

Alhasil, masuk akal jika pemerintah AS belakangan ini begitu intensif mematikan para pesaing bisnis di bidang IT dari negara-negara pesaing terutama Cina, bukan saja karena pertimbangan persaingan bisnis, tapi karena tidak ingin disaingi dalam operasi intelijennya yang bermodus perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang IT.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com