Indikasi keterlibatan laboratorium bertujuan ganda ala NAMRU-2 AS nampaknya semakin nyata menyusul keputusan pemerintah AS menutup laboratorium biologi Angkatan Darat AS Fort Detrick. Apalagi ketika pada 10 Maret 2020 lalu, telah dilayangkan sebuah petisi ke Gedung Putih mempertanyakan mengapa Laboratorium Fort Detrick ditutup di tengah meluasnya wabah Covid-19.
Benarkah Laboratorium Fort Detrick ditutup karena memainkan tujuan ganda seperti yang pernah dilakukan NAMRU-2 AS? Inilah sisi menarik di balik adanya gerakan berbagai elemen masyarakat di dalam negeri Amerika sendiri untuk mencari tahu mengapa pemerintah AS secara tiba-tiba menutup sebuah laboratorium biologi Angkatan Darat AS tersebut. Alhasil, masuk akal jika muncul dugaan atau kecurigaan bahwa laboratorium Dort Detrick merupakan sumber dari penyebaran virus Covid-19.
Adapun laboratorium Fort Detrick merupakan laboratorium bibit utama Angkatan Darat AS di Fredrick, negara bagian Maryland. Laboratorium ini mempelajari material menular yang mematikan seperti Ebola dan cacar. Maka dari itu wajar ketika pemerintah Amerika memutuskan menutup laboratorium Fort Detrick pada Agustus 2019, telah mengundang kecurigaan bahwa Laboratorium Fort Detrick sejatinya memainkan peran ganda ala NAMRU-2 AS.
Setiap kali pemerintah AS menutup sebuah laboratorium biologi yang berada dalam kendali militer atau Pentagon, pasti memantik kecurigaan. Terkait pengalaman langsung Indonesia, kesaksian mantan Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah Supari nampaknya menarik sebagai perbandingan.
Pertama, Ibu Supari terang-benderang mengatakan bahwa mewabahnya apa yang kemudian dikenal dengan Flu Babi, virus H2NI ternyata berasal dari CDC (Centre for Disease Control and Prevention) din Atlanta, AS.
Kedua, ketika Ibu Supari menyinggung kembali peran dan keberadaan National Laboratory di Los Alamos, New Mexico, AS. Berdasarkan pantauan tim riset Global Future Institute, ternyata Laboratorium Los Alamos telah ditutup tanpa alasan dan keterangan yang jelas. Menariknya lagi, laboratorium Los Alamos ditutup setelah Ibu Supari meminta data virus Tanah Karo.
Misteri National Laboratory Los Alamos semakin menguat berdasarkan liputan harian Singapura Straits Times, 27 Mei 2006, dalam artikel berjudul Scientist split over sharing of H5N1 data. Berdasarkan liputan itu, ternyata tidak semua ilmuwan di dunia bisa mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan di WHO Collaborating Center (WHO CC). Dengan demikian data sequencing DNA H5NI tersebut hanya dikuasai 4 dari 15 grup peneliti di National Laboratory Los Alamos.
Yang lebih misterius dan mengkhwatirkan lagi, Laboratorium Los Alamos itu berada di bawah Kementerian Energi, AS. Dan melalui laboratorium inilah pada Perang Dunia II dulu dirancang Bom Atom untuk mengebom Hiroshima pada 1945.
Maka itu kiranya masuk akal jika mantan menteri kesehatan Supari maupun beberapa kalangan ilmuwan punya dugaan kuat bahwa laboratorium Los Alamos tersebut merupakan tempat dan pembuatan senjata kimia.
BACA: Menyingkap Misteri dari balik National Laboratory Los Alamos AS
Maka ketika laboratorium Fort Detrick ditutup pada Agustus 2019, muncul kecurigaan publik atas apa alasan sesungguhnya di balik penutupan Fort Detrick. Sebab ketika pemerintah AS menutup National Laboratory Los Alamos beberapa tahun sebelumnya, juga tanpa alasan dan keterangan yang jelas.
Apalagi ketika National Laboratory Los Alamos ditutup, kemudian hampir semua pegawati dan peneliti Los Alamos ditampung di Bio Health Security (BHS) yang berada di bawah kendali Pentagon. Dari konstruksi fakta tersebut, nampak jelas nampaknya keberadaan dan peran Laboratorium bertujuan ganda ala NAMRU-2 AS masih tetap berlangsung, meskipun dengan nama lain.
Nah dalam kasus penutupan Fort Ditrick juga sama. Pemerintah AS hanya mengatakan bahwa keputusan itu dibuat karena masalah keamanan setelah Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) mendapati organisasi tersebut gagal menerapkan sistem yang cukup mampu mendekontaminasi air limbah dan tidak memiliki “pelatihan sertifikasi ulang berkala untuk pekerja di laboratorium biokontainment.” Namun pihak CDC berdalih tidak dapat memberikan detail yang lebih spesifik karena berlindung di balik frase kalimat “alasan keamanan nasional.”
Jika menelisik kesejarahannya sejak laboratorium Fort Detrick dibuka pada 1943, nampak jelas bahwa laboratorium yang dibuka atas perintah Komando Medis Angkatan Darat AS itu, serupa dengan Laboratorium NAMRU-2 AS yang pernah beroperasi di Indonesia antara 1974-2008.
Adapun misi dari program ini adalah mengembangkan mekanisme pertahanan terhadap serangan biologis dan mempersiapkan serangan balasan dari jenis yang sama. Setelah berakhirnya Perang Dunia II pada 1945, laboratorium-laboratorium di pangkalan Fort Detrick mulai meneliti banyak patogen (bahan yang menimbulkan penyakit). Nah di sinilah, pola laboratorium bertujuan ganda ala NAMRU-2 AS mulai diterapkan.
Apalagi setelah berakhirnya Perang Dunia II, penelitian semakin diperluas setelah memperoleh suntikan dana besar dari pemerintah AS. Militer AS juga mulai melakukan percobaan pada manusia. Berbagai jenis virus dan bakteri di pusat laboratorium militer ini diuji pada manusia, yang kadang-kadang mereka bahkan tidak tahu apa yang sedang diujikan.
Laboratorium Fort Detrick nampaknya merupakan cikal bakal dari Laboratorium NAMRU-2 kalau melihat sepak-terjangnya pada tahun-tahun berikutnya. Meskipun pada 1969 terkesan non-aktif, dan mengalihkan fungsinya sebagai pusat produksi vaksin dan pencegahan penyakit menular serta pusat riset untuk berbagai penyakit. Namun ternyata itu hanya kedok belaka. Pada kenyataannya secara diam-diam tetap mengembangkan senjata biologis.
Pada masa pemerintahan Presiden George W Bush, khususnya pasca aksi terorisme 9 September 2001, secara tiba-tiba mengalokasikan dana 43 miliar dolar untuk kegiatan riset senjata biologis baru. Sebagian besar dana itu digunakan untuk laboratorium di pangkalan Fort Detrick. Sejak itu, di bawah naungan Angkatan Darat AS, kemudian dibentuklah sebuah laboratorium baru, sebagai bagian integral dari pusat pendidikan di bidang bio-defense atau bio-pertahanan. Dengan dalih untuk kegiatan riset bidang pertahanan untuk menangkal ancaman biologis. Fakta lainnya yang luput dari pengamatan para ahli dan analis intelijen, bahwa Sekitar 1.800 pakar dan ilmuwan telah direkrut dan dipekerjakan untuk mengembangkan agen biologi seperti bakteri dan virus di Fort Detrick.
Dengan demikian bisa kita simpulkan, penutupan National Laboratory Los Alamos maupun Fort Detrick, Maryland, punya benang merah yang sama. Keduanya merupakan laboratorium biologi bertujuan untuk pengembangan senjata-senjata non-konvensional serta operasi militer, namun berkedok laboratorium penelitian penyakit-penyakit pandemic. Apalagi ketika program pertahanan untuk menangkal serangan biologis dijadikan dalih beroperasinya laboratorium biologi militer, berarti tidak tertutup kemungkinan digunakan untuk misi kebalikannya. Yaitu penyebaran senjata-senjata biologis.
Apakah ditutupnya laboratorium Fort Detrick dimaksudkan untuk menutupi jejak-jejak keterlibatannya dalam pengembangan sekaligus penyebaran senjata biologis melalui virus seperti Covid-19? Inilah misteri yang harus segera tersingkap secepatnya.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)